Bara di Ladang, Bara di Dada
Orang Dayak membakar ladang untuk kesuburan, bukan membakar lahan, jangan keliru! Dok. Rmsp. |
Oleh: Dr. Wilson anak Ayub
🌍 DAYAK TODAY | PALANGKA RAYA: Pada suatu siang yang gerah, di tahun 2018, saya hadir dalam Gawai Dayak di Sintang.
Pesta rakyat yang bukan hanya gemuruh musik dan irama gong, bukan hanya tarian bulu enggang yang meliuk di panggung bambu, tapi juga pertemuan akal dan hati, lewat seminar nasional yang digelar di tengah perayaan.
Di sana hadir Ketua DPRD, Danramil, Kapolres, dan para tokoh masyarakat. Mereka duduk berjajar, lengkap dengan seragam, lambang, dan jabatan. Dan saya, yang hanya tamu undangan, diberi kesempatan berbicara.
Baca Ladang Orang Dayak: Yang Merusak Hutan Kalimantan Petambang, Perusahaan Sawit, dan Industri
Tiba-tiba muncul pertanyaan yang rasanya lebih panas dari bara api yang membakar ilalang:
"Apa pandangan Bapak tentang larangan membakar lahan oleh pemerintah?"
Pertanyaan sederhana. Tapi di baliknya, ada sejarah panjang yang mendesis. Ada luka lama yang belum sembuh. Maka saya jawab, bukan dengan teori, tapi dengan rasa.
"Bakar saja!"
Kalimat itu meluncur, bukan untuk membakar emosi, tapi untuk menghangatkan kembali ingatan pada kearifan yang nyaris padam.Saya katakan di depan mereka yang berseragam itu: Kalau pemerintah tak memberi solusi, jangan melarang. Kalau Kapolsek dan Babinsa siap 24 jam menemani warga membakar lahan, silakan! Tapi bisakah mereka hadir di tiap jengkal tanah milik orang Dayak se-Kabupaten Sintang?
Abu dan arang dari pembakaran ladang Dayak menyuburkan tanah, seperti gunung api di Jawa.
Saya tantang mereka.
Bukan dalam amarah, tapi dalam cinta:
Kalau karena membakar lahan kami harus dipenjara, mari kita serahkan diri bersama. Kita penuhi rutan Sintang dengan anak, dengan ayah, dengan ibu dari kampung-kampung. Bisakah kalian memberi makan kami semua?
Itu bukan ancaman. Itu nyanyian putus asa dari rakyat yang makin asing di tanahnya sendiri.
Baca Ladang Orang Dayak
Itu bukan pemberontakan. Itu jeritan dari akar rumput yang diinjak perlahan oleh sepatu-sepatu peraturan.
Saya sedang meneliti saat peristiwa itu meletup. Enam orang ditangkap. Katanya mereka membakar lahan. Tapi aneh: musim itu semua kampung membakar, dari Kelam sampai ke hulu. Tapi yang ditangkap justru warga Kedembak. Mengapa? Karena mereka paling dekat dari tangga Polres?
Nyaris menggerakkan massa
Saya nyaris menggerakkan massa untuk menyerahkan diri.
Bukan untuk rusuh, tapi untuk menunjukkan:
Kami tidak melawan negara, tapi menuntut agar negara mengerti.
Membakar lahan bagi orang Dayak bukan pembangkangan, tapi bagian dari hidup.
Api adalah alat membersihkan, bukan menghancurkan. Asap bukan simbol kerusakan, tapi kabut restu dari leluhur. Abu dan arang dari pembakaran ladang Dayak menyuburkan tanah, seperti gunung api di Jawa.
Sayangnya, negara datang hanya sebagai petugas pemadam. Tidak sebagai pendengar, tidak sebagai pembelajar.
Baca Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan
Maka dalam Gawai itu, di antara aroma tuak dan dendang sape, saya tabuh genderang kesadaran.
Bahwa hukum tak boleh buta pada adat.
Bahwa ladang bukan sekadar tanah, tapi tubuh kami sendiri.
Dan bara yang menyala, tak hanya di ilalang, tapi juga di dada. *)