Ilmu Koperasi Itu Satu Saja: Jujur Mengelola Uang Anggota (3): CU dan Bahasa Sunyi dari Dalam Hutan
CU - "banknya" orang Dayak by AI. |
🌲 DAYAK TODAY | JAKARTA:
Koperasi, kata sebagian orang kota, adalah institusi yang ketinggalan zaman. Tak mampu bersaing dengan laju kapital. Terlalu lambat, terlalu sentimental.
Tapi di sebuah kampung di Kalimantan sejak awal tahun 1970-an. Di tengah suara tonggeret yang menyanyikan waktu, Credit Union tumbuh diam-diam. Dan mengakar.
CU bukan sistem yang dibangun oleh algoritma. Ia tak dikendalikan dari ruang kaca gedung tinggi yang disiram pendingin ruangan. Ia tumbuh dari balai-balai bambu, dari pembicaraan pelan, dari cerita tentang utang yang dibayar dengan beras, dan tentang harapan yang tumbuh dari sebidang tanah.
Baca Ilmu Koperasi Itu Satu Saja: Jujur Mengelola Uang Anggota (1)
Orang menyebutnya CU, dengan huruf besar dan semangat kecil. Tapi semangat kecil itulah yang justru menyala tanpa henti.
CU bukanlah hanya tempat untuk menyimpan uang. Ia adalah tempat untuk menyimpan waktu. Waktu yang penuh luka, waktu yang penuh harap. Di dalam CU, waktu tak bergerak cepat seperti pasar saham, tapi ia bergerak mengikuti irama detak hati anggota-anggotanya.
Di kampung itu, seseorang menyimpan sepuluh ribu rupiah—uang kecil, kata orang kota. Tapi dari uang itu lahir martabat. Dari uang itu tumbuh keberanian untuk bermimpi.
Dan dari uang itu, lahir kisah yang tak ditulis oleh media mana pun: tentang seorang ibu yang bisa membeli sepatu sekolah untuk anaknya, tentang seorang petani yang berhenti berutang pada lintah darat, tentang seseorang yang akhirnya bisa mengatakan, “Aku tidak malu lagi.”
CU bekerja dengan bahasa yang tak diajarkan di sekolah ekonomi. Ia bekerja dengan bahasa hening: bahasa yang lahir dari tatapan mata, dari ketukan meja rapat kecil, dari tawa lirih saat saldo bertambah seribu. Di balik semua itu, CU memeluk manusia dengan cara yang nyaris spiritual.
Baca Kepercayaan adalah Modal Dasar Credit Union
CU adalah institusi yang tak menyukai hiruk-pikuk. Ia tahu bahwa perubahan besar tak selalu datang dengan sorak sorai. Terkadang, perubahan datang dengan satu kata yang pelan: percaya.
Dan ketika kepercayaan menjadi mata uang utama, dunia yang lain pun mulai terbentuk—dunia yang tidak dibangun di atas keuntungan, tapi di atas saling menguatkan.
Seperti sungai yang mengalir tenang tapi pasti, CU menolak bergegas. Ia tidak mengejar waktu, sebab ia tahu: yang penting bukan seberapa cepat sampai, tetapi seberapa kuat akar yang ditanam di sepanjang perjalanan.
Kini, ketika dunia semakin terbelah oleh dinding-dinding kecepatan dan ketamakan, CU datang sebagai pelajaran purba: bahwa kita bisa hidup dengan cara lain. Cara yang lebih lambat, lebih jujur, lebih penuh rasa.
Baca Credit Union (CU) dan Watak Orang Dayak : Tumbu oleh Tutup
CU adalah kebudayaan. Dan kebudayaan yang ia bangun, tak membutuhkan pujian. Ia hanya butuh diteruskan.
Bersambung
Jakarta, 10 April 2025