Membaca Entikong Lewat Mesin
Dayak Sarawak maju karena faktor sejarah dan dekat dengan pusat kekuasaan dan diperhatikan Kualalumpur. Dok. Eremespe.
🌲 DAYAK TODAY | ENTIKONG:
Di senjakala yang kelabu di perbatasan Entikong. Saya termangu. Duduk memandangi pos perbatasan yang sunyi. Jalanan yang dulu dilintasi truk-truk dan pejalan kaki dari dua negeri kini sepi, seperti halaman buku yang belum ditulis.
Di balik senyap itu, ada riuh yang tak terdengar: tentang identitas, tentang tanah, dan tentang hidup yang mengalir di tengah batas.
Baca Longhouse of the Dayak People: A Reflection of Living Values
Saya datang ke sini bukan sebagai pejabat, bukan pula sebagai jurnalis.
Saya datang sebagai peneliti yang barangkali lebih mirip pengintai sunyi. Mencatat tiap desah dalam dialog yang tak terucapkan antara negara dan warganya.
Entikong tak bisa dipahami hanya dengan statistik
Saya percaya: Entikong tak bisa dipahami hanya dengan statistik atau laporan strategis. Entikong harus diraba dengan tangan, dilihat dengan mata batin, dan dituliskan dengan rasa.
Tapi bagaimana menulis rasa? Bagaimana menyusun narasi dari potongan percakapan yang tercecer, dari isyarat diam warga yang barangkali telah terlalu lelah berharap?
Saya mencari alat bantu. Dan bertemulah saya dengan sebuah perangkat lunak bernama N-Vivo. Sebuah nama yang nyaris ironis—karena ia terasa begitu teknologis, begitu asing, di tengah kehidupan Entikong yang lebih sering bicara lewat bahasa tubuh ketimbang data.
Baca Pulang Kampung
Namun justru dari N-Vivo, saya belajar untuk mendengar lebih dalam. Ia tak mengartikan kata, tetapi ia menyusun pola. Ia tak menilai, tetapi ia menunjukkan keterhubungan. Ia menjahit narasi yang tersembunyi di antara fragmen wawancara, di antara petikan suara dan tangkapan gambar.
Saya menyuapkan padanya berlembar-lembar transkrip. Dari aparat desa. Dari petugas pos lintas batas. Dari pedagang kaki lima yang menjajakan buah duku di pinggir jalan. Dari ibu-ibu yang tak pernah menyebut dirinya ‘terpinggirkan’, tapi mengaku ingin anaknya sekolah lebih tinggi.
Dan dari sana, N-Vivo dengan dingin dan rapi menyusun kata-kata kunci: akses, ketimpangan, pemberdayaan, ketegangan, perbatasan, harapan.
Sarawak Maju, Indonesia menganaktirikan Dayak
Sama-sama Dayak. Tapi mengapa yang satu hidup lebih makmur di Sarawak, sementara yang lain terpaksa bertahan hidup di Entikong?
Saya menuliskannya di secarik kertas robek, saat duduk di tepi warung kopi, memandangi truk-truk Malaysia melintas perlahan. Pertanyaan itu seolah membayang di antara gelas kopi hangat dan percakapan lirih dalam bahasa Iban yang tak seluruhnya saya pahami.
Sama-sama Dayak—artinya: satu akar, satu tanah, satu sejarah panjang di hulu-hulu sungai. Mereka tak mengenal batas sebelum peta-peta Eropa mencabik Borneo dengan garis-garis buatan. Tapi kini, yang satu tinggal di negeri dengan jalan mulus, sekolah bersubsidi, dan rumah sakit yang bisa diakses dengan mudah. Yang satu lagi—masih harus menyeberang demi pupuk, demi beras, demi harga yang lebih adil.
Lalu saya berpikir: barangkali bukan hanya nasib yang membuat mereka berbeda.
Koloni Inggris meninggalkan bekas yang lain. Mereka datang dengan hukum dan jalan. Mereka berbicara tentang keteraturan. Sementara Belanda, seperti yang kita tahu dari buku sejarah yang entah ditulis oleh siapa, lebih sibuk menanam dan memungut. Inggris membawa sistem, Belanda membawa perkebunan. Dan kita, mewarisi keterpecahan yang dalam.
Tapi apakah itu cukup sebagai alasan?
Barangkali juga karena negeri ini terlalu luas. Terlalu penuh dengan pusat. Terlalu rakus untuk bicara tentang pinggiran. Jakarta menjanjikan pembangunan dari pinggir, tetapi suara Entikong tak pernah sampai ke meja sidang. Ia kalah oleh bisingnya ibu kota, oleh rapat-rapat panjang tanpa pendengar dari desa.
Atau mungkin kita, di seberang batas ini, terlalu sering berbicara tentang nasionalisme tanpa benar-benar memahami maknanya di mata orang Dayak. Nasionalisme yang tak memberikan harga pupuk yang masuk akal, tak menyediakan dokter untuk kampung-kampung di hulu, tak memedulikan bahasa mereka yang tak diajarkan di sekolah.
Saya pernah bertanya pada seorang bapak di pasar Entikong: “Mengapa beli barang ke Malaysia, Pak?”
Dia menjawab, ringan: “Karena di sana harga dan kualitas lebih masuk akal. Kami Dayak, tapi kami juga manusia biasa. Kami butuh hidup.”
Jawaban itu sederhana. Tapi menyakitkan.
Mungkin kita terlalu lama menganggap ‘perbatasan’ sebagai garis mati. Padahal di sini, garis itu berdetak: sebagai tempat tinggal, sebagai ruang hidup, sebagai simpul identitas yang tak selesai. Dan dalam ketidaksamaan perlakuan itu, saya temukan bukan hanya ketimpangan ekonomi, tapi juga pengkhianatan diam terhadap janji-janji konstitusi.
Sama-sama Dayak. Tapi sejarah, negara, dan pengabaian membuat mereka tak lagi serupa.
Yang satu diperhatikan sebagai bagian dari strategi geopolitik Inggris. Yang satu dilupakan sebagai ruang antara. Yang satu menjadi warga negara. Yang satu menjadi ‘penjaga batas’.
Dan entah mengapa, saya merasa bahwa ironi ini bukan hanya soal sejarah. Tapi juga tentang keberanian untuk mengakui: bahwa dalam banyak hal, kita tak adil sejak dalam pikiran.
Kata-kata yang pada akhirnya tak hanya bicara tentang Entikong, tapi tentang kita semua. Tentang negara yang terlalu sering memaknai ‘pusat’ dan ‘pinggir’ sebagai dua hal yang terpisah. Tentang masyarakat yang tak butuh kasihan, tapi ruang untuk tumbuh.
Saya tahu, mesin bukanlah jiwa. Ia tak akan menangis mendengar kisah perpisahan karena batas negara. Ia tak akan tergelak saat warga Entikong bercerita tentang dagang lintas batas yang dulu bisa pakai jembatan bambu.
Baca
Tapi lewat N-Vivo, saya belajar untuk lebih rendah hati sebagai peneliti. Bahwa data bukan sekadar angka, dan narasi bukan sekadar cerita. Ia adalah tapak kaki dari hidup yang dijalani manusia—yang kadang disimpan dalam diam, kadang muncul dalam keluhan kecil yang hampir tak terdengar.
Saya mengakhiri perjalanan saya di Entikong dengan catatan penuh. Tapi barangkali yang paling penting bukanlah data itu sendiri. Melainkan pemahaman baru: bahwa dalam dunia yang semakin bising oleh informasi, yang kita butuhkan bukan hanya alat untuk menganalisis, tapi keberanian untuk mendengarkan.
Karena di ujung perbatasan, di Entikong yang kecil, suara-suara itu menunggu untuk diberi makna.
Dan barangkali, kita hanya butuh sedikit waktu untuk berhenti—dan betul-betul mendengarnya.
-- Rangkaya Bada