Kepercayaan dan Ritual Dayak yang Ditulis Orang Luar Itu Sarat Bias
Penulis asing menulis Dayak bagai melihat pondasi dan atap rumah, tapi tak pernah tidur di dalamnya. Ilustrasi by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Suatu sore. Saya membuka buku tua. Warnanya telah berubah. Bau kertasnya seperti aroma musim yang lalu.
Pada halaman muka, saya membaca nama: Hans Schärer. Seorang antropolog Swiss, datang ke Borneo pada awal 1960-an. Di bawah namanya, tertulis: Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People.
Baca Agama Asli Suku Dayak: Kaharingan sebagai Warisan Leluhur
Lalu saya mulai membaca. Tentang Tuhan. Tentang roh. Tentang dewa-dewa yang jauh.
Tapi di saat yang sama, saya merasa: ada jarak di antara kita dan halaman-halaman itu.
Mencatat tapi tidak menghayati
Schärer mencatat. Ia menuliskan struktur. Ia memetakan kosmos. Ada langit, ada bumi, ada roh. Ada upacara tala’ untuk berhubungan dengan para penghuni semesta. Tapi ia menuliskannya seperti seorang arsitek menggambar rumah orang lain. Ia melihat pondasi dan atapnya, tapi tak pernah tidur di dalamnya. Ia tahu bentuknya, tapi tak merasakan dingin malamnya.
Baca Agama Asli Suku Dayak dari Sisi Akademik
Dan dalam menulis tentang Tuhan orang Dayak, ia memakai kata-kata yang dikenal oleh disiplin: “konsepsi.” “kosmologi.” “ritual.” Tapi Tuhan, sejauh yang saya tahu, tak mudah ditangkap oleh konsep. Apalagi jika Tuhan itu —seperti kata Schärer— “terlalu jauh dari jangkauan manusia.”
Saya berpikir: bagaimana bisa manusia beriman kepada sesuatu yang jauh, kalau kepercayaan itu sendiri adalah jalan untuk merasa dekat?
Di sini saya mulai ragu: Apakah Schärer benar-benar menulis tentang Tuhan Dayak? Ataukah ia menulis tentang caranya sendiri memahami dunia yang lain?
Baca Autochthonous sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Dayak
Lalu ada J. Schadee, peneliti Belanda, yang membawa kamera. Ia tak menulis seperti Schärer. Ia melihat melalui lensa. Ia membekukan kehidupan Dayak dalam foto-foto. Rumah panjang. Perempuan menenun. Lelaki memahat kayu. Anak-anak bermain di tepi sungai. Dan tentu, ritual-ritual yang penuh asap dan gerak lambat.
Foto-foto itu indah. Tapi sunyi. Mereka seperti adegan yang kehilangan suara latarnya. Saya melihat gambar rumah panjang yang megah, tapi tak mendengar suara sendok kayu di dapur, atau tawa yang bergema dari ujung ke ujung.
Dan yang paling saya rindukan: makna.
Karena rumah panjang, dalam kehidupan Dayak, bukan hanya bangunan. Ia tubuh kolektif. Ia roh yang disusun dari tiang ke tiang. Di sana, mereka percaya leluhur masih tinggal. Di sana, anak-anak dilahirkan, dibesarkan, diajarkan untuk menghormati sungai, hutan, dan langit. Tapi semua itu tak bisa ditangkap oleh kamera. Karena kamera hanya menangkap apa yang terlihat. Bukan apa yang dirasakan.
Baca Kaharingan Setelah Berintegrasi dengan Hindu
Kita sering menyebut ini sebagai “perspektif luar.” Pandangan dari luar lingkaran. Pandangan yang seolah objektif—karena netral, karena ilmiah. Tapi mungkinkah netral dalam hal yang spiritual?
Saya tidak yakin.
Karena kepercayaan bukan objek. Ia bukan artefak. Ia pengalaman. Dan pengalaman, seperti cinta atau kehilangan, hanya bisa dimengerti jika kita ikut tenggelam di dalamnya.
Seorang nenek Dayak yang menabur beras di ambang pintu sambil berbisik pada roh leluhur, mungkin tak pernah membaca buku antropologi. Tapi ia hidup dalam kepercayaannya. Dan mungkin, justru karena itu, ia lebih paham tentang makna Tuhan yang “jauh” tapi selalu “menjaga.”
Batas antara pengetahuan dan penghayatan
Saya ingat pernah mendengar suara gendang dalam sebuah upacara adat Dayak. Getarannya menyusup lewat lantai kayu, menyentuh kaki saya. Gendang itu bukan sekadar alat musik. Ia adalah pemanggil. Ia membuka celah antara dunia ini dan dunia yang tak terlihat.
Tapi bagaimana menjelaskan itu kepada seseorang yang hanya mendengar suara sebagai gelombang? Kepada seseorang yang mencatat frekuensi, bukan rasa takut, bukan rasa kagum?
Baca Belajar Koperasi dari Credit Union (CU)
Di sinilah saya merasa: ada batas antara pengetahuan dan penghayatan.
Para peneliti asing telah banyak memberi kontribusi. Kita harus mengakui itu. Mereka mencatat. Mereka memotret. Mereka mengarsipkan. Tapi seringkali, mereka kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh teori: rasa. Dan mungkin itu sebabnya mengapa kita, sebagai orang yang berada “di dalam,” perlu bicara. Bukan untuk menyangkal tulisan mereka, tapi untuk menambahkan dimensi yang hilang.
Masyarakat Dayak tidak memisahkan kepercayaan dari kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mengenal dikotomi antara spiritual dan material. Bercocok tanam adalah ibadah. Berburu adalah ritual. Menenun adalah doa yang dibisikkan lewat benang dan warna. Tidak ada “ritual” yang terpisah dari hidup—karena hidup itu sendiri adalah ritual yang panjang.
Mereka berjalan di atas tanah dengan hati-hati, bukan karena takut kotor, tapi karena mereka tahu: tanah itu hidup. Dan apa yang hidup, layak dihormati.
Baca Ngayau (1)
Saya ingin percaya bahwa suatu saat nanti, kita tidak lagi hanya “melihat” masyarakat seperti Dayak, tetapi “menyimak” mereka. Dengan sabar. Dengan hening. Dengan rasa hormat. Karena hanya dengan cara itu kita bisa benar-benar mengerti.
Dan mungkin, di tengah suara hutan, di antara asap kemenyan dan nyanyian dukun tua, kita mendengar sesuatu yang lebih dalam dari teori dan lebih tajam dari gambar: pengalaman—yang membuat kita sadar, bahwa kepercayaan bukan soal “apa yang dipercaya,” tetapi bagaimana kita hidup bersama yang tak terlihat.
Namun, seberapa dalam seseorang dari luar bisa menghayati getar halus dari kepercayaan yang dijalani, bukan sekadar diamati?
Itulah pertanyaan yang terus menggema. Schärer mengamati upacara tala’ —sebuah ritual komunikasi dengan roh alam— dan menyajikannya sebagai bagian dari struktur religius masyarakat Dayak. Tapi, sebagai pembaca yang hidup dalam konteks budaya tersebut, saya merasakan ada kekosongan emosional dalam paparannya.
Baca Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan
Schärer menangkap bentuk, tapi kehilangan jiwa. Upacara yang bagi masyarakat Dayak merupakan pengalaman transenden dan relasional, direduksi menjadi sekadar mekanisme fungsional untuk menjaga hubungan baik dengan entitas spiritual. Di sini, terasa betul jarak antara pemahaman luar dan pengalaman dalam.
Hal serupa tampak pula dalam karya J. Schadee, peneliti Belanda yang dikenal melalui pendekatan visualnya. Koleksi foto-foto dokumenternya tentang kehidupan masyarakat Dayak—rumah panjang, berburu, bertani, hingga ritual adat—memberikan jejak berharga tentang lanskap fisik dan aktivitas sosial orang Dayak pada masa lalu.
Rumah panjang, misalnya, terekam sebagai struktur arsitektural khas Kalimantan: panjang, bertiang, dan berbahan kayu ulin. Tapi foto-foto itu, betapa pun estetik dan dokumentatifnya, berhenti pada apa yang tampak di mata. Schadee tidak masuk ke ruang batin dari rumah panjang itu sendiri—yakni sebagai lambang keterikatan leluhur, ruang suci bagi komunitas, dan perpanjangan dari tubuh kolektif orang Dayak.
Berbicara dari balik kaca bening pemisah
Seperti Schärer, Schadee pun berbicara dari balik kaca bening pemisah. Ia melihat, tapi tak menjelma. Ia mencatat, tapi tak ikut terlibat dalam rasa. Foto-fotonya tidak mampu mengisahkan, misalnya, mengapa setiap tiang rumah panjang memiliki makna tertentu, atau bagaimana suara gong dalam ritual bukan sekadar bunyi, melainkan panggilan bagi roh-roh pelindung untuk hadir.
Baca Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan
Dalam ketiadaan narasi itu, rumah panjang yang ia potret jadi sekadar arsitektur, bukan ruang kehidupan. Tanpa memahami makna di balik simbol, setiap ritus yang difoto pun bisa tampak seperti pertunjukan—padahal, bagi yang menghayatinya, itu adalah bentuk doa paling dalam.
Maka, membaca karya-karya Schärer dan Schadee memberi saya kesadaran penting: ada batas antara memahami dan menghayati. Perspektif luar bisa membuka jendela, tetapi tidak selalu mengajak kita masuk.
Pengalaman spiritual, bagi masyarakat Dayak, bukanlah konsep yang bisa dijelaskan dengan terminologi akademik semata, melainkan sebuah perjalanan keseharian. Ia ada dalam semerbak asap dupa, dalam bunyi gong, dalam mata yang terpejam saat mantra dilafalkan.
Baca The Dayak Stigma and Unintended Consequence
Kepercayaan itu bukan cerita masa lalu yang mati dibingkai foto atau buku tua. Kepercayaan hidup, bernafas. Dan terus menumbuhkan akar dalam jiwa orang Dayak hingga hari ini.
-- Rangkaya Bada