Duri Cinta Kebun Sawit (5) | Bau Dupa Entah dari Mana?

Novel, roman, cerita berdambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

Bau Dupa Entah dari Mana?
Duri-duri Cinta di Kebun Sawit by AI.

Daun pintu itu terbuka perlahan. Seraya terdengar suara yang teredam dalam angin yang datang entah dari mana. 

Tidak ada suara gesekan logam yang biasa terdengar. Hanya bisikan dan desiran yang menusuk hingga tulang. 

Pintu yang entah dari mana asalnya, atau mungkin selalu ada, kini terbuka lebar, menampakkan ruang di baliknya.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (4) | Terperangkap Kesunyian dan Pencarian Diri

Tapi bukan ruang yang biasa.

Ruangan itu... lebih seperti kehilangan.

Janting terpaku, menatap ke dalam celah itu, di mana hanya ada gelap yang lebih pekat dari malam. 

Semakin ia menatap, semakin ia merasa bahwa ia sedang menatap sesuatu yang lebih dari sekadar ruang kosong—itu seperti sebuah jurang yang tidak ada dasarnya. Keheningan yang lebih dalam dari keheningan apapun yang pernah ia rasakan sebelumnya.

"Apa yang ada di sana?" tanya Janting, suaranya tertahan, penuh keraguan.

Magdalena tersenyum. Senyum yang sama—senyum yang tak lagi milik manusia. Senyum itu tumbuh dari dalam dirinya, menyebar dengan cara yang mengerikan. "Apa yang ada di sana," jawabnya pelan, "adalah tempat yang tidak pernah kau tinggalkan. Itu adalah bayangan yang datang menjemputmu."

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (3) | Kamar 113 pukul 2:47 dini hari

Janting tidak bisa bernapas. Tubuhnya seperti terperangkap di udara yang semakin berat. Wajah Magdalena, yang dulu ia kenal begitu sempurna, kini mulai berubah. 

Di antara keduanya, sesuatu mulai terjalin. Sesuatu yang lebih besar dari mereka berdua, dan lebih tua dari dunia yang bisa mereka pahami.

Magdalena melangkah ke depan, menyentuh ambang pintu dengan tangan yang terasa lebih dingin dari es. Ketika jarinya menyentuh tepi pintu, suara deritan terdengar lagi. Kali ini lebih keras, lebih tajam, seakan mencabik kedalaman waktu itu sendiri. Sesuatu menggeliat di dalam sana. Sesuatu yang ingin keluar, dan menuntut haknya.

"Aku bukan lagi manusia," katanya, suara itu kini semakin berat, semakin terdengar seperti berbisik dari alam yang tak dikenal. "Aku adalah mereka yang tak terlihat. Mereka yang telah lama menunggu."

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (2) | Misteri K-113

Janting mundur sedikit, kakinya terhenti di lantai yang kini terasa lebih rapuh, seperti tanah yang tergerus badai. Ia tahu, semakin ia bergerak mundur, semakin ia tenggelam ke dalam dunia ini—dunia yang terperangkap di antara kenyataan dan kebohongan, antara hidup dan mati.

"Apa yang terjadi pada dirimu?" tanya Janting, suaranya bergetar. "Kenapa kau tidak... kenapa kau bukan lagi Magdalena?"

Magdalena berbalik, menatapnya dengan mata yang kini tampak lebih dalam, lebih kosong—seperti dua lubang yang menghisap segala yang ada di sekitarnya. "Karena aku adalah mereka yang tidak bisa mati," jawabnya. "Dan kau... kau adalah kunci."

Janting merasa sesuatu merayap di kulitnya. Suara itu kembali datang—lebih dekat, lebih nyata, seperti jejak langkah yang terhenti tepat di belakangnya. Ia menoleh dengan cepat. Namun, hanya ada kegelapan yang semakin menjalar, merayap di sekitar mereka, mencengkeram lantai dan dinding.

"Aku tidak ingin ini," kata Janting, matanya penuh rasa takut, penuh ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. "Aku tidak ingin tahu. Aku tidak mau masuk ke sana."

Tapi suara itu—suara yang datang dari Magdalena, atau dari sesuatu yang telah mengambil tubuhnya—menyusup ke telinga Janting dengan pelan. "Kau tidak punya pilihan, Janting," katanya. "Kau sudah masuk. Kau sudah membuka pintu."

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Janting, dalam ketakutan yang mencekam, melihat ke ruang yang terbuka di hadapannya. Ruangan yang gelap itu kini seakan menghisap segalanya. Setiap langkah yang ia ambil menuju pintu terasa seperti langkah yang lebih dalam ke dalam neraka yang tidak bisa dibalikkan.

Tapi ada satu hal yang lebih menyeramkan dari semuanya—keheningan itu. Keheningan yang begitu mendalam, begitu sempurna, hingga membuat dunia di luar mereka seakan menghilang. Tidak ada suara lagi. Tidak ada kehidupan lagi.

Hanya ada ruang dan waktu yang saling bersatu menjadi satu kehampaan.

Dan di sana, di dalam kehampaan itu, ia bisa merasakan keinginan yang lebih gelap daripada apapun yang pernah ia alami.

Keinginan untuk melihat lebih jauh, lebih dalam. Keinginan yang datang dari dunia yang tidak pernah terlihat oleh manusia.

"Magdalena?" Janting berkata, suaranya seperti terdengar sangat kecil. "Apa yang kau lakukan? Apa yang kau ingin aku lihat?"

"Aku ingin kau melihat apa yang selama ini kau sembunyikan. Kau tidak bisa lari, Janting. Ini adalah pilihanmu sekarang. Masuk atau tetap di luar."

Dia mendekat, semakin dekat, dengan senyuman yang mengerikan. "Masuklah, Janting," bisiknya. "Masuklah dan temui kami."

Janting berdiri di ambang pintu, matanya tertuju pada gelap yang melahap seluruh ruang itu. Di dalamnya, ia bisa merasakan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih tua, dan lebih gelap daripada segala yang ia pernah bayangkan. Suatu kekuatan yang menariknya, tanpa belas kasihan.

Kegelapan itu menyentuhnya, dan ia tahu—saatnya telah tiba.

Janting berdiri kaku di ambang pintu yang terbuka lebar, matanya terbuka lebar. Keinginan untuk melangkah maju begitu kuat, seakan ada tangan tak terlihat yang menariknya. Namun, di sisi lain, ada suara dalam dirinya yang berteriak, memperingatkannya untuk tidak masuk ke dalam kegelapan itu. Ada rasa takut yang tak bisa dijelaskan, rasa yang lebih dari sekadar ketakutan terhadap yang tak diketahui—itu adalah ketakutan terhadap apa yang ia bisa menjadi jika ia melangkah lebih jauh.

Magdalena berdiri di belakangnya, wajahnya kini berubah—lebih keras, lebih seperti batu yang dipahat dengan tangan waktu yang tidak ramah. Senyum itu masih ada, tapi kini tidak ada kebaikan dalam senyum itu. Hanya ada kekosongan, ruang yang menyatu dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari apapun yang ia bisa bayangkan.

"Janting," suara Magdalena memecah keheningan, lirih, namun tegas, seakan menggema di seluruh tubuhnya. "Kau harus masuk. Kami menunggumu. Kau bagian dari kami sekarang. Semua yang kau takutkan, itu hanya bagian dari dirimu yang belum kau temui."

Janting berbalik, mencoba menatapnya dengan cemas. "Tidak," ia hampir berbisik. "Ini bukan kamu, bukan Magdalena yang aku kenal. Ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang… mengendalikanmu."

Magdalena tidak menjawab, hanya tersenyum lebih lebar, senyum yang lebih menyeramkan daripada apapun yang bisa digambarkan manusia. Ia berjalan perlahan mendekat, langkahnya sunyi namun terasa berat, seperti langkah dari dunia lain yang penuh dengan kehampaan.

“Apa kau tidak merasakannya?” tanya Magdalena, suaranya sekarang serupa bisikan yang bisa menghilang dan menggema dalam satu napas. “Kekuatan yang mengalir di udara? Itu adalah bagian dari dirimu yang lebih besar, yang lebih kuat. Kekuatan yang telah menunggumu sejak lama, Janting.”

Janting mundur selangkah. Rasa takut semakin membekapnya, menambah beban yang seakan menjerat tubuhnya. Ada tekanan di dada, di tenggorokan. 

Udara menjadi lebih dingin, dan bau dupa yang entah dari mana itu kembali menusuk. Hawa gelap semakin merayap, menutupi seluruh kamar.

(bersambung)

LihatTutupKomentar