Duri Cinta Kebun Sawit (2) | Misteri K-113
Duri-duri Cinta di Kebun Sawit. I;ustrasi: Ist. |
USAI rapat yang menegangkan itu karena beberapa item negosiasi masih menggantung.
Magdalena
tanpa ragu menghampiri Janting. Seperti seseorang yang selama ini menahan napas
di bawah air dan kini muncul ke permukaan. Mereka sempat bertukar nomor HP.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1)
Gerak tangan Magdalena lincah, seperti penari yang terbiasa menari di ujung pisau: cepat, senyap, dan menggetarkan. Pesan singkat ia kirimkan—tapi di balik singkat itu, tersembunyi kemungkinan panjang yang sanggup membakar kalender:
“Ada yang perlu dibicarakan empat mata. Kalau kamu sempat malam ini, kamar 113. Hotel Bukit Raya. Jangan bilang siapa-siapa.”
Langit kota kabupaten malam itu seperti menahan napas. Seolah tahu sesuatu akan terjadi, namun enggan menyaksikannya. Bulan menggantung malu-malu, separuh telanjang. Awan mengintip, tapi tak berani menyentuh. Pohon-pohon trembesi membungkuk, menyimpan rahasia yang terlalu berat. Lampu-lampu jalan menyala redup, seakan membisikkan doa agar malam segera usai tanpa luka—meski mereka tahu, malam ini akan panjang dan tak sederhana.
Mobil putih Magdalena sudah lebih dulu parkir. Ia duduk sendiri di ranjang, seperti ratu dalam dongeng yang menanti datangnya perang. Kaus putih tipis membalut tubuhnya seadanya—cukup untuk membuat udara kamar bergidik. Rambutnya diikat setengah, seperti niatnya: separuh ingin pergi, separuh ingin tinggal. Di meja, segelas air belum disentuh. Jendela belum ditutup. Ia menunggu. Tapi bukan seperti menunggu kereta. Ia menunggu seperti seseorang menanti gempa bumi.
Cahaya malam kota menyelinap masuk lewat tirai tipis jendela hotel. Seorang perempuan muda berdiri tegak, siluet tubuhnya terpahat oleh sorot lampu jalan yang memantul di kaca. Ia tinggi semampai, kulitnya bening tersapu cahaya lembut. Rambut hitam tergerai sebahu, sedikit berantakan oleh angin malam yang menyusup dari celah jendela.
Ia mengenakan daster tipis berwarna krem muda, jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Di tangannya tergenggam secangkir kopi hangat yang tinggal setengah, uapnya melayang pelan. Wajahnya menatap jauh, tenang tapi penuh tanya — seolah memikirkan sesuatu yang tak terucap.
Di balik tubuhnya, dalam kamar yang remang-remang, tampak siluet seorang pria berdiri diam. Sosoknya tegap, rambut sedikit ikal, tampan — cukup untuk membuat siapa pun penasaran. Ia bersandar di dinding dekat ranjang, satu tangan menyentuh dagunya, memperhatikan sang perempuan. Tapi cahaya tak menjangkaunya utuh — hanya siluetnya yang bicara.
Pintu kamar sedikit terbuka. Di luar, tertempel angka 113, seperti menyimpan rahasia.
***
Janting datang. Langkahnya ragu, tapi sudah terlalu jauh untuk kembali. Kartu akses kamar masih ia genggam seperti batu dosa. Ia tidak mengetuk. Pintu memang tidak dikunci. Maka masuklah ia ke dalam malam yang asing. Magdalena menoleh, dan waktu membeku. Bukan karena cinta, tapi karena sesuatu yang lebih kompleks: keinginan untuk dihancurkan. Atau menyatu. Atau keduanya.
“Kamu datang,” ucap Magdalena pelan, seperti puisi yang enggan dideklamasikan tapi terlalu indah untuk disimpan.
“Karena kamu yang memanggil,” jawab Janting.
Janting berdiri kaku, seperti patung yang ingin mencair tapi takut kehilangan bentuk. Magdalena bangkit, melangkah pelan ke arahnya. Setiap langkah seperti detik yang disayat perlahan. Tak ada yang romantis dari malam itu—tapi segalanya terasa seperti akhir sebuah bab, atau awal dari dunia yang belum punya peta.
Mereka duduk. Bicara. Di ruang yang terlalu sempit untuk rahasia, dalam waktu yang terlalu sempit untuk selamat. Tentang hal-hal yang tak bisa dikatakan di ruang rapat. Tentang luka-luka yang tak bisa dikirim lewat email. Tentang rencana, kebetulan, dan sesuatu yang entah sejak kapan tumbuh di antara spreadsheet dan presentasi.
Malam itu, Kamar 113 tidak mencatat dosa. Ia hanya mencatat dua manusia yang akhirnya saling melihat. Tanpa layar. Tanpa filter. Hanya mata. Dan mungkin, sedikit air mata.
Kamar 113 sunyi. Lalu tidak lagi.
Mulanya hanya suara napas. Lalu napas itu menjadi angin. Angin menjadi badai. Badai menjadi gempa.
Langit-langit kamar berbisik-bisik, seolah ingin ikut menyaksikan. Wallpaper berkeringat. Tirai menari sendiri, walau jendela tertutup. Bahkan saklar lampu berkedip—seperti kelilipan gairah yang terlalu pekat.
Desahan.
Tertahan. Terpelintir. Tumbuh seperti akar pohon menembus batu.
Magdalena melenguh—seperti puisi yang tiba-tiba mengalir di kepala penyair gila.
Tangannya meremas sprei, seolah sprei itu bisa menggantikan seluruh kebingungan dunia.
Janting menggigil—bukan karena takut, tapi karena tubuhnya menemukan ibadah yang tak pernah diajarkan di gereja atau pesantren.
Ranjang bergetar.
Krak... krak... seperti sendi kayu yang bergesekan dengan sukacita.
Mata kaki Magdalena mengait pinggang Janting seperti tali tambang pengikat sapi jantan. Ia menjerat—tapi juga membebaskan.
Magdalena bukan perempuan. Ia hutan hujan.
Janting bukan laki-laki. Ia pemburu tua yang tersesat tapi tak ingin pulang.
Dinding seakan goyang.
Seolah kamar itu hendak roboh oleh hasrat dua manusia yang tak lagi membedakan antara dosa dan doa.
Di luar, langit kabupaten seperti terbakar pelan-pelan, meski hujan tak turun.
Di dalam, waktu membeku. Jam dinding berdetak, lalu ragu, lalu berhenti sama sekali.
Seperti tak ingin mengganggu. Atau mungkin, iri.
(bersambung)