Duri Cinta Kebun Sawit (3) | Kamar 113 pukul 2:47 dini hari

Novel, roman, cerita berdambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

 

Kamar 113 pukul 2:47 dini hari
Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (3) Ilustrasi: Ist.

Kamar 113 pukul 2:47 dini hari.

Magdalena berdiri tanpa dibungkus sehelai benang pun di balik tirai. Siluetnya samar diterpa cahaya lampu jalan, seperti arwah yang enggan pergi. Tubuhnya diam, tapi dari cara ia bernapas—panjang, dalam, berat. Terdengar bahwa badai sedang tumbuh di dalam dirinya.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (2) | Misteri K-113

Janting duduk di tepi ranjang, masih mengenakan celana dalam, tapi telinganya mendengar detakan jantungnya sendiri seperti gendang perang. Ia tahu malam ini bukan tentang kenikmatan. Ini semacam pemanggilan. Ia dipanggil bukan sebagai lelaki, tapi sebagai sesajen. Sebagai tumbal.

Magdalena berbalik perlahan. Mata mereka bertemu. Dan sesuatu yang tak terlihat merayap di udara.

“Janting…”

Suara itu bukan suara. Ia lebih seperti bisikan tanah dari liang kubur. Datar, tapi berlapis. Lembut, tapi menohok. Nama itu meluncur dari bibir Magdalena seperti belati yang dibalut sutra.

Langkahnya menuju ranjang seperti langkah seorang pendeta wanita menuju altar untuk menyembelih dirinya sendiri. Ia menaiki ranjang seperti ular menaiki pohon, melingkari tubuh Janting, merayap dengan tenang tapi mematikan.

Tangan Magdalena dingin saat menyentuh dada Janting. Dingin seperti batu nisan.

Lalu ia menunduk. Mencium leher, dada, perut. Tapi bukan ciuman manusia. Itu ciuman yang menghisap sesuatu dari dalam. Seolah-olah setiap titik tubuh Janting sedang dibuka, dibaca, dilukai pelan-pelan. Lidahnya menyisir tulang selangkangan—perlahan, penuh hormat—seperti sedang menjilat segel kuno yang menyimpan makhluk gaib.

Janting tak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya tidak lagi miliknya. Ia merasa seperti sedang dibedah hidup-hidup oleh sesuatu yang sangat halus dan sangat buas.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1)

Magdalena naik ke atasnya. Tubuh mereka bertemu bukan seperti dua kekasih. Tapi seperti dua kutub magnet yang terlalu lama berseberangan—dan ketika bertemu, dunia meledak dalam diam.

Ranjang berderit seperti akan patah, tapi tak ada yang peduli. Cermin retak perlahan, garis-garis halus seperti akar tumbuh dari tengahnya. Gorden berkibar meski jendela tertutup rapat. Lampu berkedip pelan, seperti saksi yang ingin menutup mata tapi tak bisa.

Tubuh Magdalena bergerak di atas Janting seperti gelombang yang tahu persis di mana batu karang berada. Ia mengendalikan irama seperti dukun yang sedang kerasukan. Setiap gerakannya seperti mantra, setiap desahnya seperti jampi. Di luar, anjing menggonggong. Dan dari ventilasi kamar, terdengar lolongan aneh yang membuat bulu kuduk berdiri.

“Lagi,” bisik Magdalena, “dalam sekali… lebih dalam…”

Suara itu… bukan permintaan. Itu perintah.

Janting mematuhi, bukan karena ingin, tapi karena tak ada jalan lain. Dan saat ia menghujam, tubuhnya disambut bukan dengan erangan lembut, tapi dengan jeritan yang keluar dari dasar perut, seperti suara perempuan yang baru melahirkan… atau sedang kesurupan.

Dinding kamar mengembalikan gema itu berkali-kali. Pintu kamar bergoyang pelan, gagangnya bergetar seperti ingin kabur. Di lantai atas, seorang tamu bangun dan mendapati bayangan perempuan berdiri di ujung kamarnya. Tapi ketika lampu dinyalakan, tak ada siapa-siapa. Hanya suara ranjang di bawah yang terus mencicit, seirama, tak berhenti-henti, tak memberi jeda.

Magdalena mencakar punggung Janting, dalam, hingga berdarah. Tapi ia tertawa. Tawa kecil, renyah—tapi menakutkan. Seperti tawa anak kecil yang memecahkan kaca jendela gereja.

Dan ketika ia mencapai puncak, ia tak berteriak. Ia menangis. Tapi air matanya bukan tangisan biasa. Itu tangisan pembebasan. Tangisan hantu yang akhirnya bisa meninggalkan dunia.

Tubuh mereka terkulai. Basah oleh keringat, darah, dan sesuatu yang tak punya nama. Aroma di udara seperti bunga kamboja yang jatuh di kuburan baru.

Dan di ujung kamar, cermin retak menggambarkan bayangan mereka: dua tubuh bertaut, tapi di antara mereka… ada sosok ketiga. Tak jelas. Kabur. Tapi nyata.

Pagi tak berani masuk.

Dan kamar 113 tak pernah sama lagi.

(Bersambung)

LihatTutupKomentar