Duri Cinta Kebun Sawit (12) | Misteri Sumur Tua Kamar 113

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, bule, Eric,

Duri Cinta Kebun Sawit
Misteri Sumur Tua Kamar 113 by AI.

Peristiwa malam K-113 tak tercatat dalam laporan harian hotel mana pun, tapi terasa seperti luka manis di dinding kamar. Segala sesuatu di hotel kota kabupaten itu berubah.

Bangunan tua di kaki munggu itu mendadak seperti diberkati.

Pagi-pagi, embun menempel lebih lama di kaca jendela.
Tanaman-tanaman liar di pekarangan yang sebelumnya malas tumbuh, kini meledak jadi warna: daun-daun montok, bunga-bunga liar dengan aroma seperti tubuh yang baru selesai mandi cinta.

Akar-akarnya menjalar, menggeliat, memeluk fondasi hotel seolah berkata: kami tahu apa yang terjadi malam itu.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (11) | Magdalena Melahirkan Embun

Kehidupan seakan dimulai dari nol. Seperti reset semesta. Burung-burung pagi bersiul dengan nada yang belum pernah dicatat ahli ornitologi mana pun. Langit merekah lembut, seperti sprei yang baru diseterika.

Entah mengapa, tamu-tamu mulai berdatangan satu per satu. Dari kota lain. Dari luar pulau. Dari negeri entah berantah. Ada yang hanya ingin menginap semalam, lalu memperpanjang hingga seminggu tanpa alasan jelas. Ada yang hanya duduk di lobi sambil menyeruput kopi, menunggu... sesuatu. Tapi tak tahu apa.

Manajer operasional hotel mulai bingung. Ia mengusap keringat, padahal ruangan ber-AC.

“Ini rejeki dari mana?” gumamnya, untuk kesekian kali.
Tangannya membuka kalender meja yang gambarnya sudah pudar.
Bulan ini? Bukan musim liburan.
Minggu ini? Bukan tanggal merah.
Tak ada event. Tak ada seminar. Tak ada pesta kawin pejabat.
Tak ada rombongan, tak ada peziarah, tak ada bocoran dari biro travel.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (10) | Keringat Hujan yang Memandikan Malam

Tapi anehnya: kamar-kamar penuh. Bahkan dua kali seminggu ada yang minta waiting list. Bahkan ada tamu yang rela tidur di sofa lobi, hanya untuk dapat “udara hotel Bukit Raya.”

Udara? Sejak kapan udara hotel ini istimewa?

Padahal dulu, bulan-bulan seperti ini, resepsionis bisa main catur sampai bosan, housekeeper sampai hafal corak plafon karena terlalu sering menatap langit-langit sambil melamun.
Tapi sekarang?


Bahkan kulkas di pantry karyawan kosong karena semua staf sibuk dan lupa makan.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (9) | Permainan Tenis Dimulai

Ada apa ini?

“Rejeki dari mana?” ulangnya lagi—kali ini dengan nada takut.
Jangan-jangan ini bukan rejeki.
Jangan-jangan ini kutukan yang disamarkan jadi keberuntungan.
Jangan-jangan ada portal gaib terbuka di kamar tertentu—ah, kamar 113!

Ia mendadak ingat. Sejak malam itu—malam ganjil dengan hujan kecil yang bau tanahnya menggoda—sesuatu seperti... mengalir. Tak terlihat, tapi terasa. Suara kasur berderit seperti mantra. Suara napas yang terlalu dalam, terlalu pelan, tapi terlalu keras.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (2) | Misteri K-113

Sejak itu, semua berubah.
Tamu-tamu datang seperti dicium angin.
Mereka tinggal tanpa alasan.
Mereka tertawa di koridor, tapi matanya seperti pernah melihat surga.

Sang manajer mulai curiga: ini bukan bisnis biasa. Ini semacam... pengulangan purba. Ritual yang menjelma.
Rejeki? Bisa jadi. Tapi juga bisa jadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar angka di laporan bulanan.

Tak ada festival. Tak ada promo. Bahkan situs booking online belum diperbarui sejak tahun lalu.
Tapi kamar-kamar penuh.
Restoran hotel ramai.
Taman belakang jadi lokasi selfie.
Lorong lantai satu—tepat di bawah kamar 113—selalu terasa hangat, seperti tubuh yang baru disentuh cinta.

“Apakah ini karena perempuan yang membawa mobil warna putih itu?”

Pertanyaan itu beredar di antara staf hotel.

Ia datang diam-diam. Pergi sebelum subuh. Tak meninggalkan nama—hanya aroma samar di udara. Seperti parfum campur hujan pertama.

Seorang housekeeper bersumpah, saat mengganti seprai kamar 113, ia mendengar suara perempuan tertawa pelan—padahal kamar itu kosong.
Seorang teknisi mengaku melihat bunga kamboja tiba-tiba tumbuh di pot bekas asbak yang sudah mati bertahun-tahun.

Mereka mulai menyebutnya: Dewi Fortuna.

Ia datang, mencintai dengan napas seluruh tubuhnya, lalu pergi.
Tapi jejaknya tinggal. Seperti mantra. Seperti azimat.
Seperti pelumas tak kasatmata yang membuat roda bisnis hotel tua itu kembali berputar.

Entah karena energi, aura, atau sesuatu yang lebih besar dari logika: hasrat manusia yang tuntas.

Sejak malam itu...

Banyak yang memesan kamar 113.
Bukan untuk tidur. Tapi untuk berharap.
Untuk menunggu sesuatu. Sesuatu yang tak bisa disebut. Tak bisa dijelaskan. Tak bisa dipesan lewat aplikasi atau ditulis di kolom “special request.”

Mereka datang dengan koper kecil, mata sembab, atau bibir gemetar.
Ada yang janda. Ada duda. Ada pegawai. Ada pensiunan.
Ada ibu rumah tangga yang pamit “ikut pelatihan kantor,” padahal dalam hatinya hanya ingin mengulang apa yang diyakini pernah terjadi: sepasang tubuh menyatu, saling menelan napas, dan dunia mendadak jadi basah dan hidup kembali.


Kamar 113 bukan kamar. Ia sumur doa.
Tempat para pengelana cinta datang berzikir dengan kulit.

Di dalam kamar itu, sprei baru selalu terlepas dari kasur—seakan tak tahan menutupi amuk yang pernah terjadi.
Wallpaper bergelombang halus, seperti dinding yang pernah bernapas.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Dan entah siapa yang memulainya, tapi selalu ada bunga kamboja putih di meja kecil sebelah ranjang—meski petugas cleaning service bersumpah mereka tak pernah menaruhnya.

Terdengar desir seperti gaun tipis diseret di lantaiAtau tampak bagai wanita hamilby AI.

Kadang, pukul dua dini hari. Terdengar desir seperti gaun tipis diseret di lantai. Atau pemandangan yang tampak bagai wanita hamil

Dan seseorang tertawa kecil.
Seperti Magdalena.
Atau roh Magdalena.
Atau entah siapa—yang malam itu pernah membakar langit kabupaten dengan desahnya.

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar