Duri Cinta Kebun Sawit (13) | Perusahaan dan negara Bersekongkol Dalam Diam
Legenda kamar 113 itu menyebar.
Orang-orang menyebutnya kamar penyatu jiwa. Atau kamar pemanggil rindu. Tapi ada juga yang bilang: itu gerbang. Gerbang antara tubuh dan gaib. Tempat di mana cinta tak sekadar terjadi, tapi menjelma menjadi makhluk. Bertumbuh. Merambat. Mengakar.
Beberapa yang masuk ke kamar itu keluar dengan bola mata berbinar. Kulit mereka bersinar. Langkahnya lebih ringan.
Sebagian lain menangis di lorong. Tak ingin keluar. Tak ingin kembali ke dunia yang dingin dan kering.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (12) | Misteri Sumur Tua Kamar 113
"Kenapa cuma satu malam?" bisik mereka kepada resepsionis yang tak tahu harus menjawab apa.
Mereka tahu—sebagian sadar, sebagian tidak—bahwa malam itu, cinta telah turun dalam bentuk paling telanjang:
Tubuh yang saling membuka. Jiwa yang saling menerima.
Lidah yang saling menjilat dosa dan luka.
Jerit yang bukan sekadar jerit keenakan, tapi jerit hidup yang akhirnya merasa hidup.
Mereka percaya, cinta seperti itu bisa membangkitkan bangkai paling mati sekalipun.
Bahkan pepohonan di luar hotel pun tampaknya tahu:
Daun-daun tumbuh lebih lebar.
Buah muncul sebelum musimnya.
Burung gereja bersarang di atap koridor.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (11) | Magdalena Melahirkan Embun
Dan mereka, para tamu, terus datang.
Seolah cinta bisa diwariskan.
Seolah kenikmatan bisa direplikasi.
Seolah jeritan Magdalena malam itu masih tersisa di udara—menunggu tubuh baru untuk melanjutkan… ritual.
"Aku mau keluar dari perusahaan itu," ucap Magdalena pelan. Ia menatap Janting, matanya berkaca-kaca.
Janting diam, lalu bertanya pelan, "Dan ke mana kau akan pergi?"
"Ke kamu," bisik Magdalena.
"Kalau aku mati besok," lanjutnya, "setidaknya aku mati bukan sebagai direktur keuangan. Tapi sebagai tumbal. Demi tanah ini. Demi kamu."
Jika ia mati besok, pikir Magdalena, setidaknya ia tak mati sebagai direktur keuangan. Tapi sebagai tumbal. Demi tanah itu. Demi Janting.
Dalam rapat-rapat sunyi yang tak dihadiri roh leluhur, negara dan korporasi menyusun kesepakatan: tanah adat itu akan mereka alihkan, dieksploitasi tanpa jeda. Seolah bumi tak punya ingatan. Seolah hutan tak punya suara.
Mereka berdiri di tepi hutan. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, seperti saksi bisu perubahan zaman. Di bawah mereka, tanah itu masih hitam—bekas pembakaran perusahaan—namun perlahan-lahan, tanaman mulai tumbuh kembali.
Hutan ini —selama berabad-abad— telah menjadi bagian dari sejarah leluhur mereka. Dan kini, tanah ini kembali menjadi taruhan besar.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka merusaknya," kata Magdalena, suaranya nyaris berbisik, seperti menyampaikan rahasia kepada bumi.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (10) | Keringat Hujan yang Memandikan Malam
Janting menggenggam tangannya, pandangannya menembus rimbun yang rapuh.
"Mereka akan datang lagi, dengan cara yang lebih kuat," katanya.
"Tapi kali ini, bukan cuma uang yang mereka bawa. Ini soal kekuasaan."
Magdalena merasakan beratnya kata-kata itu. Ia tahu, waktu mereka terbatas.
Perusahaan dan negara telah berencana mengalihkan tanah adat mereka kepada korporasi besar yang akan mengeksploitasi alam ini tanpa jeda. Yang lebih mengerikan, kekuatan itu kini juga melibatkan militer. Ada kemungkinan penggusuran akan dilakukan dengan kekuatan fisik.
Di sebuah ruangan yang sunyi, Magdalena merenung. Dalam beberapa minggu terakhir, perusahaan-perusahaan besar di Pontianak telah menggandeng investor asing. Korupsi semakin mengakar. Keadaan makin tak terhindarkan.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (9) | Permainan Tenis Dimulai
Magdalena dan Janting mendirikan koperasi bersama beberapa warga yang masih setia. Tapi untuk menghadapi ancaman sebesar ini, mereka harus memikirkan lebih dari sekadar tanaman atau kilang mini. Mereka mempertaruhkan segalanya.
Para petani dan aktivis mulai bergerak. Mereka memperjuangkan tanah mereka. Namun musuh tak hanya datang dari luar—di dalam diri mereka sendiri, kecemasan dan rasa putus asa mulai tumbuh.
Magdalena bertemu kepala desa. Mereka menyusun rencana lebih lanjut. Setiap pertemuan terasa seperti medan pertempuran. Diplomasi harus dijalankan dengan hati-hati, sementara strategi politik harus disusun cepat.
"Keamanan kita terancam," kata kepala desa. "Ada rumor perusahaan akan menggusur tanah kita secara paksa. Kita harus bersiap."
Magdalena mengangguk. Ia mencoba mengingat kembali pelajaran-pelajaran dari dunia korporat.
"Kita harus bersiap. Tanah ini bukan sekadar sumber pendapatan. Ini identitas kita. Kalau mereka datang, kita akan melawan."
Namun kepala desa menatapnya dengan ragu.
"Mereka tidak datang hanya dengan uang. Mereka datang dengan kekuatan. Kau tahu itu."
Magdalena menarik napas panjang. Ia tahu tekanan akan terus bertambah.
Tapi ia telah memutuskan. Ia akan tetap di sini. Memperjuangkan tanah ini.
Dan cintanya pada Janting.
***
Malam turun perlahan, seperti jubah lembut yang menyelimuti hutan. Angin membelai pucuk daun, membawa bisikan dari dunia yang tak kasat mata. Di dalam pondok kecil di pinggir hutan, hanya lampu minyak yang menyala. Cahayanya temaram, seperti kenangan yang malu-malu.
Magdalena berdiri di dekat jendela. Rambutnya menjuntai, seperti benang-benang malam yang tak terurai. Tubuhnya hanya dibalut kain tipis, lembab oleh embun yang menyusup dari celah-celah papan. Di luar, jangkrik bernyanyi. Di dalam, detak jantungnya menggema.
Janting duduk di ranjang bambu, menatap punggung perempuan itu seperti menatap mantra.
"Aku tidak ingin kau jadi tumbal," bisiknya.
Magdalena menoleh. Senyum kecil melengkung di sudut bibirnya—seperti rahasia hutan yang hanya dipahami oleh daun-daun yang paling tua.
"Tapi aku ingin jadi bagian dari tanah ini," ucapnya pelan. "Sampai tubuhku tak lagi dibedakan dari humus dan akar."
Ia melangkah mendekat. Satu-satu, kain dilepasnya. Tak ada kata. Hanya kulit yang menemukan arah pulang.
Mereka bersatu bukan seperti manusia yang bercinta. Tapi seperti sungai yang menyatu dengan lautan, atau akar yang kembali pada bumi.
Tubuh Janting menghafal lekuk Magdalena seperti menghafal mantra turun-temurun:
Lehernya seperti kelokan sungai tua.
Pinggulnya seperti punggung bukit setelah hujan.
Dadanya seperti bumi yang retak dan menunggu hujan.
Ketika tubuh mereka menyatu, waktu meluruh.
Detik tak lagi berjalan.
Hanya gelombang—lambat dan dalam—mengalir di antara tulang dan napas.
Jerit mereka bukan jerit duniawi, tapi seperti nyanyian roh-roh tua yang dipanggil pulang ke pelukan rimba.
Di luar pondok, hutan merunduk.
Pohon-pohon mendekat, seolah ingin mengintip.
Burung malam diam, memberi ruang.
Api di tungku menari, tahu bahwa malam ini bukan sembarang malam.
Ini malam ketika dua jiwa menjadi satu tubuh.
Ketika cinta bukan lagi kata, tapi ritual yang membuat bumi tetap berputar.
Lama mereka berpelukan setelahnya.
Keringat, air mata, dan napas bercampur.
Tak ada batas antara tubuh dan tanah.
Magdalena mengusap dada Janting.
"Aku ingin anak kita tumbuh dari tanah ini," bisiknya.
"Bukan dari kota. Bukan dari beton. Tapi dari akar. Dari rempah. Dari hujan."
Janting mengecup dahinya, lama.
"Kau adalah hutan yang selalu kusembah diam-diam," katanya.
"Dan malam ini, aku tersesat… dengan bahagia."
Di luar, angin berubah arah.
Dari hutan terdengar suara aneh—seperti rintihan atau tarian.
Magdalena menutup matanya. Ia tahu, para leluhur sedang menyaksikan.
Mereka tak takut pada cinta yang suci.
Justru di sinilah—di peluh dan jerit dan pelukan yang tak ingin selesai—cinta kembali menjadi kekuatan.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Sementara itu, jauh di kota, perusahaan-perusahaan menyusun rencana baru.
Tapi mereka lupa satu hal:
Magdalena telah menyerahkan tubuhnya kepada tanah,
dan tanah tak pernah kalah… bila sudah jatuh cinta.
Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)