Duri Cinta Kebun Sawit (10) | Keringat Hujan yang Memandikan Malam
Keringat hujan yang memandikan malam. Ilustrasi by: AI. |
Dan malam kembali datang.
Magdalena duduk di akar pohon besar. Menyusui anak itu. Putingnya mekar, basah, dan hangat seperti buah merah yang baru dipetik dari semak basah.
Bayi itu menghisap pelan. Matanya terbuka, mata biru Eric, namun dalam sorotnya ada kehendak purba yang tak bisa ditaklukkan.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (9) | Permainan Tenis Dimulai
Janting berdiri tak jauh. Tak berkedip.
Cahaya bulan menyentuh punggung Magdalena. Menciptakan siluet yang nyaris tidak manusia. Rambutnya menjuntai, keringat tipis mengilap di punggung dan lengannya. Aroma tubuhnya menggema ke udara—bukan lagi wangi perempuan biasa, tapi seperti tanah yang baru dibajak, seperti bunga yang mekar diam-diam di malam hari, seperti tubuh yang menunggu disentuh.
Magdalena perlahan bangkit. Ia berjalan ke arah Janting, tubuhnya hanya dibalut kabut dan embun.
Putingnya masih keras. Lembut bergoyang saat ia mendekat. Perutnya rata kembali, tapi di balik kulitnya, urat-urat hijau samar masih berdenyut. Dia memeluk Janting dari belakang, lalu berbisik, "Tubuhku... masih ingin menjaga hutan. Tapi kali ini, bukan sendiri."
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (8) | Lapangan Tenis yang Menyibak Rahasia Semesta
Janting tak menjawab. Tubuhnya sudah menjawab lebih dulu. Tangannya menjelajahi punggung Magdalena, turun ke lengkungan pinggul yang masih hangat oleh kehidupan. Dan di hadapan mereka, pohon-pohon berdesir pelan, seperti merestui persetubuhan yang akan segera terjadi.
Mereka bersatu di tanah basah. Daun-daun menempel di kulit. Akar merayap, melingkari kaki mereka. Nafas mereka bertaut. Tangan Janting mencengkeram payudara Magdalena yang kenyal dan basah oleh susu roh. Bibir mereka menyatu. Gairah mereka bukan hanya tentang daging, tapi tentang bumi yang rindu disentuh dengan cinta.
Saat tubuh Janting menekan tubuh Magdalena, bumi pun bergetar. Hutan mendesah. Pohon-pohon bergoyang pelan, seperti menari mengikuti ritme kelamin dua manusia yang kini bukan sekadar manusia. Mereka telah menjadi bagian dari rimba. Dari perang. Dari pembalasan yang nikmat.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (5) | Bau Dupa Entah dari Mana?
Dan saat Janting mencapai puncaknya, ia merintih—bukan karena klimaks, tapi karena merasa... akhirnya diterima oleh alam.
Tubuhnya luruh di atas Magdalena. Tapi mereka tidak terlelap.
Mereka hanya diam.
Mendengarkan bagaimana akar-akar baru mulai tumbuh di sekitar mereka.
Akar yang tumbuh dari tubuh. Dari gairah. Dari cinta.
Dari perang yang kini dimenangkan dengan pelukan dan desahan.
Pada saat Janting mencapai puncaknya, ia merintih—bukan karena klimaks, tapi karena merasa... akhirnya diterima oleh alam.
Tubuhnya luruh di atas Magdalena. Tapi mereka tidak terlelap.
Mereka hanya diam.
Mendengarkan bagaimana akar-akar baru mulai tumbuh di sekitar mereka.
Akar yang tumbuh dari tubuh. Dari gairah. Dari cinta.
Dari perang yang kini dimenangkan dengan pelukan dan desahan.
Pagi menjelang. Kabut belum habis.
Magdalena berdiri di tepi sungai kecil, telanjang. Tubuhnya gemetar bukan karena dingin, tapi karena sesuatu di dalam dirinya masih terus berdenyut. Ia membuka pahanya, merasakan sesuatu menetes perlahan dari liang hidupnya. Bukan darah. Bukan air mani. Tapi cairan bening kehijauan yang harum dan hangat, seperti getah pohon yang baru disayat. Ia tahu, tubuhnya sedang menanam sesuatu.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Janting memandang dari kejauhan, lalu menunduk dan mencium tanah yang telah mereka tiduri semalam. Bau tubuh Magdalena masih melekat di situ. Dan dalam ciuman itu, ia merasa bumi tak lagi dingin. Ada kehangatan, ada kehidupan. Ia tak hanya mencium tanah—ia mencium rahim bumi.
Sementara itu, anak mereka tidur dalam keranjang rotan, tersenyum dengan mata setengah terpejam. Di ujung lidahnya yang kecil, ada tunas hijau yang tumbuh seperti lidah daun pertama musim hujan.
Hari itu, pohon-pohon mulai berbunga lebih awal. Hutan tidak lagi diam. Ia mengerang pelan. Meliuk. Mengeluarkan aroma yang membangkitkan. Seperti perempuan yang sedang jatuh cinta, dan tahu: tubuhnya bukan dosa. Tapi doa.
Dan bagi siapa pun yang masuk hutan mulai hari itu, harus siap:
Siap disentuh.
Siap disetubuhi.
Siap menjadi bagian dari semesta yang... tidak lagi malu untuk menggoda.
Karena sejak tubuh perempuan bersatu dengan batang pohon dan lelaki bersatu dengan akar, hutan tidak lagi butuh penjaga.
Ia telah menciptakan sendiri gairahnya.
Ia telah menjadi tubuh yang hidup.
Dan setiap desah angin di antara dedaunan kini mengucapkan satu kalimat yang membuat lutut lelaki goyah:
"Masuklah, tanpa senjata. Hanya tubuhmu... yang kubutuhkan."
***
Magdalena hanya tersenyum. Lalu merapat.
Pasak di tubuhnya mulai berdenyut lagi.
Dan malam pun larut, membawa suara erangan, desir kain, dan napas yang memburu.
Bukan karena birahi semata. Tapi karena tubuh-tubuh ini... kini ikut menjaga hutan.
- Roman simbolik: Masri Sareb Putra
(Berambung)