Duri Cinta Kebun Sawit (8) | Lapangan Tenis yang Menyibak Rahasia Semesta
Lapangan Tenis yang menyibak rahasia semesta by AI. |
Pagi itu ketika Magdalena membuka mata.
Kamar hotel 113 menyambutnya seperti kekasih lama: hangat, samar, dan sedikit bau tubuh. Tirai belum dibuka, tapi cahaya sudah menyelinap seperti pencuri yang sopan.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (7) | Lorong menuju Dunia Lain
Di sebelahnya, Janting masih tertidur lelap.
Pulas sekali. Maklum, semalam ia menebang tujuh batang ulin—kayu keras berusia lebih dari seratus tahun—dengan chainsaw.
Magdalena menatapnya dengan puas.
Ia seorang perempuan, namun mampu mengalahkan lelaki Dayak yang gagah perkasa—yang menyimpan kebun penuh pasak bumi sebagai hidupnya.
Nyenyaknya Janting seperti bayi yang selesai disusui ibunya, tapi ekspresinya seperti orang dewasa yang menyimpan banyak dosa. Bibirnya sedikit tersungging, seolah tertawa dalam mimpi, namun alisnya mengerut halus, menandakan ada yang tak selesai di alam sadarnya.
Magdalena menunduk. Membisikkan sesuatu ke telinga lelaki itu. Suara perempuan dengan sorot mata puas, bagai tanaman yang lama tak disiram hujan.
"Nemani aku olahraga bentar yuk, keluarkan keringat."
Janting membuka sebelah mata. Separuh sadar. Separuh waspada.
"Semalam keringat kita bukan hanya keluar," gumamnya, "tapi mengucur… kalau ditampung, bisa tiga ember, dan itu belum termasuk yang menetes dari langit-langit."
Magdalena tertawa. Tertawanya lembut, tapi mengandung kekerasan niat.
"Itu keringat enak," jawabnya, sambil berdiri telanjang begitu saja, seperti patung yang tiba-tiba hidup.
"Yang kumau kali ini, keringat sehat," lanjutnya.
Ia melangkah ke kamar mandi, meninggalkan aroma sabun, napas malam, dan sedikit rasa takut.
Janting menatap punggung perempuan itu. Ia tahu: tubuh bisa berbohong, tapi gerak langkah tidak. Magdalena melangkah seperti orang yang tahu betul apa yang bisa membunuh dan menghidupkan dalam satu ciuman.
Lalu suara air.
Lalu bunyi kerik daun pintu dibuka.
Lalu Magdalena muncul, mengenakan pakaian olahraga tenis yang terlalu pas untuk dianggap netral.
Baju putih ketat menampakkan sepasang gunung kembar yang mendesak ke luar seperti rahasia yang tak sabar dibongkar. Rok mini berkibar-kibar, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang tak pernah diajarkan dalam pelajaran olahraga.
Gerak tubuhnya mengalir seperti air suci—tapi Janting tahu, air suci pun bisa bikin orang tenggelam.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (6) | Tubuh yang Terlepas dari Tangkai Waktu
Magdalena menatapnya.
"Yuk!" katanya. Dan itu bukan ajakan biasa. Itu tantangan.
Mereka keluar kamar. Menyusuri lorong hotel seperti sepasang atlet yang hendak bertanding—bukan untuk menang, tapi untuk menguji batas tubuh masing-masing.
Namun saat tiba di ruang olahraga yang kosong, dingin, dan bercermin di empat dinding, mereka hanya berdiri. Tak satu pun alat disentuh.
Magdalena mendekat. Keringat belum keluar, tapi detak jantung sudah mulai memukul pintu dada.
"Keringat sehat dimulai dari detak yang jujur," katanya.
Janting mengangguk. Tapi saat ia mengulurkan tangan, Magdalena mundur. Senyumnya ganjil. Matanya menyala seperti api kecil di ujung sumbu.
"Ada kamera di sini," bisiknya.
Janting tertegun.
Hotel ini menyimpan sejarah. Konon, pernah ada sepasang kekasih yang—yah, mereka kelelahan setelah makan buah kuldi… sampai mati. Terlalu sehat, katanya.
Seketika, hawa ruangan berubah.
Alat-alat olahraga seperti menatap mereka.
Cermin-cermin memantulkan bayangan yang tidak lagi selaras dengan gerakan mereka.
Keduanya terdiam.
Tapi jantung mereka berdetak kencang.
Bukan karena cinta. Bukan pula karena takut.
Melainkan karena perpaduan ganjil dari keduanya.
Seketika hawa ruangan berubah. Alat-alat olahraga seperti menatap mereka. Cermin-cermin memantulkan bayangan yang tak sama dengan gerakan mereka.
Keduanya diam. Tapi jantung mereka berdetak kencang. Bukan karena cinta. Bukan karena takut. Tapi karena kombinasi ganjil dari keduanya.
Romantis. Erotis. Ngeri.
Keringat mulai keluar. Bukan karena bergerak, tapi karena tubuh tahu: sesuatu sedang mendekat. Entah dari balik cermin. Atau dari dalam diri sendiri.
Nikmatnya tetap berbeda. Tapi kali ini, mungkin juga berbahaya.
Lapangan tenis di belakang hotel itu lengang. Diselimuti kabut pagi yang belum juga bubar. Rumput sintetis masih licin oleh embun. Tapi Magdalena sudah berdiri di satu sisi, raket di tangan, kaki ringan melayang-layang di udara, seolah tanah pun terlalu biasa untuk dia injak.
Di seberang, bukan Janting yang berdiri. Bukan.
Bukan lelaki Dayak itu.
Melainkan seorang bule. Kulitnya pucat, urat-urat menyembul seperti akar tanaman yang kehausan, dan matanya biru—tapi dingin, seperti akuarium tanpa ikan.
Orang-orang mulai berdatangan. Karyawan hotel. Beberapa tamu. Mereka bisik-bisik:
"Itu bule dari perusahaan kemarin..."
"Yang katanya mau beli semua aset..."
"Termasuk Magdalena!"
Magdalena mendengar semua bisik itu, tapi matanya tak bergeming. Dia kenal bule itu. Eric namanya. CEO dari korporasi minyak yang kemarin menawarinya kontrak: uang miliaran, vila, bahkan jet pribadi—asal dia ikut ke Norwegia. Jadi "duta keberagaman" atau apalah, istilah yang dibungkus brosur warna emas.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Tapi Magdalena bukan wanita yang bisa dibungkus.
Dia tahu kelemahan bule-bule seperti Eric. Mereka besar, putih, dan kaya. Tapi tidak sekeras laki-laki Dayak. Tidak tahu cara mendayung di arus deras. Tidak tahan menyusur hutan berhari-hari dengan hanya garam dan setitik madu.
Dan yang paling penting: mereka tidak punya pasak bumi.
Sementara Janting, yang kini berdiri di pinggir lapangan, diam-diam menyaksikan. Dia punya pasak.
Pasak Dayak.
Pasak yang bukan hanya keras, tapi menancap.
Dalam. Dalam sekali.
Sampai-sampai Magdalena tak bisa bergerak tanpa mengingat rasa sakit yang nikmat dari malam-malam sebelumnya.
-- Roman simbolik: Masri Sareb Putra
(Berambung)