Duri Cinta Kebun Sawit (6) | Tubuh yang Terlepas dari Tangkai Waktu

Novel, roman, cerita berdambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, Kalimantan Barat

Duri-duri Cinta di Kebun Sawit
Tubuh yang terlepas dari tangkai waktu by AI.

Janting merasakan dunia di sekelilingnya bergetar. 

Lantai berguncang. Dan dari kegelapan terdengar suara: pelan, namun makin nyata. Seperti ribuan bisikan yang saling mendesak keluar. 

Di antara semuanya, satu suara terdengar paling jelas.

“Janting… jangan lari… jangan lari…”

Suara itu tak lagi berasal dari luar, melainkan dari dalam dirinya. Suara yang ia kenal. Suara yang selama ini ia hindari, ia kunci rapat-rapat. Tapi kini tak bisa lagi ia tahan.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (5) | Bau Dupa Entah dari Mana?

“Janting… kau tak bisa lari dari ini…”

Bisikan itu kini seperti dorongan yang menariknya ke dalam kegelapan. Tak tertahankan. Tak terelakkan.

“Aku tidak mau!” Janting berteriak. Suaranya menggema, penuh ketakutan. “Aku tidak mau menjadi seperti ini!”

Magdalena tiba-tiba berhenti. Tatapannya dalam. Di balik mata itu, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—lebih dari sekadar kebingungan. Seperti sebuah kesadaran purba yang telah menunggu.

“Kau sudah memilih, Janting,” ucapnya lembut. Nyaris seperti janji. “Kau sudah masuk. Tak ada jalan keluar.”

Bayangan itu kembali. Kegelapan meletup dari kolong ranjang, meluap memenuhi ruangan. Udara menjadi pekat, hampir bisa dipotong dengan pisau. Bisikan-bisikan itu menebal, menekan, mencengkeram.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (4) | Terperangkap Kesunyian dan Pencarian Diri

Tubuh Janting terasa berat. Ada yang tak kasatmata mendorongnya maju. Ia bisa merasakan kekuatan itu—sebuah energi yang menginginkannya, meresap perlahan, menguasai pikirannya.

Langkah-langkahnya yang semula ragu kini mantap. Ia menembus kegelapan yang menyambutnya. Takut dan penasaran saling bertabrakan dalam dirinya.

Magdalena mengikutinya. Ringan, seperti sudah tahu akhirnya.

Saat Janting menembus kegelapan itu, dunia terasa terbalik. Ia seolah menghilang dalam kehampaan. Bisikan-bisikan itu kini berbicara langsung ke dalam benaknya.

“Kami telah menunggumu, Janting…”

Sesuatu yang lebih tua, lebih besar, dan lebih mengerikan mulai merasuk ke dalam dirinya. Mengubah pandangan, membentuk ulang siapa dirinya. Ia menjadi bagian dari sesuatu yang tak bisa ia pahami.

Kegelapan menjalar ke tubuhnya, memenuhi tiap sel. Rasanya seperti terserap dalam pusaran energi purba. Suara itu menggema dari kedalaman:

“Apa yang kau inginkan, Janting?”

Itu bukan lagi suara Magdalena. Itu suara dari dunia yang terlupakan, berat dan penuh takzim.

Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (3) | Kamar 113 pukul 2:47 dini hari

Janting gemetar. Dunia seolah bergerak dalam dimensi yang lain. Ia bisa merasakan sesuatu menyusup ke dalam darahnya, membelokkan jalan hidupnya.

Magdalena kini berdiri di hadapannya. Tapi dia bukan lagi Magdalena. Senyumnya menyimpan kegelapan. Tatapannya tak lagi manusiawi.

“Janting…” bisiknya, menusuk tulang. “Kau sudah melangkah terlalu jauh. Tak ada lagi jalan mundur.”

Janting ingin lari, ingin menjerit. Tapi tubuhnya beku. Setiap gerakan seperti berenang dalam lumpur. Dan semakin ia melawan, semakin ia tenggelam.

“Kami menunggumu,” suara itu kembali. Mendalam. Melampaui batas kesadaran. “Kau bagian dari kami. Kita akan menjadi satu, Janting.”

Lantai kamar 113 seperti melesak ke dalam dirinya. Ruang dan tubuh menyatu. Tak ada lagi batas.

Magdalena—atau entitas yang merasukinya—melangkah maju. Sentuhannya di dada Janting terasa seperti api dan es sekaligus. Darahnya mendidih, jantungnya berdetak mengikuti irama asing.

“Ini waktunya,” bisiknya, tak lagi seperti manusia. “Segalanya akan bersatu. Kegelapan, terang. Yang lama, dan yang baru.”

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Janting tak bisa bergerak. Ia terserap ke dalam kekosongan. Hanya ada kegelapan yang mengalir dalam dirinya.

“Kau telah terpilih, Janting,” bisikan itu makin dalam. “Kau tak bisa kembali. Kegelapan ini adalah bagian dari dirimu. Kini saatnya menerima.”

Tubuhnya terlepas dari ruang dan waktu. Setiap napas seperti beban. Dan di mata entitas itu, ia melihat sesuatu—yang telah menunggunya sejak lama.

Janting mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi buruk. Tapi semakin ia melawan, semakin ia terseret. Rasionalitasnya hancur. Tapi anehnya, ada juga kedamaian. Sebuah penerimaan. Tujuan yang tak pernah ia cari.

“Kami membutuhkan darahmu, Janting,” suara itu kini lantang. “Kami haus. Hanya kau yang bisa memberi.”

Ia merasakan kunci yang terbuka. Sesuatu yang sangat tua, sangat kuat, mengalir ke dalamnya. Ia tahu, dirinya tak lagi miliknya sendiri. Ia telah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Tubuhnya bergetar. Dunia jadi lebih jelas. Dan ketika ia menatap cermin yang retak, ia tahu: ia telah berubah.

Kegelapan di kamar itu menebal. Udara berat dengan bisikan tanpa henti. Napasnya makin sesak, seperti ditarik masuk ke jurang tak bernama. Tubuhnya melayang, namun terasa nyata.

Entitas itu menatapnya. Mata kosong itu seperti dua lubang hitam yang memanggil jiwanya.

“Apa yang kau lihat, Janting?” tanyanya. “Takut pada apa yang akan datang? Atau… pada dirimu sendiri?”

Janting mencoba bergerak. Percuma. Suara tercekik di tenggorokannya. Ia berusaha memegang kendali, tapi justru makin kuat tertarik.

“Aku tidak tahu…” suaranya akhirnya keluar. Parau. “Apa yang terjadi padaku?”

Entitas itu duduk di ranjang, tenang dan berkuasa. Senyumnya menyimpan rahasia dunia.

“Magdalena sudah lama pergi,” ucapnya. “Yang ada kini… adalah sesuatu yang telah menunggu. Tak bisa dibendung. Tak bisa dihentikan.”

Tubuh Janting makin tenggelam. Geraknya makin berat. Ruang itu mengecil, menjebaknya.

“Apakah kau ingin tahu apa yang kami inginkan?” suara itu bergetar, menusuk. “Kami hanya menginginkanmu. Darahmu. Kau akan menjadi bagian dari kami. Dan setelah itu… kita semua akan menjadi satu.”

(Bersambung)

LihatTutupKomentar