Duri Cinta Kebun Sawit (7) | Lorong menuju Dunia Lain
![]() |
Lorong menuju Dunia Lain ilustrasi by AI. |
Janting merasakan tarikan kuat dari dalam dirinya.
Ada sesuatu yang jauh melampaui tubuh manusia mengalir masuk ke dalam raganya. Seperti arus energi yang membentuk ulang siapa dirinya. Bukan hanya tubuhnya yang berubah, tetapi jiwanya. Sesuatu telah terbangkitkan, kekuatan yang selama ini tersembunyi dan tertidur, kini mulai menggeliat.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (6) | Tubuh yang Terlepas dari Tangkai Waktu
Matanya tak bisa lepas dari sosok Magdalena, yang perlahan mendekat. Meski berwujud manusia, gerakannya tak lagi manusiawi. Setiap langkah mengalun dalam irama asing dan gelap, seolah berasal dari dunia yang lebih tua, lebih dalam—dunia yang tak terikat oleh waktu.
Magdalena—atau entitas itu—mengangkat tangannya. Perlahan, ia menyentuh wajah Janting. Sentuhan itu dingin seperti es, tapi sarat daya yang menyeretnya masuk ke samudra tanpa dasar. Tangan itu seakan menyedot seluruh keberadaannya, menariknya semakin dalam ke dalam kegelapan.
“Apa yang terjadi jika aku menyerah?” bisik Janting, nyaris tak terdengar. “Apa yang akan kau lakukan padaku?”
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (5) | Bau Dupa Entah dari Mana?
Magdalena tersenyum. Kali ini bukan senyum yang menyeramkan, melainkan senyum bijak yang mengandung rahasia zaman.
“Kau sudah tahu jawabannya. Apa yang terjadi padamu adalah apa yang telah terjadi pada yang lain. Kami semua bagian dari sesuatu yang lebih besar, lebih kuat. Kami adalah kegelapan yang telah ada sejak awal waktu.”
Tubuh Janting terasa melayang, seperti tak lagi terikat gravitasi. Ia tenggelam dalam kekosongan, sementara logikanya terkikis perlahan oleh kekuatan yang membungkusnya. Dalam keheningan yang nyaris sempurna, suara itu kembali terdengar—lebih jelas, lebih kuat.
“Selamat datang, Janting,” bisik suara itu. “Kau kini bagian dari kami. Dan sekarang, kita akan menanti dunia yang baru. Dunia yang tak dikenal, dunia yang hanya kita kuasai.”
Magdalena melangkah perlahan. Setiap gerakannya seperti ditarik kekuatan tak kasatmata. Matanya memancarkan kedalaman, seperti lorong menuju dunia lain yang menganga.
Janting merasakan ruang di sekeliling mereka bergetar—seakan waktu sendiri mulai retak. Ada sesuatu yang melayang, antara hidup dan mati, antara kenyataan dan ilusi.
“Pernahkah kamu berpikir,” ucap Magdalena, suaranya merembes ke dalam dinding ruang, “apa yang akan terjadi setelah semuanya berakhir? Saat waktu memutuskan untuk berhenti?”
Janting memandangnya, mencari makna dalam kalimat itu. Namun yang ia temukan hanyalah keheningan yang lebih dalam—keheningan yang berkata lebih banyak dari kata-kata.
“Apa maksudmu?”
Magdalena tersenyum, bukan senyum biasa, melainkan senyum yang menyimpan rahasia jiwa-jiwa yang telah menembus batas fisik.
“Kita semua berlari, Janting. Mengejar waktu, mengejar kebahagiaan yang tak pernah kita temui. Tapi bagaimana jika sebenarnya kita telah terperangkap di dalamnya? Bagaimana jika kita hanyalah bagian dari takdir yang coba kita hindari?”
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (3) | Kamar 113 pukul 2:47 dini hari
Janting terdiam. Kata-katanya menembus dinding pertahanan yang selama ini ia bangun. Ia mulai merasakan sesuatu yang melampaui tubuh, sesuatu yang mengikat mereka dalam sunyi.
Magdalena mendekat. Tatapannya kini lebih lembut, seolah sesuatu dalam dirinya ikut tersentuh—sesuatu yang masih manusiawi.
“Kehidupan,” ucapnya pelan, “hanyalah ilusi. Sebuah cerita yang terus berjalan, meski kita tak tahu akhir kisahnya. Dan ketika kita berhenti mengejar, barulah kita bisa melihat dengan lebih jernih.”
Kata-katanya menembus kesadaran Janting, menyingkap lapisan-lapisan jiwa yang selama ini tersembunyi. Ia merasa seperti dilahirkan kembali dalam keheningan ini. Seperti mendengar musik dari dunia yang belum pernah ia ketahui.
Kini, Magdalena berdiri di hadapannya. Tubuh yang dulu tampak sensual kini menjadi simbol dari sesuatu yang jauh lebih dalam. Bukan lagi tentang bentuk atau nafsu, tapi tentang pencarian yang abadi—perjuangan melawan waktu yang tak pernah habis.
“Apa yang kita cari sebenarnya?” tanyanya, matanya terpejam sejenak, menikmati sunyi yang lahir dari pertanyaannya sendiri.
“Kebenaran,” jawab Janting perlahan. Hampir tak terdengar, tapi penuh keyakinan.
Magdalena membuka matanya. Tatapannya tajam.
Tapi kali ini bukan untuk menantang, melainkan menggugah.
Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (3) | Kamar 113 pukul 2:47 dini hari
“Apakah kebenaran itu ada? Ataukah ia hanya bayangan yang kita ciptakan, untuk mengisi kekosongan dalam diri?”
Janting merasa seperti jatuh ke dalam jurang. Tapi ia tidak takut. Justru, untuk pertama kalinya, ia merasa menemukan sesuatu yang telah lama ia cari. Sebuah kebenaran—lebih dalam, lebih rumit, lebih manusiawi.
Magdalena mengulurkan tangan. Bukan untuk menyentuh, tetapi untuk menawarkan pilihan.
“Jika kau ingin mengetahui kebenaran, Janting, kau harus siap melepaskan dirimu. Melepaskan segalanya—yang kau kenal, yang kau percaya. Apakah kau siap?”
Janting menatap tangan itu, lalu ke wajah Magdalena. Dalam tatapan itu, ia menemukan lebih dari sekadar hasrat atau ketakutan. Ia menemukan panggilan. Panggilan untuk menggali dirinya lebih dalam, menghadapi ketidakpastian, merangkul kegelapan.
“Ya,” jawabnya pelan. “Aku siap.”
Magdalena tersenyum. Kali ini, senyum damai.
“Maka mari kita temui kebenaran kita.”
Mereka berdiri dalam hening yang kini berubah menjadi kepastian. Tak ada lagi kata-kata yang dibutuhkan. Hanya pengertian yang mengalir di antara mereka. Mereka tak lagi berlari. Mereka berdiri—menghadapi kegelapan, bersama.
Dan di luar jendela, langit senja masih memancarkan cahaya keemasan yang perlahan memudar. Seperti waktu itu sendiri—yang terus bergerak, namun tak pernah bisa kita kendalikan.
-- Roman simbolik : Masri Sareb Putra
(Bersambung)