Duri Cinta Kebun Sawit (15) | Bukan Tubuh Biasa

Novel, roman, Chairil Anwar, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, pastor, pengakuan dosa

Duri Cinta Kebun Sawit
Tubuh Magdalena bukan tubuh biasa. By AI.


Tubuh Magdalena bukan tubuh biasa.

Itu tubuh yang pernah ditiduri oleh iblis kekuasaan, namun tidak pernah tunduk.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (14) | Menyesap Anggur bersama Para Eksekutif

Itu tubuh yang telah dijilat oleh ketamakan dunia, namun tetap bisa mencintai.

Tubuh Magdalena adalah tubuh yang baru saja pulang dari pertempuran.

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?

-- Chairil Anwar dalam “Isa”.

Tubuh yang datang bukan untuk ditobatkan.
Ia datang untuk mengingatkan: bahwa bahkan cinta yang disangka keliru,
bisa menjadi nyala kecil dalam kegelapan yang ingin melahap segalanya.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (13) | Perusahaan dan negara Bersekongkol Dalam Diam

Dan yang paling menyakitkan bagi mereka adalah:
Tubuh itu... telah dikecap oleh Janting.

Janting yang kurus dan pendiam.
Yang tidak punya jabatan, tidak punya kendaraan mewah, dan tak tahu cara bicara manis.
Tapi lelaki itu... telah tidur dengan perempuan yang membuat langit pun bergetar.

Dan mereka semua, para lelaki yang diam-diam mengagumi Magdalena, tahu satu hal:
Bahkan jika mereka memiliki seluruh harta dan kuasa di dunia ini,
mereka tak akan pernah bisa memiliki perempuan itu.

Karena Magdalena bukan milik siapa pun.
Ia milik tanah.
Ia milik cinta.
Ia milik dirinya sendiri.

Dan saat lonceng gereja tua berdentang pelan,
Magdalena masuk ke ruang pengakuan dosa—tanpa malu, tanpa takut.
Tubuhnya masih harum oleh peluh dan getar cinta semalam.

Ia berlutut.
Dan di hadapan pastor tua-botak yang gemetar, ia berkata:

“Bapa, aku telah menyerahkan tubuhku… bukan karena aku berdosa,
tapi karena aku percaya: cinta bisa menjadi alat untuk membebaskan.
Aku tak menyesal.”

Pastor terdiam.
"Kamu harus menyesal!"—jawaban harus itu bahkan tak dapat ia ucapkan.
Sebab meski manusia suci, pastor juga tergoda oleh aroma tubuh yang masih panas oleh pengorbanan.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (11) | Magdalena Melahirkan Embun


Pengakuan dosa yang tulus sekaligus kudus dari Magdalena.
Pengakuan dosa yang tulus sekaligus kudus dari Magdalena. by AI.

Tapi tak ada yang bisa ia katakan.

Karena dalam sunyi, ia tahu: Magdalena telah mengalahkan kuasa gelap— dengan tubuh yang dicintai, dan jiwa yang tak pernah menyerah.

Pastor tua menunduk dalam bilik pengakuan dosa...

Magdalena baru saja selesai mengakukan apa yang menjadi dosanya.
Suaranya lembut, tapi menghunjam.
Tubuhnya masih hangat oleh pergulatan semalam, aromanya menyeruak seperti dupa terlarang.

Dan saat ia menyebut nama "Janting" dengan suara gemetar antara cinta dan pengorbanan, setitik air kelelakian pastor tua yang lama tertahan… mengalir. Srrrr!

Pastor terperanjat. Napasnya tercekat. Matanya memejam.

Hal yang terasa aneh dalam tubuh pastor tua kali ini sebaliknya: Rohnya yang lemah, namun dagingnya yang kuat.

Sang pastor menggenggam salib suci tanpa duri erat-erat. Ia ingat ayat yang benar, "Roh memang kuat, tapi daging lemah"…” bisiknya dalam hati.

Mengutip nats Alkitab yang seharusnya melindunginya dari pikiran-pikiran itu. Tapi yang barusan tadi ini, pikirannya telah melompat. Untungnya, hanya sedetik, hanya sekejap saja. Dan ia pun telah berdosa dengan pikirannya.

Namun ia sadar: ia harus tetap menjadi pastor bonus, gembala-baik yang melindungi domba, semulus dan sepolos apa pun ia datang.
Bukan untuk dimakan!

Perempuan di balik tembok pengakuan dosa itu… bukan hanya seorang perempuan.

Ia adalah Magdalena.
Bukan hanya tubuhnya yang harus diselamatkan, tapi jiwanya.

Ini bukan soal erotika—ini soal eksorsisme zaman.
Magdalena, umat parokinya, adalah versi baru Maria dari Magdala:
Yang dicintai, tapi juga dilukai dunia.
Yang digoda, tapi juga disucikan oleh tujuan yang lebih besar.

Pastor menarik napas panjang,
dan perlahan berkata seraya nada suaranya bergetar:

“Anakku, Tuhan mengerti. Dan Dia telah memanggilmu, bukan untuk tenggelam…
tapi untuk bangkit.”

Sekonyong-konyong, tirai gereja itu—yang selama ini bergeming seperti sumpah para malaikat—bergoyang. Tak sopan. Tercarik belah dua. Robek dari atas hingga bawah, seperti pakaian perawan yang tak kuasa menahan gairah dunia gaib. Suara kain yang koyak terdengar seperti desahan terakhir dari langit yang terluka.

Tak ada yang meniup. Tak ada yang datang. Tapi angin hadir—angin tanpa kaki, tanpa tubuh, tanpa nama. Ia menyusup seperti pencuri dalam doa. Ia tidak berteriak, hanya berbisik: lirih, getir, dan dalam. Lilin-lilin pun ketakutan. Mereka padam satu demi satu, seperti bintang yang ditelanjangi malam. Cahaya lenyap. Bayangan menjadi liar. Tak lagi punya bentuk, tak lagi mengenal tuannya. Semua jadi hantu.

Udara menggigil. Dinding-dinding gereja menyimpan rahasia. Dinginnya bukan dingin musim, tapi dingin dari dalam dada, dari lubuk iman yang retak. Sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang lebih tua dari agama, lebih telanjang dari kebenaran. Ruang itu hening, tapi bukan sunyi—ia memekik dalam diam, memanggil nama yang tak bisa dilafalkan lidah manusia.

Di balik tirai yang robek itu, mungkin Tuhan sedang memperlihatkan kuat-kuasa cinta-Nya. Atau mungkin Iblis sedang berlutut, meminta pengampunan atas dosanya ingin melebihi Sang Cahaya itu sendiri.

Dan Magdalena hanya bisa berdiri. Telanjang pula. Di antara gentar dan gairah, menanti jawaban dari kekosongan yang seindah puisi, sekejam kenyataan.

Lilin-lilin padam satu per satu,
menyisakan ruang hampa yang dingin,
di mana bayangan tak lagi memiliki bentuk.

Namun di tengah kegelapan yang merayap,
lampu tabernakel tetap menyala.
Cahayanya kekal-lembut, menembus ruang dan waktu,
abadi dalam diam.

Seperti janji tak terucap, atau doa yang mengalir tanpa suara.
Lampu tabernakel menyinari altar.

Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

Dan segala yang ada di sekitarnya pun menjadi seolah tak berarti,
kecuali cahaya itu: tetap bertahan, meski dunia seakan runtuh.

Segalanya menguap ke dalam bayang. Langit ambruk tanpa bunyi. Pohon-pohon membungkuk seperti hendak menyembah tanah. Dinding-dinding waktu bergoyang, runtuh perlahan—seperti ingatan yang disiram hujan. Tapi di tengah reruntuhan yang tak bernama itu, ia tetap menyala. Cahaya. Kecil. Mungil. Nyaris tak tampak, namun lebih nyata daripada suara guntur.

Bukan api biasa. Bukan sinar yang bisa ditiup. Ia seperti napas Tuhan yang bersembunyi di ujung malam. Orang-orang telah melupakan makna. Telah membuang doa. Tapi cahaya itu—oh, cahaya itu!—masih berdiri, meski dunia gemetar seperti tubuh tua yang menggigil.

Dan benarlah kata seorang arif yang hatinya tak digerogoti kepentingan:
"Sumbu yang berkedip, tak pernah dipadamkannya."

Ia tidak bicara tentang lilin. Ia bicara tentang harapan. Tentang cinta yang tidak habis walau dikoyak. Tentang keajaiban kecil yang tidak pernah menuntut panggung, tapi justru menopang langit.

Bukankah yang abadi memang selalu tersembunyi?

Lampu kekal berbinar.  Nyalanya abadi. Selamanya.

Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)

LihatTutupKomentar