Duri Cinta Kebun Sawit (19) | Antara Cinta dan Pengkhianatan
Anike atau Magdalena? Pilihan yang tak mudah by AI.
Malam ini. Siapa pun bisa jadi pahlawan atau pengkhianat? Tergantung siapa yang lebih dulu telanjang.
Tiga menit tersisa.
Janting duduk di depan terminal server. Ruangan itu dingin dan sunyi, hanya suara dengung mesin dan napasnya yang berat.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (18) | Sosok yang Menunggu depan Lift Kaca
Cahaya dari layar menyorot wajahnya yang tegang, berkeringat, dan... ragu. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, membuka satu per satu folder rahasia: aliran dana gelap ke partai politik, penyanderaan data nasabah, manipulasi donasi fiktif dari yayasan amal.
Ini bukan cuma tentang data. Ini tentang dosa kolektif yang selama ini disembunyikan BayarTech di balik layar.
Tapi yang membuat jantung Janting paling berdegup bukanlah ancaman sistem. Melainkan dua nama yang memburu pikirannya: Anike dan Magdalena.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (17 | Berdiri Telanjang, Jujur sebelum Jatuh
Pada Magdalena, ia merasa hidup. Perempuan yang membuatnya tertawa dalam ranjang, berpikir di ruang rapat, dan menangis dalam sunyi. Ia mendapatkan segalanya—lahir, batin, bahkan rekening bank yang terlalu gemuk untuk pria sepertinya.
Tapi pada Anike, ada utang. Bukan hanya uang, tapi sejarah kelam. Anike-lah yang dulu memberinya modal diam-diam. Untuk membayar sekolah anak, merawat istrinya yang sakit, dan—yang paling kotor—mendirikan anak perusahaan yang selama ini menyuplai informasi ke dalam BayarTech. Inside trading.
Anike tahu semua. Karena ia bagian dari semuanya. Dan malam ini, ia hanya perlu satu alasan untuk menembak Janting. Tapi dia belum melakukannya.
Di luar ruangan server, Anike berdiri seperti patung gelap di ujung lorong. Wajahnya tenang, matanya dingin. Ia menatap layar CCTV yang menampilkan seluruh gedung. Di satu layar, ada Janting. Di layar lain—Dirga, atasannya, sedang tersenyum puas.
“Semuanya berjalan sesuai rencana,” kata Dirga sambil menyesap wine. Ia pikir semua bidak sudah menempati tempatnya.
Ia salah.
Karena Magdalena sedang berdiri di luar gedung, di bawah gerimis yang mulai turun. Tangannya memegang remote disruptor—perangkat eksperimental hasil curian dari laboratorium keamanan digital di Seoul. Dengan satu tekanan tombol, sistem BayarTech akan lumpuh selama tujuh menit. Tidak lebih.
Ia hanya akan menekannya jika Janting keluar hidup-hidup.
Atau... jika Janting tidak keluar sama sekali.
Magdalena tahu: pilihan yang ia buat malam ini bisa mengubah segalanya. Ia tahu juga bahwa Anike mungkin akan menembak sebelum pintu terbuka. Dan Janting? Ia mengikuti instingnya. Bukan pada uang. Bukan pada utang. Tapi pada cinta yang membakar pelan, tanpa janji, tapi penuh nyala.
Di detik terakhir, file terakhir terbuka. "Operasi BayarGelap"—dokumen puncak yang bisa menjatuhkan Dirga dan seluruh ekosistem kotor BayarTech.
Janting menarik napas dalam-dalam. Tangannya gemetar. Ia klik tombol UPLOAD TO PUBLIC SERVER.
Dan saat jendela konfirmasi terbuka, ia tersenyum kecil. Ironis. Sedikit tragis.
“Hidupku untuk Magdalena,” gumamnya.
“Dengan risiko mati konyol oleh perempuan yang sudah puas meniduriku.”
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Di lorong, Anike menurunkan pistolnya. Matanya basah. Untuk sepersekian detik, ia tampak bukan seperti eksekutor—tapi seperti perempuan yang patah karena tahu ia kehilangan Janting… untuk selamanya.
Lalu alarm berbunyi.
Terminal berkedip.
Seluruh sistem mulai runtuh.
Dan di luar, Magdalena akhirnya menekan tombol. Remote disruptor aktif.
Gedung BayarTech gelap. Sunyi. Mati.
Tapi cinta, dendam, dan pengkhianatan… masih menyala di dalamnya.
Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)