Duri Cinta Kebun Sawit (17 | Berdiri Telanjang, Jujur sebelum Jatuh
Pintu menutup dengan suara klik seperti keputusan akhir. AI. |
Malam menetes perlahan dari sela daun jendela yang terbuka.
Magdalena mematung. Jari-jarinya masih menyentuh touchpad laptop yang membara oleh laporan-laporan keuangan, tapi pikirannya jauh.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (16 | Iman yang Digoyang Amplop dan Janji
Jauh ke halaman depan. Tempat Janting berdiri dengan tubuh panjang dan gelisah. Magdalena tahu lelaki itu menantinya, tapi ada sesuatu yang mengunci kakinya di lantai.
Ketakutan. Keinginan. Dosa?
Layar laptop menampilkan spreadsheet. Tapi yang tertangkap matanya justru lekuk tubuh Janting tadi siang ketika mereka bertemu secara tak sengaja di lobi kantor, tubuhnya menyentuh lengan Magdalena, dan detik itu juga ada aliran listrik yang liar di dalam perutnya.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (15) | Bukan Tubuh Biasa
Magdalena adalah ibu muda, istri resmi seseorang yang tak lagi hadir. Jablai. Sudah lebih dari dua tahun ia hanya menjadi perabot rumah: bersih, rapi, wangi… tapi selalu merasa kesepian. Terlalu kesepian hingga wangi tubuhnya pun seperti menjerit minta disentuh.
Ponselnya bergetar. Sebuah nama: Dito. Kolega kepercayaan.
Magdalena mengangkat, tapi matanya masih ke jendela. Janting tidak bergerak. Seperti patung rindu.
"Saya baru saja dengar kabar," suara Dito berat dan cepat. "Ada orang dalam yang bocorkan semua. Rencana kalian sudah tercium."
Magdalena menggigit bibir bawahnya. Sekilas ia ingin bertanya, siapa? Tapi bayangan lain muncul: wajah Janting saat bicara tentang konspirasi itu… atau tentang dirinya?
"Berhati-hatilah! Mereka bisa datang kapan saja," lanjut Dito, sebelum Magdalena sempat menanggapi.
Lalu, diam. Sambungan terputus. Tapi suara di kepalanya tak kunjung reda.
Magdalena berdiri. Langkahnya ringan, tapi jantungnya berat. Ia berjalan ke pintu. Membuka pelan.
Dan Janting ada di sana.
Diam. Lalu tersenyum. Senyum yang tak menjanjikan keselamatan, tapi menawarkan sesuatu yang lebih menggoda: kejatuhan.
“Apa kamu yakin malam ini?” tanya Magdalena.
“Tidak,” jawab Janting jujur. “Tapi kalau aku harus mati, lebih baik dalam pelukanmu.”
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (8) | Lapangan Tenis yang Menyibak Rahasia Semesta
Ucapan itu membakar sesuatu dalam diri Magdalena. Sebuah ceruk di dalam tubuhnya yang lama tak disentuh, tak didengar. Ia menarik Janting masuk.
Pintu menutup dengan suara klik yang seperti keputusan akhir.
Di dalam, hanya ada napas. Napas mereka. Saling mencari. Saling mendekat.
Janting menatapnya. Tangan mereka bertemu di udara, lalu menari di atas kulit. Tak ada lagi spreadsheet, tak ada suara peringatan. Yang ada hanya desir tubuh yang saling menjawab.
Magdalena melepaskan satu per satu beban dari tubuhnya: kemeja, sisa keraguan, rasa bersalah. Ia mendekat. Ia ingin percaya bahwa cinta bisa lahir dari bahaya. Dari persekongkolan. Dari malam yang hanya punya satu kemungkinan: membakar.
Mereka saling menyentuh bukan seperti sepasang kekasih, tapi seperti dua jiwa yang mencari pembebasan dalam tubuh satu sama lain. Magdalena menarik napas pelan, seperti ingin menyerap aroma lelaki itu sampai ke tulang.
Janting, masih setengah ragu, menyentuh pipinya—dengan jemari yang tak terbiasa menyentuh dengan lembut.
"Mengapa kau gemetar?" bisik Magdalena, suaranya seperti tirai yang baru saja ditutup, pelan dan mengurung.
"Aku tidak tahu apakah ini cinta, atau kutukan yang kubuka sendiri."
Magdalena tertawa lirih. Tawa seorang perempuan yang sudah lama tidak merasa hidup. Ia memutar tubuhnya, membiarkan gaun rumahnya melorot dari bahu, seperti kabut yang menyerah pada matahari.
Dada dan punggungnya bukan sekadar kulit dan tulang, tapi arsip luka, musim kesepian, dan doa-doa yang tak pernah dijawab.
“Kalau ini kutukan,” ucapnya pelan, “maka biarlah kita jadi penyihir yang saling membakar.”
Mereka jatuh ke ranjang seperti dua daun yang akhirnya lelah melawan angin. Tak terburu-buru. Tak juga malu. Mereka tahu dunia di luar sana penuh jebakan, tuduhan, dan lubang peluru—tapi di sini, di ranjang ini, mereka bebas.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (13) | Perusahaan dan negara Bersekongkol Dalam Diam
Janting menyusuri tubuh Magdalena seakan sedang membaca kitab suci yang ditulis dengan derita. Ia mencium tidak hanya kulit, tapi waktu yang diam di situ. Ia mengeja dengan lidahnya rasa sepi, menelusuri lorong-lorong yang dulu dikunci rapat oleh suami yang tak lagi hadir. Magdalena menggigit bibir, menahan rintih yang lebih mirip doa.
"Jangan berhenti," desisnya. "Bukan karena aku ingin, tapi karena aku sudah terlalu lama menunggu seseorang yang berani menyentuhku tanpa ragu."
Di luar, malam masih menetes, tapi kini seperti mencair lebih cepat—karena panas tubuh mereka mengubah waktu jadi bara.
Lengan dan kaki saling membelit, bukan untuk menahan, tapi untuk mengizinkan. Nafas mereka jadi mantera, yang menghapus spreadsheet, ancaman, Dito, bahkan suami yang dulu bersumpah akan selalu pulang.
Di puncak gairah, Magdalena tak lagi merasa bersalah. Ia seperti terbang, menembus kabut dosa dan menemukan bahwa tubuh bukan tempat pengasingan, tapi altar yang lama tak digunakan.
Janting mencium dahinya, pelan, setelah segalanya jadi senyap. Tak ada yang bicara. Hanya detak jantung yang masih bertukar rahasia.
Dan ketika akhirnya mereka tertidur, tubuh saling menyilang seperti kalimat-kalimat yang belum sempat ditulis, Magdalena sempat berpikir:
Mungkin, dalam pelukan yang salah pun, kita bisa menemukan versi paling jujur dari diri sendiri.
***
Pagi menyusup pelan ke kamar hotel 113.
Cahaya tipis menerobos sela tirai, mengguratkan bayang di wajah Magdalena yang perlahan bangkit dari ranjang.
Di ambang pintu kamar mandi, Janting berdiri bagai patung hidup.
Handuk putih melingkar di pinggang, tubuhnya tegak seperti pahatan Yunani—indah, tapi penuh keraguan.
Matanya menyimpan gelisah yang tak bisa disembunyikan, seolah ada sesuatu yang sebentar lagi runtuh.
Magdalena berdiri perlahan, kain tipis yang melilit tubuhnya bergeser pelan, nyaris tak menutupi lekuk pinggul dan lengannya yang lentur.
Tubuhnya seperti diciptakan dari malam-malam paling sunyi: lembut, misterius, dan berbahaya.
Ia tak bergerak banyak, tapi kehadirannya memenuhi ruang—memanaskan udara, mengusik logika, menyalakan hasrat lelaki yang hanya bisa diam menatap.
Dalam setiap langkahnya, ada kematangan yang menakutkan. Bukan semata karena bentuk tubuhnya yang menggoda, tapi karena ia tahu:
Ia perempuan yang bisa membuat lelaki bertekuk, lalu pergi tanpa menoleh.
Ia mendekat. Tangannya menyentuh pinggang Janting, pelan.
“Kalau kita akan jatuh, setidaknya kita sudah tahu rasanya berdiri telanjang dan jujur.”
Janting menatapnya. “Kamu bicara seperti seorang pahlawan.”
Magdalena tersenyum tipis. “Aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku hanya tak ingin jadi boneka.”
Di balik kehangatan pagi dan tubuh yang masih saling melekat, mereka tahu satu hal: kejatuhan sudah dimulai.
Dan jauh di markas BayarTech, Dirga membuka catatan intelijen. Ia melihat satu nama yang selama ini ia remehkan: Dito.
“Sang penghubung,” gumamnya. “Kadang yang tampak setia justru yang paling licik.”
***
Sore nanti, Janting dan Magdalena akan memutuskan untuk menyusup ke server utama perusahaan. Mereka ingin membongkar algoritma korupsi yang digunakan BayarTech untuk mencuci dana politik. Tapi mereka tak tahu bahwa Dirga sudah menanam satu jebakan di sana—seorang wanita dari masa lalu Janting.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Namanya Anike. Mantan mata-mata korporasi. Kini, ia adalah kepala keamanan data.
Dan malam ini, ia akan memeluk Janting… dengan pisau di balik punggungnya.
Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)