Duri Cinta Kebun Sawit (20) | Antara Cinta dan Pengkhianatan
Antara cinta dan pengkhianatan by AI. |
Sistem BayarTech lumpuh total. Lampu padam. Pendingin ruangan mendadak senyap.
Server berhenti berdengung. Tapi jantung Janting masih berdetak. Kencang. Masih ada napas. Masih ada waktu.
Ia cabut flashdisk dari terminal. Berdiri. Menatap pintu yang kini hanya bayangan samar.
Langkah pertama terasa berat. Langkah kedua—lebih berat.
Ketiga, keempat... dan pintu terbuka.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (19) | Antara Cinta dan Pengkhianatan
Anike berdiri di sana. Masih memegang pistol. Tapi... tidak menembak.
Matanya dan mata Janting bertemu. Sekian detik yang terasa seperti seabad. Tak ada kata. Tak ada peluru. Hanya... belas kasihan yang tak diucap.
Anike menoleh ke arah lain. Namun, sebelum Janting melangkah keluar, ia menarik leher lelaki Dayak itu, membenamkan kepalanya ke dadanya.
Sesaat ia merasa seperti ekstase. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin atau emosi yang tak bisa disebutkan.
Janting diam. Menerima pelukan itu seperti menerima pengampunan dari dosa yang belum lengkap.
Lalu Anike melepaskannya.
"Pergi," bisiknya.
Janting melewatinya. Dalam gelap. Dalam diam.
Di luar gedung, Magdalena menunggu dalam mobil. Remote disruptor masih berdenyut merah.
Janting masuk ke dalam tanpa bicara. Mereka hanya saling menatap.
Dan saat mobil mulai melaju, barulah Magdalena bersuara:
"Kau masih hidup?"
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (18) | Sosok yang Menunggu depan Lift Kaca
Janting menatapnya dan menjawab datar, nyaris tanpa emosi,
"Belum tentu. Tapi setidaknya, sekarang aku bebas."
Sementara itu… di lantai paling atas BayarTech.
Dirga sedang panik. Ruangan gelap, hanya lilin darurat di meja yang menyala. Ia meraba-raba mencari ponselnya.
Gelombang panik menyerang seperti ombak. Ia ambil gelas wine-nya—dengan tangan gemetar—dan meneguk cepat.
Lalu…
Suara "krasak!"
Gelas pecah di mulutnya. Sebuah serpih tajam menyelip di tenggorokannya. Dirga memegangi lehernya. Batuk.
Darah muncrat ke dinding putih. Ia terjatuh, matanya membelalak, tubuh kejang.
Keselek pecahan gelas. Mati aneh. Sendiri. Tanpa martabat.
Layar CCTV menyala sesaat—dengan rekaman wajah Anike yang menatap kamera.
"Permainan berakhir, Dirga."
Esoknya.
Media sosial dibanjiri file bocoran BayarTech.
Tagar #BayarGelap trending di mana-mana. Investigasi massal dimulai.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (15) | Bukan Tubuh Biasa
Janting dan Magdalena menghilang.
Anike... entah ke mana.
Tapi di sebuah desa kecil, seorang perempuan mengajar anak-anak membaca kode dasar Python.
Wajahnya mirip Anike. Tapi nama yang ia pakai sekarang: Dewi.
Ia senyum kecil saat seorang anak bertanya,
"Bu Dewi, apakah hacker itu bisa jadi pahlawan?"
"Bisa," jawabnya. "Asal tahu kapan harus berhenti. Dan kapan harus mencintai."
***
Hotel Tanjung Amarthapura, Pontianak.
Kini kota khatulistiwa tak mengenal kata tidur. Pukul 22.00.
Suasana gala dinner seperti mimpi basah para oligarki: wine Bordeaux tahun 1982. Wanita-wanita dalam gaun tipis yang mengilap, dan laki-laki dengan jam tangan yang lebih mahal dari gaji menteri.
Musik jazz mengalun pelan. Tapi di tengah semuanya, Magdalena duduk dengan tubuh tegak dan mata tajam seperti intelijen yang dibungkus sutra.
Anike datang menghampirinya.
“Aku tahu siapa kamu sebenarnya, Anike. –Zinnia.”
“Saudari Magdalena,” katanya. “Akhirnya kita bertemu. Tanpa layar. Tanpa protokol.”
Magdalena mengangkat alis. “Tapi tetap dengan topeng, saya kira.”
Anike tertawa. Suaranya ringan, tapi nadanya menyimpan racun.
“Aku tak pakai topeng. Aku hanya bagian dari sistem. Seperti arus di Kapuas. Kau bisa menolak, tapi kau akan tenggelam.”
Magdalena meneguk wine-nya pelan. Lidahnya terasa manis dan getir, seperti ingatan.
“Aku tidak ingin tenggelam. Aku ingin jadi batu besar di tengah arus itu. Mengubah arah, atau paling tidak, membuat luka.”
Anike mencondongkan tubuh. Wajahnya hanya sejengkal dari leher Magdalena. Aromanya seperti kayu manis dan ancaman.
“Kau bisa melakukan semua itu… asal tahu kapan harus buka baju dan kapan harus diam.”
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (13) | Perusahaan dan negara Bersekongkol Dalam Diam
Magdalena tersenyum tipis. “Saya sudah lama berhenti diam. Dan soal buka baju… hanya ada satu lelaki yang layak membuka saya.”
Anike memiringkan kepala. Matanya menyipit penasaran.
“Siapa? Dito?”
“Bukan.”
“Dirga?”
“Bukan.”
“Janting?”
Magdalena tersenyum. Senyuman yang mengandung dosa yang tak bisa ditebus.
“Janting tidak membuka saya,” bisiknya. “Ia menancapkan pasak ke dalam tubuh saya. Dalam. Sampai saya tak bisa dicabut dari bumi. Sampai saya hanya ingin ditaklukkan olehnya. Berkali-kali.”
Anike terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya malam itu, senyum di wajahnya pudar. Tangannya gemetar sedikit saat memegang batang gelas. Ia tahu permainan ini lebih rumit dari yang ia perkirakan.
“Kau tak takut mati?” tanyanya.
“Aku hanya takut kehilangan rasa saat Janting mengisi aku.”
Kata-kata itu tidak vulgar. Tapi menggetarkan.
Di layar kecil tersembunyi di dalam tasnya, Magdalena mengintip kode sistem: Janting sudah menembus firegate 3. Tinggal satu lapis lagi.
Sementara itu, di pusat data BayarTech, Janting bernapas berat. Bukan karena kelelahan, tapi karena di layar matanya, muncul rekaman langsung: Magdalena dan Anike. Percakapan mereka. Tatapan mereka.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Ia cemburu. Tapi ia tahu: itu bagian dari permainan. Magdalena sedang menunda. Mengacaukan ego lawan. Membuat lawannya lengah.
Roman Simbolik: Masri Sareb Putra
(bersambung)