Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (20)
![]() |
kredit gambar: Matius Mardani. |
Baca kisah sebelumnya Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (19)
Pada hari berikutnya, Macan Gaikng bertemu dengan Babai Cinga, ketua yang lebih tua, lebih bijaksana. Mereka bertemu di Tampun Juah[1], tempat yang dikenal sebagai pintu gerbang antara dunia manusia dan dunia roh. Tempat ini bukan hanya milik manusia, tetapi juga tempat yang dihuni oleh roh-roh leluhur yang menjaga keseimbangan alam.
Langit di atas Tampun Juah pada ketika itu tampak seperti kanvas gelap yang mulai diwarnai semburat emas fajar.
Kabut pagi merambat di antara akar-akar pohon besar, antara lain pohon tapang dan tengkawang, mengalir seperti napas halus leluhur yang melingkupi tanah itu. Tampun Juah bukan sekadar tempat; ia adalah jantung yang berdetak untuk seluruh Dayak, gerbang abadi antara dunia manusia dan dunia roh, tempat takdir ditenun dan masa depan dirajut oleh tangan-tangan tak terlihat.
Di tengah kesunyian yang suci, dua sosok berdiri. Macan Gaikng, pendekar muda yang matanya menyala seperti bara api, membawa semangat yang mengguncang dunia. Babai Cinga, lelaki tua dengan rambut seputih kabut, berdiri seperti batu karang yang tak tergoyahkan di tengah samudra sejarah.
"Babai," suara Macan Gaikng membelah kesunyian seperti pedang tajam. "Kau memanggilku ke tempat ini, tempat di mana roh berbicara melalui pohon-pohon dan sungai. Apa yang ingin kau sampaikan? Apakah ini tentang tanah kita yang dicemari oleh tangan-tangan jahil nan serakah?"
Babai Cinga mengangguk perlahan. Matanya menatap jauh ke cakrawala yang mulai memerah. "Tanah ini, Macan, bukan sekadar tempat kita berpijak. Ia adalah tubuh kita, darah kita, jiwa kita. Tanah ini adalah puisi yang ditulis oleh Jubata, Penompa, Petara[2] di atas kanvas kekekalan, dengan gunung sebagai bait, sungai sebagai rima, dan hutan sebagai nadanya. Barang siapa yang mencoba merebutnya, akan menghadapi murka para leluhur dan hancur dalam kutukan mereka."
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (1)
Macan Gaikng mengepalkan tangan, suaranya penuh amarah. "Aku tidak tahan, Babai! Hutan kita dibakar, sungai kita diracuni. Mereka datang dengan senjata dan janji palsu. Apakah ini kehendak Jubata?"
Babai Cinga tersenyum tipis, senyuman yang memuat kebijaksanaan seribu tahun.
"Macan, kehendak Jubata adalah keseimbangan. Kehendak leluhur adalah persatuan. Dayak adalah pohon besar dengan akar yang menembus bumi hingga ke jantung dunia. Jika akarnya kuat, tidak ada badai yang mampu merobohkannya. Namun jika kita terpecah, bahkan angin kecil pun bisa membuatnya tumbang."
Hening sejenak.
Hutan seolah menahan napas, mendengarkan percakapan mereka. Burung-burung berhenti berkicau, daun-daun tak lagi bergoyang, dan air dari pegunungan berhenti mengalir.
"Babai," suara Macan Gaikng menjadi lebih pelan, seperti bisikan doa. "Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana kita melawan kekuatan besar yang mencoba merampas tanah ini?"
Babai Cinga melangkah mendekat. Setiap langkahnya seperti gema dari masa lalu, menggetarkan jiwa. Ia mengangkat tangannya yang mulai dikeriputkan oleh waktu namun kokoh, menyentuh bahu Macan Gaikng.
Macan Gaikng merasakan kehangatan mengalir melalui tubuhnya. Seolah-olah kata-kata Babai Cinga telah membuka pintu menuju surga kekuatan yang lebih besar.
"Babai, aku
bersumpah, atas nama leluhur dan atas nama Jubata, aku tidak akan membiarkan
tanah ini jatuh ke tangan mereka yang serakah. Aku akan memanggil
saudara-saudaraku, dan bersama kita akan menjaga tanah ini dengan nyawa
kita."
Babai Cinga tersenyum puas, seperti seorang pemahat yang melihat mahakaryanya selesai.
"Itulah yang kuharapkan darimu, Macan. Ingatlah, tanah ini adalah tubuh kita. Kehilangan tanah ini adalah kehilangan jiwa kita. Barang siapa yang mencoba merebutnya, akan jatuh dalam kutukan leluhur, sampai tubuhnya lebur dan jiwanya hilang di tengah kekosongan."
Angin tiba-tiba bertiup, membawa harum bunga hutan dan suara-suara samar dari dunia lain.
Burung-burung kembali berkicau, seperti menyambut janji yang baru saja diikrarkan.
Hari itu, di Tampun Juah, sebuah janji lahir di antara dua jiwa dari dua generasi. Janji yang akan menjadi nyala api abadi, menjaga tanah Dayak tetap menjadi milik mereka, diwariskan dari leluhur kepada anak-cucu. Tampun Juah menjadi saksi bahwa tanah ini bukan hanya milik manusia, tetapi juga titipan roh, amanah dari Jubata, yang harus dijaga hingga akhir zaman.
Babai Cinga menatap Macan Gaikng dengan mata yang penuh beban. Di matanya, ada kisah yang panjang, sejarah yang tak terungkap, dan keputusan-keputusan yang telah ditentukan oleh takdir.
"Tanah ini tak akan kembali seperti dulu," kata Babai Cinga dengan suara seraknya. "Kita harus melakukan apa yang telah digariskan oleh para leluhur. Tanah ini akan kembali hidup, tetapi bukan tanpa harga. Kita harus memberi tuak pati[3] —minuman yang berasal dari buah yang telah disucikan oleh roh-roh leluhur. Minuman ini bukan hanya untuk purifikasi[4], penyucian, tetapi juga sebagai simbol pengorbanan. Pati nyawa, pengorbanan yang harus diberikan oleh mereka yang telah merusak keseimbangan alam."
Baca The Motif of the Tattoos of Apai Janggut and Panglima Jilah: The Legacy of Legends
Macan Gaikng mendengar dengan saksama, meresapi setiap patah kata yang keluar dari bibir Babai Cinga. Setiap kata adalah undangan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan kematian, tentang tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap individu.
"Pati nyawa[5] bukan hanya denda, Macan Gaikng," lanjut Babai Cinga. "Ia adalah pengingat bahwa kita semua terhubung dengan alam. Kita semua bertanggung jawab atas keseimbangan yang ada di sekitar kita."
Malam itu. Mereka mempersiapkan segala sesuatu dengan cermat. Tuak pati disiapkan dengan penuh hati-hati, dibuat oleh keturunan yang sah, yang memiliki langsung arus darah leluhur yang mengalir di tubuhnya. Proses ini bukan hanya ritual, tetapi juga pengingat akan hubungan manusia dengan alam. Setiap tetes tuak pati yang dibuat adalah simbol dari kesucian dan pengorbanan. Pati nyawa juga harus diberikan dengan hati yang tulus, karena ia adalah denda yang harus dibayar oleh mereka yang telah melukai alam.
Malam itu di Tampun
Juah, angin berembus lembut namun dinginnya menusuk hingga ke tulang. Bulan
menggantung pucat di langit, memancarkan cahaya yang menyerupai kilauan pedang
tua yang telah menorehkan sejarah panjang. Suara serangga hutan berhenti, seperti
memberi ruang pada sesuatu yang jauh lebih agung, lebih menakutkan, dan lebih
mendalam dari sekadar malam biasa. (BERSAMBUNG)
CATATAN KAKI:
[1] Tampun Juah adalah situs bersejarah yang
memiliki nilai penting bagi hampir seluruh suku bangsa Dayak di Kalimantan
Barat, kecuali Dayak Kanayatn. Situs ini tidak hanya menjadi lambang sejarah
dan tradisi, tetapi juga menjadi pusat spiritual dan kebudayaan yang mengikat
berbagai sub-suku Dayak di wilayah ini. Tampun Juah kini berada di Dusun Segumon,
Desa Lubuk Sabuk, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
[2] Sebutan Dayak kepada Sang Pencipta segala yang
ada, penjadi, pembentuk, pembuat, perancang dan sang sang yang lain serta Zat
Tertinggi di atas segala yang paling tinggi.
[3] Tuak asli, yang terbaik, tidak bercampur air setitik pun.
[4] Purifikasi dalam konteks filsafat merujuk pada proses penyucian atau pemurnian, baik dalam aspek fisik, mental, maupun spiritual, untuk mencapai kesadaran atau kebijaksanaan yang lebih tinggi. Dalam tradisi filsafat Yunani, misalnya, Plato menggambarkan purifikasi sebagai pemurnian jiwa dari keterikatan dunia material untuk mendekati dunia ide yang sempurna. Dalam filsafat Timur, seperti dalam ajaran Buddha, purifikasi melibatkan pembersihan pikiran dari nafsu, kebencian, dan kebodohan demi mencapai pencerahan. Konsep ini juga dapat mencakup kritik terhadap ide-ide yang tidak murni atau salah arah untuk mendapatkan kebenaran yang esensial dan autentik.
[5] Dalam Hukum Adat Dayak, menghilangkan nyawa seseorang didenda dengan nama denda adat “Pati Nyawa” dan sangat mahal nilai harganya. Untuk mendaami hal ini, dapat membaca buku FX Lonsen dan L.C. Sareb (Penerbit Lembaga Literasi Dayak, 2021: 40 – 41).