rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)
Ilustrasi: masri sareb putra. |
Perjalanan Kwee berlanjut,
meski langkahnya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa ia belum sampai pada
tujuannya. Varuna-dvipa menanti, penuh dengan tantangan yang lebih besar, lebih
gelap, dan lebih menguji. Kwee tak tahu apa yang akan ditemui di sana, namun
satu hal yang pasti, ia akan berjalan terus. Hanya kebaikan yang ia bawa, hanya
kebijaksanaan yang akan menjadi senjatanya.
Kwee, setelah mengarungi samudera dengan tantangan alam yang ganas serta hadangan manusia yang lebih buas, setelah perjuangan dan pertarungan yang hebat, mulai melihat setitik noktah. Mungkin sebuah pulau. Di sana, ia merapat di sebuah pantai yang landai. Kapalnya bersandar dengan tenang. Hatinya senang untuk sementara waktu.
Kwee, sang petualang telah mengarungi lautan yang tak mengenal ampun, menatap horizon yang terbentang luas, menantang takdir dengan keberanian yang terkadang melebihi nalar. Setiap desiran angin yang membelit tubuhnya, setiap gelombang yang menghantam kapal seperti ancaman maut, setiap suara gemuruh laut yang memanggilnya untuk tenggelam, telah menjadi teman dalam perjalanan yang tiada habisnya.
Keringat dan darah telah tercurah, tubuhnya penuh luka, namun jiwanya, seperti api yang tak pernah padam, tetap teguh. Manusia-manusia yang lebih buas, yang menghadang dengan pedang terhunus dan niat buruk di hati, hanya menyisakan kenangan akan pertarungan sengit yang menguji batas kemanusiaan.
Namun, di balik setiap petaka, ada secercah cahaya yang menunggu. Mata Kwee menangkap sesuatu di kejauhan. Sebuah titik hitam di cakrawala, seperti matahari yang malu-malu muncul di balik awan kelam. Pulau itu, seperti harapan yang terpendam dalam hati setiap insan yang telah terjebak dalam putaran kehidupan yang tiada akhir. Pulau itu tampak begitu dekat, namun Kwee tahu, ia harus terus melangkah, terus berjuang untuk meraihnya. Seperti rindu yang tak terucap, namun selalu ada di dalam dada.
Kapal yang telah melawan arus, akhirnya bersandar dengan tenang pada bahu sebuah pantai yang landai. Ombak yang sebelumnya menggulung dengan penuh amarah, kini menyentuh pantai dengan lembut, seperti napas yang kembali tenang setelah lama menahan amarah. Kapal itu berdiri tegak, seakan mengerti bahwa pertempuran dengan alam telah usai. Begitu pula Kwee, yang menjejakkan kaki di daratan yang baru. Hatinya, yang telah sekian lama terluka, kini merasakan ketenangan. Seperti seorang prajurit yang baru saja mengalahkan musuh, namun masih merasakan kelelahan yang mendalam. Hatinya senang, namun kesenangan itu bukanlah kebahagiaan yang semu, melainkan kedamaian yang telah dia perjuangkan.
Di balik senyum yang terbit di bibirnya, ada kepahitan yang tersembunyi. Pulau ini mungkin saja menjadi tempat yang ia cari, namun ia tahu bahwa hidup adalah perjalanan tanpa akhir, dan setiap kedamaian hanyalah sebuah jeda dalam kisah yang lebih besar. Sebuah pelajaran dari dunia yang penuh dengan kontradiksi: kita harus berjuang untuk mendapatkan ketenangan, dan kadang-kadang ketenangan itu datang dengan harga yang sangat mahal.
Kwee menatap langit yang mulai memudar, merasakan setiap embusan angin yang membelai kulitnya. Ia tahu, pulau ini bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi mungkin, hanya sebuah permulaan dari petualangan yang lebih besar lagi. Dan seperti setiap pahlawan dalam cerita silat, ia tahu bahwa keheningan hanyalah sebelum badai yang lebih besar datang. Namun, untuk saat ini, ia membiarkan dirinya merasakan kedamaian yang jarang ia temui—sebuah ketenangan yang berharga, seperti air yang mengalir lembut di tengah gurun pasir yang tak berujung.
Dan di Varuna-dvipa, udara terasa lebih berat. Tanah subur namun penuh ancaman, seolah alam itu sendiri terbelah, terperangkap dalam konflik yang tak pernah selesai. Pepohonan yang menunduk, seakan terhimpit oleh beban yang tak tampak, dan lautan biru yang indah, ternyata menyimpan rahasia kelam alam di baliknya.
Kwee berjalan dengan langkah mantap, meski setiap jejaknya terasa semakin berat, semakin gelap. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua, wajahnya penuh dengan luka dan keriput, namun matanya memancarkan kebijaksanaan yang tak terungkapkan.
“Siapa kau?” tanyanya, suaranya serak, penuh misteri.
“Aku Kwee Seng Ong,” jawab Kwee dengan tenang. “Aku mencari dunia yang lebih luas.”
Lelaki tua itu tersenyum, namun senyumnya penuh kegetiran. “Dunia yang luas? Itu bukan yang kau cari,” kata lelaki itu, suaranya mengandung makna yang dalam.
Kwee mengerutkan kening, bertanya-tanya. “Apa maksudmu?”
Lelaki itu menunjuk ke arah hutan lebat yang tampak jauh di sana.
“Di dalam hutan itu, ada kekuatan besar. Kekuatan yang tidak tampak, namun mengalir melalui setiap pohon, setiap batu. Hati yang lurus akan melihatnya.”
Kwee merasa ada sesuatu yang
tak beres, namun ia merasa panggilan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Tanpa
ragu, ia melangkah masuk ke alam hutan belantara, semakin dalam, semakin jauh
dari dunia yang ia kenal.
Semakin ia berjalan, semakin hening suasana di sekitarnya. Hanya suara langkah kaki yang terdengar, seperti suara yang terperangkap dalam dunia yang penuh rahasia. Tiba-tiba, angin bertiup kencang, dan daun-daun berguguran, menari dalam keheningan yang mencekam.
Di depan Kwee, muncul sesosok bayangan hitam. Bayangan itu tinggi besar, wajahnya penuh kebencian, penuh kemarahan. Suara itu menggelegar, mengguncang tanah. “Kau menginjak tanah ini tanpa permisi!”
Kwee tetap tenang. Tubuhnya seperti batu, tak tergoyahkan. “Aku tidak mencari permusuhan,” jawabnya dengan suara rendah namun mengandung kekuatan yang tak tampak.
Bayangan itu tertawa dingin. “Pecundang yang datang kemari tak pernah pergi hidup-hidup,” katanya dengan suara mengerikan.
Kwee merasa getaran yang kuat, seperti kekuatan besar yang mengalir melalui tanah. Ia tahu, inilah ujian sejati yang ia cari. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya, matanya menatap tajam ke arah bayangan itu.
“Jangan berpikir kau bisa menghindar,” suara itu mengancam, “Ini adalah tanah yang ditinggalkan para dewa. Tak ada yang bisa mengubah nasibnya.”
Kwee merasa sesuatu bergolak dalam dirinya, sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, sesuatu yang mengalir melalui tanah dan langit. Dalam sekejap, bayangan itu meluncur maju, menyerang dengan kekuatan dahsyat. Namun, Kwee bergerak dengan cepat, melangkah ke samping seperti angin yang tak terlihat, menghindar dari serangan yang datang begitu cepat. Bayangan itu semakin marah, menyerang tanpa henti, namun setiap serangannya hanya mengiris angkasa kosong.
“Kau hanya bisa menghindar,” kata bayangan itu dengan penuh kebencian. “Tapi kau tak akan bisa mengalahkan kami.”
Kwee menatap sekejap bayangan itu dengan mata yang penuh ketenangan yang mengerikan. “Kekuatan yang datang dari kebencian tidak akan bertahan lama.”
Serangan itu datang lagi, kali ini lebih cepat, lebih ganas. Namun Kwee menghindar dengan kecepatan yang luar biasa, tubuhnya meluncur seperti bayangan, menghindari setiap serangan yang datang. “Apa yang kau inginkan dari dunia ini?” tanya Kwee, matanya menatap bayangan itu dengan ketegasan yang mematikan.
Bayangan itu terhenti sejenak, terkejut. “Aku ingin kekuasaan,” katanya dengan suara penuh hasrat. “Aku ingin menguasai segalanya. Semua yang ada.”
Kwee tersenyum lembut. “Kekuasaan datang dengan harga yang mahal,” katanya. “Kau telah membayar harga itu dengan kebencianmu.”
Tanah mulai berguncang, bumi bergetar seakan menangis. Bayangan itu mulai menghilang, meresap ke dalam tanah yang bergetar.
“Apa yang terjadi?” tanya Kwee, kebingungan.
Lelaki tua yang ia temui sebelumnya muncul dari balik pepohonan. Matanya memancarkan pengertian yang dalam.
“Kekuatan yang kau lihat bukanlah kekuatan dunia,” katanya. “Itu adalah bayangan masa lalu yang terperangkap dalam kebencian.”
Kwee mengangguk, menyadari kebenaran yang tak tampak. “Mereka yang berpegang pada kebencian akan selalu terjerat dalamnya,” kata Kwee dengan bijak.
Lelaki tua itu memandangnya dengan tatapan penuh penghargaan. “Kau telah memahaminya,” katanya dengan lembut. “Kamu telah mengalahkan kebencian dengan kebijaksanaan.”
Kwee tersenyum. “Kekuatan
sejati bukanlah untuk menguasai,” katanya. “Kekuatan sejati adalah untuk
mengerti.”
Hari pun berlalu….
Kwee melanjutkan perjalanannya, meninggalkan jejak kebaikan di mana-mana. Namun, ia tahu perjalanan ini belum berakhir. Di dunia ini, masih banyak yang belum mengerti. Ia harus melangkah lebih jauh, membawa cahaya kebijaksanaan ke tempat-tempat yang belum dikenal, terra incognita[1], bahkan tanah yang telah dilupakan.
Varuna-dvipa bukanlah akhir. Ini hanyalah langkah pertama.
Kwee menyiapkan dirinya, seperti seorang petualang sejati, untuk menghadapi tantangan baru. Hutan Borneo yang lebat, dengan keragaman flora dan faunanya, seperti memiliki jiwa sendiri. Ia melangkah penuh tekad, mengamati setiap detil di sekitarnya—suara burung-burung, aroma kayu gaharu, dan desir angin yang membawa bisikan masa lalu.
Belantara ini adalah dunia yang misterius, tempat di mana legenda dan kenyataan bercampur menjadi satu. Kwee merasakan kehadiran para leluhur yang pernah melintasi tanah ini, meninggalkan warisan tak kasatmata yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang sabar dan bijaksana. Ia percaya, setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari jalan takdir yang membawanya lebih dekat pada pemahaman tentang Varuna Dvipa dan kaitannya dengan Borneo.
Namun, Kwee juga tahu bahwa petualangan ini bukan hanya soal menemukan jawaban. Ini adalah perjalanan untuk memberi, untuk berbagi kebijaksanaan, dan untuk memahami hubungan manusia dengan alam serta sejarah mereka sendiri.
Sambil melangkah, pikirannya mengembara ke cerita-cerita yang telah ia dengar tentang Lampokng Pocah—tempat yang diyakini memiliki kekuatan mistis, dan Kapal Lung Zhi, simbol perjalanan panjang yang penuh risiko, tetapi juga penuh harapan. Kisah-kisah ini adalah bagian dari narasi yang lebih besar, sebuah benang merah yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, serta antara Varuna Dvipa dan Borneo.
"Belantara ini akan mengujiku," pikir Kwee. "Namun, seperti lampu kecil yang menembus kegelapan, aku akan terus maju, mencari terang itu."
Kisahnya baru dimulai. Mari kita ikuti perjalanan Kwee ke tanah-tanah yang belum dikenalnya, menyibak tabir misteri Borneo, dan menemukan kebenaran di balik jejak-jejak yang telah dilupakan waktu. Bab selanjutnya akan membawa kita lebih dalam ke jantung cerita, di mana mitos, sejarah, dan kebijaksanaan bercampur menjadi satu.
----------
[1] Terra incognita adalah istilah dalam bahasa Latin yang berarti "tanah yang tidak dikenal" atau "wilayah yang belum dipetakan." Istilah ini awalnya digunakan pada peta-peta zaman kuno untuk merujuk pada bagian dunia yang belum dijelajahi atau belum diketahui oleh orang Eropa pada saat itu.
Secara harfiah, terra
berarti "tanah" atau "bumi," dan incognita berarti
"tidak dikenal" atau "tersembunyi." Pada masa penjelajahan
dunia oleh bangsa Eropa, terra incognita merujuk pada daerah-daerah yang
masih misterius dan belum dipetakan, seperti benua-benua baru yang ditemukan
oleh penjelajah seperti Christopher Columbus atau Vasco da Gama.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini sering digunakan dalam konteks yang lebih luas untuk menggambarkan hal-hal yang belum dipahami, dijelajahi, atau diungkapkan dalam berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, seni, atau bahkan dalam kehidupan pribadi. Terra incognita kini juga dapat merujuk pada hal-hal yang belum diketahui atau misterius dalam kehidupan kita yang lebih luas.
(Masri Sareb Putra)