Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (3)
Gunung Bayangan Jiwa, dengan Kwee dan gurunya yang memancarkan kebijaksanaan serta kedamaian di tengah keindahan alam saat matahari terbenam by AI. |
2
Pencarian Keadilan yang
Tak Pernah Padam
Kwee Seng Ong berjalan jauh, kian dalam masuk perut pulau Varuna-dvipa. Pikirannya dijejali dengan rasa ingin tahu tentang dunia dan insula[1] nan luas. Namun, hatinya diliputi keraguan dan kegelisahan, seperti ada suatu kekuatan[2] yang yang lebih besar memanggilnya.
Dalam pengembaraan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang memberikan petunjuk tentang kekuatan yang tersembunyi di dalam hutan. Kwee merasakan getaran dalam dirinya, yang mendorongnya untuk melangkah lebih jauh, mengungkap misteri yang ada di balik pepohonan lebat dan udara yang semakin berat.
Saat Kwee semakin dalam memasuki hutan. Angin kencang bertiup. Daun-daun berguguran seperti menar-nari dengan tangan dan jari yang halus lemah gemulai dalam keheningan yang mencekam.
Di sinilah ia bertemu dengan bayangan hitam yang mengancam dengan nada kebencian. Meskipun musuhnya penuh kekuatan, Kwee tetap tenang, dengan keyakinan bahwa kekuatan sejati tidak berasal dari kekerasan, tetapi dari kebijaksanaan dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.
Bayangan gelap itu memudar, menyatu dengan tanah, meninggalkan kesunyian yang menggema. Kwee berdiri dengan tangan terkulai di samping tubuhnya, napasnya stabil, matanya penuh kedamaian. Lelaki tua itu, yang kini berdiri di sisinya, menatap Kwee dengan pandangan bangga bercampur haru.
“Kwee, apa yang kau lihat tadi bukanlah
musuhmu,” ujar lelaki tua itu dengan suara lembut, “melainkan bayangan dirimu
sendiri. Kebencian yang tersimpan dalam hati bisa menjadi senjata paling
berbahaya, tapi juga paling rapuh. Kau telah menaklukannya tanpa perlu
menghunus pedang.”
Kwee memandang lelaki tua itu dengan dahi
sedikit berkerut, lalu bertanya, “Tetapi mengapa bayangan itu begitu nyata?
Seolah-olah ia adalah seorang musuh yang benar-benar hidup dan ingin
menghabisiku.”
Lelaki tua itu tersenyum tipis, lantas berjalan
mendekati sebuah batu besar di dekat mereka. Ia duduk di atas batu itu, lantas
mengusap jenggot putihnya yang panjang. “Kwee, tempat ini adalah Gunung
Bayangan Jiwa. Hanya mereka yang membawa beban batin yang akan melihat bayangan
seperti tadi. Kau datang ke sini karena ada sesuatu yang harus kau lepaskan,
sesuatu yang bahkan kau sendiri mungkin tidak menyadarinya.”
Kwee menundukkan kepala, pikirannya kembali
pada masa lalu. Ia teringat bagaimana ia pernah kehilangan kedua orang tuanya
dalam serangan mendadak yang dilakukan oleh segerombolan perampok kejam.
Hatinya membara oleh dendam saat itu, tetapi ia memilih menekan amarahnya,
berjanji untuk tidak membalas dengan kebencian. Namun, janji itu rupanya tidak
sepenuhnya membebaskannya.
“Guru, jadi bayangan itu adalah dendam yang
masih ada di dalam diriku?” tanya Kwee, suaranya penuh rasa ingin tahu dan
sekaligus keprihatinan.
“Benar, Kwee. Dendam itu tidak hilang,
melainkan terkubur. Ketika kau melangkah ke jalan kebenaran, ia muncul kembali
untuk mengujimu. Dan kau telah membuktikan bahwa hatimu cukup kuat untuk tidak
terjerumus ke dalam kegelapan.”
Mendengar itu, Kwee menghela napas panjang. Ia
menatap cakrawala, di mana mentari sore mulai tenggelam, menciptakan warna emas
yang membelai puncak-puncak gunung. “Guru, aku ingin terus belajar
mengendalikan hati dan pikiranku. Aku tak ingin kekuatan gelap itu kembali
menguasai diriku.”
Lelaki tua itu mengangguk puas.
“Baiklah, Kwee.
Tapi perjalananmu belum selesai. Di balik gunung ini, ada sebuah desa kecil
yang sedang dilanda kekacauan. Para penduduknya membutuhkan seorang yang tidak
hanya kuat, tetapi juga berhati bijaksana sepertimu. Pergilah ke sana, dan
hadapilah ujian yang sesungguhnya.”
Kwee memandang gurunya, lalu menangkupkan kedua
tangannya di depan dada, memberi hormat dengan penuh penghormatan. “Terima
kasih, Guru. Aku akan melanjutkan perjalananku dengan tekad yang baru.”
Dengan langkah mantap, Kwee mulai menuruni lereng gunung, meninggalkan Gunung Bayangan Jiwa yang kini hanya dihuni oleh angin yang berdesir lembut.
Di depan sana, perjalanan baru telah menantinya,
penuh dengan ujian yang akan membentuknya menjadi pendekar sejati, bukan hanya
dengan pedangnya, tetapi juga dengan kebijaksanaan dan hatinya.
[1] Insula – ae, menurut
Kamus-Latin susunan K. Prent, dkk. (1969: 449) berarti: pulau.
Dalam buku ini, Otto memperkenalkan konsep "numinous" untuk menggambarkan pengalaman keagamaan yang mendalam dan mendasar, yang tidak dapat direduksi menjadi rasionalitas atau moralitas. Numinous mengacu pada sensasi keberadaan sesuatu yang sepenuhnya "lain" (the wholly other)—sebuah kekuatan yang memunculkan kombinasi emosi yang kontradiktif:
1.
Tremendum: Merujuk pada rasa takut atau gentar yang mendalam (awe) di hadapan
sesuatu yang luar biasa dan menakutkan, namun juga penuh wibawa. Perasaan ini
berasal dari kesadaran akan keterbatasan manusia dalam menghadapi kekuatan
besar yang tak terkendali.
2. Fascinans: Menunjukkan daya tarik yang
luar biasa, meskipun sesuatu itu penuh misteri atau bahkan menakutkan. Fascinans
membangkitkan rasa ingin tahu dan penghormatan yang mendalam.
Otto menunjukkan bahwa pengalaman numinous
adalah inti dari semua agama, dan ia bersifat universal. Dalam konteks filsafat
agama, konsep ini menjadi landasan untuk memahami bagaimana manusia dari
berbagai kebudayaan dan zaman merespons kekuatan yang mereka rasakan lebih
besar dari diri mereka sendiri, baik melalui rasa kagum, ketakutan, atau
penghormatan.