rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (4)

Varuna-dvipa, Hakka, Sanggau, Borneo, Fujian, Rudofl Otto, Kwee, guru, gunung, bayangan, jiwa,

 

Ilustrasi: Matius Mardani/Masri Sareb Putra.

Kwee menundukkan kepala. Pikirannya kembali pada masa lalu. Ia teringat bagaimana ia pernah kehilangan kedua orang tuanya dalam serangan mendadak yang dilakukan oleh segerombolan perampok kejam. Hatinya membara oleh dendam saat itu, tetapi ia memilih menekan amarahnya, berjanji untuk tidak membalas dengan kebencian. Namun, janji itu rupanya tidak sepenuhnya membebaskannya. 

“Guru, jadi bayangan itu adalah dendam yang masih ada di dalam diriku?” tanya Kwee, suaranya penuh rasa ingin tahu dan sekaligus keprihatinan. 

“Benar, Kwee. Dendam itu tidak hilang, melainkan terkubur. Ketika kau melangkah ke jalan kebenaran, ia muncul kembali untuk mengujimu. Dan kau telah membuktikan bahwa hatimu lumayan kuat untuk tidak terjerumus ke dalam kegelapan.” 

Mendengar itu, Kwee menghela napas panjang. Ia menatap cakrawala, di mana mentari sore mulai tenggelam bersamaan dengan buaian alam senja, mencipta warna emas yang membelai puncak-puncak gunung. 

“Guru, aku ingin terus belajar mengendalikan hati dan pikiranku. Aku tak ingin kekuatan gelap itu kembali menguasai diriku.” 

Lelaki tua itu mengangguk puas. “Baiklah, Kwee. Tapi perjalananmu belum selesai. Di balik gunung ini, ada sebuah desa kecil yang sedang dilanda kekacauan. Para penduduknya membutuhkan seorang yang tidak hanya kuat, tetapi juga berhati bijaksana sepertimu. Pergilah ke sana, dan hadapilah ujian yang sesungguhnya.” 

Kwee memandang gurunya, seraya itu ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada, memberi hormat dengan segenap hatinya. 

 “Terima kasih, Guru. Aku akan melanjutkan perjalananku dengan tekad yang baru.” 

Di bekalang Kwee, Gunung Bayangan Jiwa tetap berdiri angkuh, memandang dingin pada dunia di bawahnya, seolah-olah tahu rahasia kelam yang disembunyikan oleh kabut tipis di sekitarnya. 

Kwee menatap lurus ke depan. Langkah-langkahnya pelan tapi pasti. Dalam hati, ia mengenang ajaran gurunya yang berkata, "Jalan pendekar adalah jalan yang sunyi. Namun, hanya di jalan sunyi itulah engkau akan mendengar suara hatimu sendiri." 

Namun suara hati Kwee kini diguncang. Langkahnya terhenti saat ia mendengar suara aneh dari balik pepohonan yang menjulang seperti penjaga bisu. Lalu, tanpa peringatan, sekelompok lelaki berwajah garang melompat keluar dari semak-semak. Mereka adalah Para Penunggang Kabut, bandit kejam yang dikenal karena membantai tanpa ampun. 

"Serahkan pedangmu, Pendekar!" seru pemimpinnya, seorang lelaki bertubuh kekar dengan luka besar yang melintang di wajahnya. 

Kwee tidak bergerak. Mata tajamnya menilai situasi, menghitung jumlah musuh dan berusaha untuk menemukan di mana letak kunci kelemahan mereka. Tapi sebelum ia sempat menghunus pedangnya, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dari dalam kelompok bandit itu, seorang anak kecil muncul, berlari ke arahnya sambil menangis histeris. 

"Jangan bunuh ayahku!" jerit anak itu, membuat Kwee tertegun. Ia mengenali anak itu dari desa yang ia lewati beberapa hari lalu. Bandit kekar itu… adalah ayahnya? Dalam kebingungan yang membelenggu, bandit-bandit itu menyerang. Pertempuran pecah. Pedang Kwee berkilat di bawah cahaya redup, menebas tanpa ampun, meski hatinya bergemuruh oleh konflik batin. 

Di ujung pertempuran, Kwee berdiri sendirian, tubuhnya berlumur darah musuh. Sementara anak kecil tadi itu menangis di sisinya, memohon ampun atas nyawa ayahnya yang telah melayang. Anak yang menangis, kemudian meraung-raung itu hanya minta pada Kwee satu permohonan saja: agar nyawa sang ayahnya bisa kembali lagi! 

Apakah Kwee bisa melakukannya?

Kwee hanya sanggup berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Pedang di tangannya, yang tadi berkilat menebas musuh-musuhnya, kini terasa berat seperti beban dosa yang tak tertanggungkan. Di depannya, anak kecil itu merangkak mendekat, memeluk kaki Kwee sambil menangis histeris. 

"Pendekar... kumohon... kumohon! Hidupkan kembali ayahku! Aku berjanji tidak akan meminta apa-apa lagi... aku hanya ingin ayahku kembali!" 

Raungan anak itu menggema, menembus malam yang sunyi. Air mata anak itu mengalir deras, membasahi debu dan tanah yang telah menyerap darah ayahnya. 

Kwee menutup matanya. Ia ingin menjauh, melupakan semuanya, tapi suara anak itu seperti pisau yang menusuk langsung ke inti-jantungnya. Bagaimana mungkin seorang pendekar yang dikenal sebagai pembela kebenaran kini menjadi pembawa kehancuran bagi seorang anak tak berdosa? 

Namun, ia tahu, yang mati tak mungkin kembali. Itu adalah hukum kodrat dunia yang tidak bisa ia langgar, bahkan dengan pedang terkuat sekalipun. 

"Aku... aku tidak bisa," gumam Kwee, suaranya berat, hampir seperti bisikan. "Yang mati sudah kembali ke alamnya. Aku tidak punya kuasa untuk mengubah itu." 

Anak itu berhenti menangis, lalu menatap Kwee dengan mata yang penuh dengan kebencian yang baru tumbuh. 

"Kalau begitu, kau lebih buruk dari mereka!" jeritnya, menunjuk tubuh-tubuh para bandit yang berserakan di sekitar mereka. "Kau bilang kau pendekar! Kau bilang kau pembela kebenaran! Tapi kau sama saja! Kau pembunuh! Kau monster!" 

Kwee hanya diam. Kata-kata itu seperti cambuk yang menghujam jiwa, mengoyak sisa-sisa kepercayaan dirinya. Apa gunanya semua ini? Mengapa jalan seorang pendekar selalu dipenuhi darah dan air mata? Namun sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara langkah-langkah kaki mulai terdengar dari kejauhan.

(bersambung)

LihatTutupKomentar