rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (5)

Macan Gaikng, Kwee, Hakka, Sanggau, Borneo, Dayak, Bidayuhik, Jangkang, Bodok, Madjang Desa, Mukok, Bonti, Balai Karangan, Jepang

 

ILustrasi by AI.

Sebuah bayangan muncul dari balik pepohonan. Itu adalah seorang lelaki tua berjubah hitam dengan wajah yang penuh kerut dan sorot mata tajam. Ia membawa tongkat kayu yang tampak biasa, tetapi auranya membuat udara di sekitar terasa berat. Anak itu berlari ke arahnya, memeluk kaki lelaki tua itu sambil terisak. 

"Guru, tolong! Dia membunuh ayahku! Tolong kembalikan nyawa ayahku!" Anak itu memohon, mengguncang-guncang kaki lelaki tua itu. 

Lelaki tua itu menatap Kwee dengan pandangan yang sulit ditebak. "Jadi, ini pekerjaanmu, Pendekar?" tanyanya dengan suara serak namun penuh wibawa. 

Kwee mengangguk, meskipun dadanya terasa seperti diremukkan. "Aku tidak punya pilihan. Mereka menyerang lebih dulu. Aku membela diri." 

"Tidak ada yang namanya tidak punya pilihan," balas lelaki tua itu dingin. "Setiap tindakan memiliki konsekuensi. Kau telah mengambil nyawa seorang ayah, dan kini kau harus menanggung bebannya." 

Lelaki tua itu berlutut, menyentuh dada anak itu dengan ujung tongkatnya. Tiba-tiba, angin dingin berhembus, dan udara di sekitar mereka berubah. Suara-suara aneh terdengar, seperti bisikan dari dunia lain. Kwee merasa bulu kuduknya berdiri. Ia mengenali ritual ini —sebuah ilmu hitam yang sangat dilarang, bahkan di kalangan pendekar sekalipun. 

"Guru, apa yang kau lakukan?" Kwee bertanya, suaranya penuh ketegangan. 

Lelaki tua itu hanya tersenyum tipis. "Aku memenuhi permohonan anak ini. Tapi ingat, membangkitkan orang mati selalu menuntut harga. Dan harga itu harus dibayar olehmu, Pendekar." 

Sebuah jeritan tajam terdengar, bukan dari anak itu, tetapi dari Kwee sendiri. Tubuhnya terasa seperti ditusuk oleh ribuan pisau. Ia jatuh berlutut, pedangnya terlepas dari genggaman. Dari sudut matanya, ia melihat sesuatu yang tidak bisa ia percayai: tubuh sang ayah dari anak yang meraung-raung tadi, yang sebelumnya tak bernyawa, perlahan bangkit. Mata kosongnya kini menatap Kwee dengan tatapan yang penuh dendam. 

"Tuan... ayahku hidup kembali!" Anak itu berseru gembira, berlari memeluk tubuh ayahnya yang baru saja bangkit. Tapi Kwee tahu, sesuatu yang mengerikan telah terjadi. 

Ayah anak itu berbicara, suaranya dalam dan menggema seperti dari jurang maut. "Anakku, terima kasih telah memanggilku kembali. Tapi aku bukan lagi ayahmu yang dulu..." 

Sebelum Kwee sempat bergerak, tubuh yang telah bangkit itu melompat ke arahnya dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Kwee, meskipun terluka dan kehabisan tenaga, berhasil menghindar, tetapi ia tahu, ia sedang menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada seorang manusia biasa. Ia telah membangunkan arwah pendendam.

Pertempuran baru dimulai, tetapi kali ini, Kwee tidak hanya melawan musuh fisik; ia melawan konsekuensi dari tindakannya sendiri. Lelaki tua itu hanya berdiri di pinggir, menyaksikan semuanya dengan senyum tipis, seolah menikmati penderitaan Kwee. "Inilah harga dari nyawa yang kau ambil, Pendekar. Ini baru permulaan." 

Akankah Kwee mampu mengatasi ujian ini? Ataukah ia akan jatuh di hadapan dosa-dosanya sendiri? Hanya waktu yang bisa menjawab, sementara bayangan malam semakin menelan mereka dalam kegelapan tanpa akhir. 

***

Di tempat lain, di perkampungan yang terkepung oleh ketakutan, Macan Gaikng[1] berdiri di depan balai desa. 

Matanya yang tajam menyapu wajah-wajah penduduk yang penuh kecemasan. Para lelaki tua memohon kepadanya, "Tolong selamatkan desa ini, Tuan Macan. Gerombolan Bulan Kelabu sudah semakin dekat." 

Macan Gaikng hanya mengangguk. Ia tahu bahwa tugasnya kali ini lebih dari sekadar mengayunkan mandau dan meniupkan sumpit[2]. Bahaya yang dihadapi desa ini tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam. Sang macan telah mendengar desas-desus bahwa kepala pedukuhan di situ yaki orang yang dipercaya untuk melindungi rakyatnya, justru secara diam-diam telah membuat perjanjian dengan Gerombolan Bulan Kelabu. Mereka akan menyerahkan para wanita muda desa itu sebagai jaminan agar gerombolan tidak menyerang. 

Malam itu, di tengah rapat rahasia yang dihadiri kepala pedukuhan dan para pengikut setianya, Macan Gaikng muncul tanpa diundang. 

"Kalian adalah pengkhianat!" suaranya menggema seperti guntur, membuat semua orang terperanjat. Kepala pedukuhan, yang sebelumnya tampak tenang, mendadak pucat pasi. 

"Macan, kau tidak mengerti situasi kami!" Kepala pedukuhan berusaha membela diri. "Jika kami tidak menyerahkan mereka, seluruh desa akan hancur!" 

"Tidak ada kehormatan dalam penyerahan seperti itu," balas Macan Gaikng dingin. "Aku akan melindungi pedukuhan ini. Tapi aku tidak akan melindungi pengkhianat." 

Dalam satu gerakan cepat, ia menebaskan pedangnya, menjatuhkan kepala pedukuhan di depan semua orang, sebuah peringatan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. 

Namun kejutan sebenarnya datang keesokan paginya.

Saat desa bersiap untuk bertahan dari serangan Gerombolan Bulan Kelabu, seorang pengintai datang dengan wajah panik. "Mereka sudah di sini!" teriaknya. "Tapi mereka tidak menyerang… mereka hanya berdiri di sana, seperti menunggu sesuatu." 

Ketika Macan Gaikng keluar untuk menghadapi mereka, ia menemukan bahwa pemimpin Gerombolan Bulan Kelabu, seorang wanita muda dengan tatapan tajam dan bekas luka di wajahnya, mengenalinya. "Macan Gaikng," katanya dengan suara dingin, "Apakah kau masih ingat aku?" 

Dan seketika itu, Macan Gaikng membeku. Wanita itu adalah adik perempuan dari orang yang pernah ia bunuh bertahun-tahun lalu, dalam sebuah pertarungan yang ia pikir sudah lama terkubur dalam sejarah. Kini, ia berdiri di hadapannya, membawa dendam dan gerombolan yang haus darah. Tetapi dalam tatapannya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebencian: ada rasa sakit dan luka yang belum terobati. 

Di hening malam yang pekat, angin berdesir membawa bisikan masa lalu yang terlupakan. Di atas padang ilalang yang diterangi sinar rembulan, Macan Gaikng berdiri tegak, tubuhnya kaku, seakan waktu tiba-tiba berhenti berputar. Matanya terfokus pada seorang wanita yang berdiri di hadapannya, wajahnya samar-samar terlindung bayang-bayang gelap. Namun, Macan Gaikng tahu, di balik wajah itu, ada cerita yang sangat akrab—sebuah cerita yang berakar dalam ingatannya, lebih dalam dari rasa sakit yang pernah ia alami. 

Wanita itu, ya benar sekali, tak salah lagi, adalah adik perempuan dari orang yang pernah ia bunuh bertahun-tahun lalu, dalam pertarungan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Ketika itu, Macan Gaikng masih muda, penuh gairah dan semangat untuk membuktikan dirinya sebagai pendekar yang tak terkalahkan. Tetapi kemenangan itu datang dengan harga yang sangat mahal, karena darah yang tertumpah bukan hanya darah musuhnya, tetapi juga darah seorang sahabat. Sebuah kesalahan yang sangat dalam lagi fatal, yang hingga kini masih membayangi langkahnya, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa waktu telah lama menyembuhkan luka itu. Namun, kini, wanita itu muncul kembali, membawa amarah yang telah dipendam bertahun-tahun, membawa gerombolan yang haus darah, siap membalaskan dendam yang belum terbayar.


[1] Tokoh legendaris orang Dayak Bidayuhik, terutama Dayak Jangkang yang bermukim dan tesebar di wilayah Kecamatan Jangkang, Mukok, Bonti, Balai Karangan, Noyan, hingga Bodok. Tokoh ini nyata, yang melahirkan para panglima-panglima perang Dayak bangkit melawan dan menghalau Jepang pada Perang Madjang Desa dan muncul pada kerusuhan etnis di Kalimantan Barat pada tahun 1967 yang akan dikisahkan pada waktunya nanti di bagian yang telah disediakan. 

Tentang kisah bagaimana para tokoh Dayak dan orang Dayak melawan Jepang secara nyata faktuak kisahnya telah ditulis sebagai sejarah oleh Alqadrie, Syarif Ibrahim dan Pandil Sastrowardoyo, 1984, dalam buku Sejarah Sosial Daerah Kotamadya Pontianak; Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional.

[2] Mandau dan sumpit adalah perwujudan harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur, senjata yang tidak hanya ditempa dari logam atau kayu, tetapi juga dari keyakinan dan tradisi yang diwariskan selama berabad-abad. Mandau, pedang suci orang Dayak, lebih dari sekadar alat perang. Ia lahir dari tangan para pandai besi yang bekerja bukan hanya dengan keterampilan, tetapi juga dengan doa-doa yang menyertai setiap dentingan palu. Ukiran-ukiran di bilahnya bukan hiasan biasa, melainkan pesan dari leluhur, simbol kekuatan, keberanian, dan hubungan dengan dunia spiritual. Mandau diyakini memiliki jiwa; ia adalah perpanjangan dari pemiliknya, sebuah entitas hidup yang hanya dapat digunakan dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab. 

Namun, mandau bukan sekadar alat pemotong. Dalam ritual-ritual adat, ia menjadi penghubung antara dunia manusia dan alam gaib. Ketika darah musuh menyentuh bilahnya, itu bukan hanya kemenangan fisik, tetapi juga sebuah ritual pengusiran energi jahat. Mandau membawa pesan bahwa kekerasan harus menjadi pilihan terakhir, dan setiap tetes darah yang ditumpahkan memiliki konsekuensi spiritual yang mendalam. Menggunakan mandau sembarangan dapat mendatangkan malapetaka, karena roh-roh leluhur yang bersemayam di dalamnya tidak akan tinggal diam. 

Di sisi lain, sumpit adalah simbol kecerdasan dan ketenangan. Sumpit tidak mengandalkan kekuatan kasar, melainkan presisi dan kehati-hatian. Ia dirancang dengan sederhana tetapi sangat efektif, menjadi senjata yang mematikan dalam kesunyiannya. Ujung mata sumpit yang tajam direndam dalam racun ipuh, getah mematikan yang diolah dengan hati-hati oleh para tetua suku. Racun itu bukan hanya bahan kimia, tetapi juga pembawa pesan gaib yang dipercayai mampu melumpuhkan tidak hanya tubuh musuh, tetapi juga roh jahat yang menyertainya.

Filosofi di balik sumpit adalah keseimbangan antara kehidupan dan kematian, antara tindakan dan dampaknya. Ketika sumpit digunakan, tidak ada suara yang membocorkan niat. Hanya ada kesunyian yang mematikan, seperti peringatan dari alam bahwa kekerasan selalu meninggalkan jejak, baik di dunia fisik maupun spiritual. Sumpit mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada ketenangan, pada kemampuan menunggu saat yang tepat untuk bertindak. 

Mandau dan sumpit adalah cerminan jiwa Dayak, yang hidup berdampingan dengan alam, menjunjung tinggi kehormatan, dan memahami bahwa setiap tindakan memiliki akibat. Mandau dan sumpit adalah simbol dari kekuatan yang tidak membabi buta, tetapi penuh perhitungan. Dalam tangan yang salah, mereka bisa menjadi alat kehancuran. Namun, dalam tangan yang menghormati tradisi dan menjaga keseimbangan, mereka adalah pelindung kehidupan dan pembawa keadilan. 

Di balik ukiran bilah mandau dan getah ipuh di ujung sumpit, tersembunyi hikmah, sekaligus misteri, yang mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan untuk menghancurkan, tetapi pada kebijaksanaan untuk memilih kapan harus menggunakan kekuatan itu.

 (Bersambung)

LihatTutupKomentar