Dayak: Klasifikasi Kelompok Etnis Dayak Menurut Para Pakar
Orang Dayak mengenali dan membahas siapa dirinya dalam acara bedah dan launching buku 101 Tokoh Dayak jilid 2 di Samarinda. Kiri ke kanan: Erika Siluq, Syaharie Jaang, dan Masri Sareb Putra. Dokpri. |
PONTIANAK - DAYAKTODAY: Dayak adalah penduduk asli dan First Nation Borneo. Keberadaan nenek moyang mereka diketahui berdasarkan ekskavasi situs Gua Niah yang menunjukkan jejak keberadaan sejak 40.000 tahun yang lalu.
Terminologi "Dayak" pertama kali diperkenalkan oleh Controleur Banjarmasin, Hogendorff, pada tahun 1757 dalam laporan monografinya ke Negeri Belanda.
Hogendorff menggunakan istilah "Dayak" sebagai padanan kata Belanda "binnenland", yang berarti manusia dari sini dan di tempat ini (Borneo), bukan dari mana pun juga.
Baca Longhouses of the Dayak People
Masyarakat Dayak adalah komunitas yang dinamis dengan warisan budaya yang kaya, terdiri atas tujuh kelompok utama. Secara keseluruhan, kelompok-kelompok ini mencakup sekitar 404 sub-suku, sebagaimana diteliti oleh Lontaan pada tahun 1975.
Klasifikasi Kelompok Etnis Dayak
Klasifikasi kelompok etnis Dayak bukanlah tugas yang sederhana, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk hukum adat, lokasi geografis, ritual, bahasa, hingga nama sungai tempat mereka bermukim. Keragaman ini mencerminkan kompleksitas sejarah dan budaya mereka serta menunjukkan betapa beragamnya identitas masyarakat Dayak.
Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo
Untuk memahami lebih dalam mengenai masyarakat Dayak, berikut adalah tujuh klasifikasi utama yang menggambarkan keunikan dan kompleksitas mereka:
Berdasarkan Hukum Adat
Peneliti H.J. Mallinckrodt (1928) mengklasifikasikan kelompok etnis Dayak menjadi enam kategori yang disebut Stammenras. Klasifikasi ini mencakup Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan. Pengelompokan ini menyoroti tradisi dan praktik sosial yang memperkuat identitas kolektif mereka, mencerminkan sistem pemerintahan adat dan pengambilan keputusan komunal yang khas.Berdasarkan Ritual Kematian
W. Stohr (1959) mengelompokkan masyarakat Dayak berdasarkan perbedaan dalam praktik ritual kematian. Klasifikasinya meliputi Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan. Signifikansi ritual ini tidak hanya mencerminkan nilai spiritual dan budaya mereka, tetapi juga memperlihatkan bagaimana praktik-praktik ini memperkuat ikatan komunitas serta menghormati leluhur, menegaskan kesinambungan tradisi lintas generasi.Klasifikasi Tjilik Riwut
Menurut Tjilik Riwut (1958), terdapat tujuh kelompok utama yang terdiri atas 405 hingga 450 sub-suku. Klasifikasi ini tidak hanya menegaskan keberagaman dalam setiap kelompok, tetapi juga menyoroti migrasi historis dan interaksi antarsuku yang membentuk struktur sosial mereka. Kajian Riwut menunjukkan bagaimana faktor lingkungan dan dinamika sosial turut berkontribusi dalam membentuk identitas setiap sub-kelompok.Klasifikasi Raymond Kennedy (1974)
Dalam studinya, Kennedy mengelompokkan masyarakat Dayak ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik budaya dan bahasa. Kelompok ini mencakup Kelompok Kenyah-Kayan-Bahau dan Kelompok Ngaju, yang memperlihatkan perbedaan signifikan antar kelompok etnis, sekaligus menampilkan unsur budaya yang mereka miliki secara kolektif. Pendekatan Kennedy menekankan pentingnya bahasa dan praktik budaya dalam memahami hubungan serta interaksi historis di antara berbagai kelompok.Klasifikasi Bernard Sellato (1989)
Sellato mengklasifikasikan kelompok etnis Dayak berdasarkan sungai-sungai utama yang menjadi pusat kehidupan mereka. Klasifikasinya mencakup kelompok Barito, yang mencakup berbagai etnis, serta kelompok Timur Laut, yang meliputi Dusun dan Murut. Pendekatan berbasis sungai ini menyoroti tidak hanya keterhubungan geografis antar kelompok, tetapi juga peran sungai dalam membentuk mata pencaharian, budaya, dan organisasi sosial mereka.Klasifikasi Berdasarkan Bahasa oleh Aronson (1978)
Dalam penelitiannya, Aronson mengelompokkan masyarakat Dayak berdasarkan perbedaan linguistik, dengan dua kategori utama: Exo-Bornean dan Endo-Bornean. Klasifikasi ini menegaskan bahwa bahasa tidak sekadar alat komunikasi, tetapi juga merupakan penanda identitas budaya dan etnis, yang membentuk cara suatu komunitas memandang dirinya sendiri serta posisinya dalam lanskap sosial-budaya yang lebih luas.Penelitian Dr. Anton Nieuwenhuis
Dalam publikasinya pada tahun 1998, Nieuwenhuis mendokumentasikan perjalanan dan penelitiannya di Borneo pada tahun 1894. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, temuannya memberikan wawasan berharga tentang budaya dan gaya hidup masyarakat Dayak pada akhir abad ke-18. Ia mencatat bahwa para peneliti asing sering mengalami kesulitan dalam memahami adat istiadat kelompok etnis pada berbagai tahap perkembangannya, sehingga data yang dikumpulkannya menjadi sumber penting dalam kajian etnografi.
Penelitian Dayak dengan Metodologi Ilmiah dan baru
Di luar pembagian tujuh kelompok etnis Dayak, patut diapresiasi jika menggunakan metodologi yang jelas dan akademik. Misalnya, hasil penelitian Alloy, Albertus, dan Istiany (2008) mengembangkan kajian lebih dalam dan luas hanya di Kalimantan Barat dan menemukan bahwa terdapat 151 sub-kelompok Dayak di wilayah tersebut. Kajian ini menegaskan bahwa klasifikasi masyarakat Dayak tidak dapat disederhanakan atau direduksi menjadi hanya tujuh kelompok besar, melainkan terus berkembang seiring dengan penelitian dan pendekatan akademik yang semakin mendalam.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Dayak wajib "meneliti dan menulis dari dalam"
Penggolongan Dayak yang telah disusun oleh para pakar selama ini merupakan kerangka besar atau big picture yang memberikan gambaran umum tentang keberagaman etnis dan budaya Dayak. Namun, kerangka ini masih bersifat umum dan perlu diperbarui, dilengkapi, serta dikoreksi berdasarkan temuan-temuan terbaru.
Para peneliti Dayak memiliki tanggung jawab besar untuk memperbaiki berbagai kekeliruan yang ditemukan dalam penulisan tentang Dayak, khususnya dalam hal rupa bumi, akurasi sejarah, penyebutan nama, serta pelafalan istilah yang sering keliru dalam karya para peneliti dan penulis non-Dayak.
Banyak dari kesalahan ini terjadi karena pendekatan luar yang kurang memahami konteks lokal, serta kecenderungan menggunakan sudut pandang eksternal yang tidak selalu merepresentasikan realitas budaya dan sejarah Dayak secara autentik.
Baca Jejak Kerajan Dayak
Oleh karena itu, di sinilah urgensi bagi para akademisi dan peneliti Dayak yang memiliki kompetensi metodologi yang kuat untuk menulis Dayak dari dalam. Dengan menggali data secara langsung, mendokumentasikan tradisi lisan, serta melakukan penelitian berbasis komunitas, para intelektual Dayak dapat menghadirkan narasi yang lebih akurat, komprehensif, dan reflektif terhadap realitas masyarakat Dayak.
Menulis dari dalam bukan sekadar menegaskan otoritas atas identitas sendiri, tetapi juga memastikan bahwa pengetahuan tentang Dayak berkembang secara ilmiah dan tidak terdistorsi oleh bias luar. Ini adalah bagian dari perjuangan intelektual untuk merebut kembali narasi dan memastikan bahwa sejarah serta budaya Dayak tidak hanya didokumentasikan dengan benar, tetapi juga diwariskan dengan kebanggaan kepada generasi mendatang.