Cerpen Rangkaya Bada | Bujang yang Lari dari Sungai
Di tepi Sungai Sekadau. Di mana air berbisik pelan pada akar-akar kayu ulin, berdiri rumah panjang seperti naga yang tertidur, diterangi sinar bulan yang pucat.
Di dalamnya Tamanang, tetua Dayak dengan mata seperti bulan purnama yang meredup. Mengukir cerita leluhur di dinding kayu.
Tangan-tangannya, penuh urat dan luka waktu, bergetar setiap kali ia menggores burung enggang, seolah mengenang istri yang telah pergi ke alam roh. Ia punya dua anak: Kayan, yang menari bersama angin di ladang, setia menjaga tanah leluhur, dan Bujang, yang matanya liar, mencuri-curi pandang ke ufuk, ke tempat yang tak pernah disentuh bayang-bayang pohon keladi.
Hati Bujang bagai burung enggang yang meronta, tak betah di sangkar kampung.
Sejak ibu mereka, Niah, meninggal lima tahun lalu karena demam yang tak bisa dijelaskan, rumah panjang tak lagi sama. Kayan menyalahkan Bujang, yang malam itu pergi ke hutan tanpa pamit, tak ada saat Niah mengembuskan napas terakhir.
Tamanang hanya diam, tapi di matanya tersimpan duka yang tak pernah diucap. Bujang, dengan hati yang memberontak, merasa kampung itu penjara, penuh kenangan ibu yang menghantuinya. Setiap malam, ia mendengar suara Niah dalam angin, menyanyikan lagu nina bobok yang dulu menidurkannya, namun kini terasa seperti tuduhan. Ia ingin lari, dari kampung, dari rasa bersalah yang menjeratnya seperti jaring laba-laba.
Pagi itu, asap dapur menari-nari di udara, membawa aroma kayu bakar yang pahit. Bujang berdiri di depan ayahnya, wajahnya keras seperti batu sungai.
“Ayah, aku mau warisan itu. Sekarang. Aku mau ke kota, ke tempat lampu-lampu tak pernah tidur!”
Suaranya seperti gong yang dipukul terlalu keras, mengguncang keheningan. Kayan, yang sedang menajamkan parang di sudut, menatapnya dengan mata penuh amarah.
“Kau mau menghina leluhur? Warisan itu darah ibu kita!” bentaknya, parangnya hampir terlepas dari tangan.
Tamanang menatap Bujang. Matanya seperti danau yang dalam, penuh air mata yang tak jatuh.
“Bujang, kau tahu apa yang kau minta?” tanyanya, suaranya gemetar seperti daun di angin. Bujang hanya mengangguk, dingin, matanya penuh pemberontakan.
Dengan hati yang remuk, Tamanang menyerahkan kalung emas pusaka milik Niah dan sepetak tanah yang harum tanah leluhur. “Pergilah, Bujang. Tapi ingat, sungai selalu kembali ke muara.”
Bujang pergi, meninggalkan rumah panjang. Ukiran burung enggang di dinding seolah menatapnya dengan mata sedih, seakan tahu ia tak akan kembali utuh. Kayan memalingkan muka, parangnya terlepas, jatuh ke tanah dengan bunyi yang menyakitkan.
Tamanang berdiri di beranda, memandang bayangan anak bungsunya menghilang di balik hutan.
Setiap malam sejak itu, ia duduk di tepi Sungai Sekadau, menatap air yang berkilau, berdoa kepada roh leluhur agar Bujang kembali.
Warga kampung berbisik, “Tamanang kehilangan istri, kini anaknya. Sungai pasti menangis.”
Di kota, Bujang tenggelam dalam gemerlap. Lampu-lampu menyanyikan lagu manis, teman-teman baru tertawa seperti burung di pasar malam. Ia menghabiskan emas leluhur untuk pakaian berkilau, pesta yang tak pernah usai, dan janji-janji kosong.
Kalung Niah dijual ke pedagang asing, tanah leluhur berpindah tangan. Ketika musim kemarau tiba, uangnya habis, teman-temannya menghilang.
Bujang kini hanya bayang-bayang di pelabuhan, mengangkut karung dengan tangan yang melepuh. Perutnya keroncongan, hatinya seperti kayu yang retak. Ia tidur di trotoar, ditemani angin dingin yang menggigit.
Setiap malam, ia memimpikan Sungai Sekadau, suara Niah menyanyikan lagu nina bobok, wajahnya pucat seperti kabut. Penyesalan menikamnya seperti duri rotan, tajam dan tak reda. Ia teringat malam ketika ia tak ada di sisi ibunya, hanya Kayan yang memegang tangannya yang dingin.
Di malam yang kelam, ia mendengar suara sungai, entah dari mana, berbisik, “Bujang, ke mana kau lari?”
Suara itu bukan air, melainkan roh leluhur, dingin seperti embun, namun penuh kasih. Bujang terbangun, bulu kuduknya merinding, seolah bayang-bayang Niah berdiri di sisinya, menunjuk ke arah hutan.
Dengan kaki berdarah dan jiwa yang remuk, Bujang memutuskan pulang. Ia berjalan melewati hutan, menembus kabut pagi, setiap langkah seperti memikul beban seluruh leluhur.
Di tengah hutan, angin membawa nyanyian tua dari pohon-pohon, seolah roh Niah berbisik, “Kembali, anakku, sebelum sungai menangis.”
Bujang ambruk, bersujud di tanah, air matanya membasahi akar-akar. “Maaf, Ibu. Maaf, Ayah,” bisiknya, suaranya pecah. Ia teringat kalung emas yang dijual, tanah yang hilang, dan malam ketika ia tak ada di sisi ibunya.
Di bawah pohon tapang, ia melihat bayang-bayang burung enggang melintas, seolah leluhur menatapnya dengan mata penuh duka. Sesampainya di kampung, rumah panjang tampak seperti naga yang bangun, diterangi sinar bulan yang pucat. Warga kampung berhenti bekerja, menatapnya dengan campuran kagum dan jijik. “Itu Bujang, pengkhianat leluhur,” bisik mereka.
Tamanang, rambutnya kini memutih, sedang mengukir di beranda, tangannya gemetar seperti daun. Melihat bayangan anaknya, ia melempar pisau ukirnya, berlari, dan memeluk Bujang hingga debu tanah beterbangan.
“Kau pulang! Sungai telah membawamu kembali!” Tamanang menangis, suaranya pecah, wajahnya seperti matahari pagi yang basah oleh embun. Ia memegang wajah Bujang, tubuhnya kurus seperti kayu kering.
“Aku menunggumu setiap malam, Bujang,” katanya, suaranya penuh luka. “Setiap malam, aku berdiri di tepi sungai, mendengar roh-roh memanggil namamu. Aku takut kau hilang selamanya, seperti ibumu.”
Bujang tersungkur, menangis di kaki ayahnya, “Aku tak pantas pulang, Ayah. Aku kehilangan semua, bahkan ibu.”
Kayan, yang mendengar suara ayahnya, muncul dari bayang-bayang, parang di tangannya berkilau di bawah bulan.
“Ayah, dia yang membuat Ibu mati! Dia yang menghina leluhur, menjual pusaka kita!” teriaknya, suaranya seperti petir di hutan.
“Aku menjaga ladang, menjaga Ayah, tapi kau rayakan kepulangan pengkhianat ini?”
Warga kampung menatap, beberapa mengangguk setuju dengan Kayan. Tamanang menatap Kayan, matanya penuh duka.
“Kayan, aku kehilangan istriku, dan aku tak mau kehilangan anakku. Bujang tersesat, tapi ia kembali. Bukankah leluhur kita mengajarkan kasih lebih kuat dari amarah?”
Kayan membuang parangnya. Bunyinya menggema. Namun ia berpaling. Menolak mendekat. Hatinya terbakar.
Tamanang berseru, “Siapkan babi hutan! Tabuh gendang! Kita pesta, karena anakku yang lari kini berdiri di sini!”
Warga kampung ragu, beberapa berbisik, “Dia tak layak diterima.”
Tapi Tamanang mengangkat tangan, suaranya tegas, “Leluhur kita memaafkan, dan kita pun harus.”
Api unggun menyala, gendang ditabuh, namun Bujang duduk dengan kepala tertunduk, air matanya jatuh ke tanah leluhur. Ia melihat bayang-bayang Niah di antara asap, matanya penuh kasih namun menyalahkan.
“Aku tak pantas pulang, Ayah,” bisiknya. Tamanang memeluknya lebih erat, “Kau anakku, Bujang. Sungai tak pernah menolak air yang kembali.”
Kayan berdiri di sudut, hatinya bergolak. Ia teringat malam ketika ia memegang tangan ibunya yang dingin, sementara Bujang tak ada. Amarahnya seperti api, tapi di dalam hatinya, ia mendengar bisikan Niah, “Kayan, peluk adikmu.”
Dengan langkah berat, ia mendekati Bujang. Warga kampung terdiam, angin bertiup kencang, membawa nyanyian aneh dari Sungai Sekadau.
Kayan menyentuh pundak adiknya, dan untuk pertama kalinya, mereka menangis bersama, air mata mereka bercampur di tanah. Tamanang memandang mereka, air matanya jatuh, seolah melihat Niah tersenyum di antara bayang-bayang.
Gendang bergema, tarian menghidupkan dinding rumah panjang. Tamanang mengukir lagi, kali ini wajah Bujang di samping burung enggang, seolah menyegel kembalinya anaknya.
Sungai Sekadau mengalir, membawa air mata mereka ke hutan, ke langit, ke tempat yang tak pernah dilihat Bujang di kota.
Di bawah bintang-bintang, roh Niah tersenyum. Dan naga rumah panjang mengangguk, menjaga rahasia pengampunan yang abadi.
Pontianak, 10 Juli 2025