Kabut Leluhur di Sungai Utik | Cerpen Masri Sareb Putra

Sungai Utik, Apai Janggut, tanah, leluhur maraj, kutukan



Helikopter itu masih melayang seperti serangga bingung. Bilah rotornya terus mengiris udara. Tapi bukan hanya udara yang harus diiris.

Ada kekosongan yang lebih pekat dari kabut. Lebih berat dari keheningan. Di bawahnya, Sungai Utik mengalir seperti nadi purba yang tak pernah tidur. Menganyutkan bukan hanya air, tapi sejarah, doa, dendam, dan kesetiaan.

Hutan mengatupkan rahasianya. Seperti mulut para tetua yang tak mau bicara pada sembarang orang. Daun-daun tak bergetar. Angin tak bicara. Hanya riak halus di air yang seperti gumaman mantra dari nenek moyang yang belum selesai.

“GPS kita seperti mabuk.” Suara teknisi memecah sunyi kabin.

“Kita seperti berjalan di tempat. Titik kita kembali ke titik semula. Tapi kita tak bergerak ke belakang.”

Pilot menghela napas. Ia tahu ini bukan sekadar gangguan teknis. Ada sesuatu yang menolak mereka. Sesuatu yang tak tertera dalam buku manual penerbangan. Tapi tertulis dalam cerita-cerita tua yang dulu ia anggap dongeng pengantar tidur.

Helikopter mendadak goyah. Bukan karena angin. Tapi karena udara itu sendiri menolak diinjak. Kompas berputar. Seperti setan sedang menari di dalamnya. Panel elektronik berkedip. Merah. Hijau. Mati. Hidup. Mati lagi. Bunyi mesinnya meraung. Seolah menjerit dalam bahasa mesin. “Pulanglah.”

Di kursi belakang, pria berkemeja putih tersenyum. Parfum di pergelangan tangannya masih tajam. Wanginya artifisial. Menyinggung ruang yang selama ini hanya mengenal aroma kayu basah, tanah, dan pinang.

“Tempat ini luar biasa.” Katanya seperti orang yang hendak membeli akuarium raksasa. “Lihat saja dari udara. Vila-vila apung. Dermaga. Bandara kecil. Kita rekrut penduduk lokal. Kasih seragam. Ajari mereka bahasa Inggris. Wisata budaya.”

Ia tertawa. Map di tangannya penuh dengan sketsa, grafik keuntungan, bagan ekonomi. Ia melihat hutan bukan sebagai rumah. Melainkan sebagai halaman kosong yang belum digambar.

Tapi hutan bukan halaman kosong.

Hutan adalah kitab tua yang ditulis dengan waktu. Darah. Dan sabar. Hutan bukan untuk digambar. Tapi untuk dibaca. Dan hanya oleh mereka yang tahu huruf-huruf tak bersuara.

Kabut mendadak membuka jalan.

Dari kejauhan, sebuah perahu kayu meluncur seperti ilusi. Di atasnya berdiri lelaki tua. Ia tidak tampak asing. Justru terlalu akrab. Seperti bayangan dari mimpi yang tak pernah selesai.

Apai Janggut.

Ia berdiri. Tidak bergeming. Hanya menunjuk ke arah helikopter. Tidak ada kata. Tapi seluruh udara menjadi kata-kata. Isyarat itu bukan ancaman. Bukan larangan. Melainkan semacam hukum alam. "Kau sudah cukup jauh. Jangan lebih."

Tapi manusia kota tak paham bahasa isyarat. Mereka hanya paham tanda tangan dan nominal.

“Turunkan. Kita dekati tokoh adat ini. Pasti bisa kita ajak kerja sama.” Seru si pengusaha. “Tanah itu harus kita dapat.”

Helikopter mendarat dengan susah payah. Tanah seperti menolak disentuh. Daun-daun bergeming seperti telinga-telinga yang menolak mendengar. Burung-burung diam. Seperti langit yang sedang menyimpan napas.

Desa menyambut. Tenang. Hening. Tak ada caci. Tak ada teriakan. Tapi diam mereka lebih nyaring dari peluru.

Pengusaha mulai bicara. Proposal. Pembangunan. CSR. Bonus. Beasiswa. Investasi. Ia keluarkan lembaran uang. Seperti penyihir menawarkan mantra palsu. Tapi di mata warga desa. Uang itu tak berbeda dari daun kering yang gugur terlalu dini.

Mereka diam. Tapi dalam diam itu. Sejarah mereka bicara. Dalam tatapan itu. Leluhur mereka hadir. Dalam tangan yang tak menandatangani kertas. Ada keabadian yang tak bisa dibeli.

Hari-hari berikutnya menjadi luka.

Alat berat mulai berdatangan. Seperti kawanan raksasa tuli yang melindas semesta. Hutan dibabat. Sungai dijinakkan. Bunyi mesin menggantikan nyanyian jangkrik. Burung-burung terbang ke arah yang tak ada. Kabut berubah warna. Udara menjadi berat. Anak-anak muda mulai memanggul semen. Menggenggam mata uang. Dan melepaskan sesuatu yang lebih tua dari dirinya.

Dan pada malam itu. Alam membalas. Tapi bukan dengan kemarahan. Dengan pengingat.

Langit seperti robek dari ujung ke ujung. Petir tak menyala. Tapi menggema seperti gendang perang. Angin berputar. Alat berat tenggelam seperti menyesap ke dalam tanah. Besi retak. Asap keluar dari tempat yang seharusnya tak berapi. Tanah seperti meneguk semuanya. Air naik. Pohon membungkuk. Udara menggigit.

Di pinggir sungai, Apai Janggut berdiri lagi. Kali ini ia tak sendiri. Barisan tetua ada bersamanya. Wajah mereka seperti bayang-bayang dari zaman yang berbeda. Mereka diam. Tapi tanah di bawah kaki mereka bersuara. Tanah itu seperti memiliki jantung. Dan jantung itu berdetak keras.

Di langit, helikopter coba dihidupkan.

Mesin menjerit. Tapi tidak bergerak. Kompas kembali menari. GPS menolak menunjuk arah. Pilot tahu. Mesin tidak bisa melawan mantra. Dan mantra ini bukan dari mulut dukun. Tapi dari ingatan tanah yang terlalu lama diam.

Malam itu, si pengusaha bermimpi.

Ia berbaring di ranjang bambu. Tapi tujuh sosok mengelilinginya. Mata mereka dalam. Hitam. Sunyi. Mereka tidak marah. Tapi kesunyian itu menelanjanginya. Seperti cermin yang memperlihatkan siapa dirinya. Bukan apa yang ia miliki. Tapi apa yang telah ia rusak.

Dan dari mulut mereka hanya satu kalimat.

“Kau telah mengambil yang bukan milikmu.”

Paginya, ia menghilang.

Tak ada yang tahu ke mana. Mapnya tertinggal. Basah. Hancur. Tinta luntur seperti air mata yang tak punya tempat jatuh. Helikopter tetap di lapangan. Membisu. Teronggok seperti bangkai raksasa yang tak lagi punya nyawa.

Desa kembali tenang. Sungai kembali jernih. Hutan menutup lukanya perlahan. Tapi barisan tetua tak lagi sepenuhnya kembali ke rumah. Mereka berjaga. Dengan sabar. Dengan belarasa.

Karena cinta mereka bukan kelemahan.

Tapi jika cinta itu diinjak. Jika hutan dianggap halaman kosong. Jika sungai dipaksa berhenti mengalir. Mereka tidak sendiri.

Leluhur akan turun tangan.

Dan tanah ini akan melindungi dirinya sendiri.


Tangerang, 14 April 2025
Cerita ini ditulis sebagai pengingat bahwa tanah tidak pernah benar-benar sunyi. Ia mendengar. Ia merasa. Dan ia tahu siapa yang datang dengan niat baik, dan siapa yang datang membawa mimpi yang menjual surga, tapi membangun neraka.

LihatTutupKomentar