Tato Dayak: Identitas Budaya yang Bertahan di Tengah Arus Globalisasi

 

Tato bunga terong menghiasi bahu Apai Janggut—lebih dari sekadar hiasan, ia adalah lambang keberanian dan perjalanan hidup. Foto: Mongabay
Tato bunga terong menghiasi bahu Apai Janggut—lebih dari sekadar hiasan, ia adalah lambang keberanian dan perjalanan hidup.
Foto: Mongabay

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Tato Dayak adalah simbol spiritual, status sosial, dan identitas budaya yang hidup. Temukan makna, nilai estetika, dan kebangkitannya di era global dalam artikel ini.

Tato bukan sekadar seni. Bagi masyarakat Dayak di Borneo, tato adalah arsip identitas, bahasa simbolik, dan warisan turun-temurun.

Budaya yang Terpatri di Kulit

Dalam sejarah panjang Dayak Iban, Kayan, dan sub-suku lainnya, tato memiliki fungsi spiritual, sosial, dan estetika. Proses penatoan pun bukan perkara estetika belaka, tetapi bagian dari ritual dan transformasi diri.

Motif paling ikonik dari tato Dayak adalah bunga terong (terung), biasanya ditato di bahu sebagai tanda kedewasaan. Bunga terong memiliki makna mendalam: lambang keberanian, perlindungan spiritual, dan kesiapan menghadapi kehidupan dewasa. Ia bukan sekadar ornamen; ia adalah bahasa visual yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang paham makna budaya Dayak.

Makna dan Fungsi Sosial Tato Dayak

Setiap garis, titik, dan bentuk dalam tato Dayak menyimpan cerita. Beberapa makna umum dari motif tato Dayak antara lain:

  • Bunga terong: tanda awal setelah menjalani bejalai (merantau), simbol kedewasaan dan kesiapan menjadi lelaki sejati.

  • Burung enggang: lambang kehormatan dan pemimpin.

  • Motif ular naga (aso): kekuatan, pelindung dari roh jahat.

  • Tato pada perempuan: simbol kesuburan, keterampilan menenun, atau sebagai penjaga rumah panjang.

Tato juga menunjukkan status sosial dan pengalaman hidup. Semakin banyak motif yang dimiliki, semakin tinggi status dan pengalaman spiritual seseorang. Bahkan, dalam kepercayaan animisme Dayak, tato dipercaya akan bersinar di alam baka dan menjadi penerang jalan menuju surga.

Globalisasi dan Stigma Lama

Sayangnya, kolonialisme dan misi agama pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 menyebabkan praktik tato Dayak mengalami kemunduran. Tato pernah dianggap sebagai tanda primitif atau berhubungan dengan kekerasan. Banyak generasi Dayak dipaksa menanggalkan identitas budaya mereka, termasuk meninggalkan tradisi menato tubuh.

Namun kini, globalisasi justru menjadi jembatan baru. Dunia luar mulai mengenal, menghargai, bahkan mengadopsi gaya tato Dayak. Seniman tato internasional datang ke Kalimantan Barat dan Timur untuk belajar dari ahli tato tradisional Dayak—yang menggunakan teknik tusuk tangan (hand-tap) dan alat dari duri pohon jeruk atau bambu.

Kebangkitan Identitas Melalui Kulit

Dalam dua dekade terakhir, generasi muda Dayak mulai kembali bangga pada identitas mereka. Komunitas adat, aktivis budaya, dan seniman lokal mulai menghidupkan kembali seni tato sebagai bagian dari gerakan identitas Dayak.

Bagi mereka, memakai tato Dayak bukan hanya mengikuti tren. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap stigma, penjajahan identitas, dan lupa akar. Tato menjadi ruang afirmasi: “Saya Dayak, dan saya bangga.”

Kebangkitan ini juga disokong oleh festival budaya, pameran seni, dan digitalisasi. Dokumentasi video, buku, dan media sosial membuat tato Dayak dikenal lebih luas. Bahkan beberapa akademisi dan peneliti seni kini menempatkan tato Dayak dalam diskursus seni global, sejajar dengan tato Maori di Selandia Baru atau suku-suku Polinesia.

Potensi Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya

Tato Dayak kini bukan hanya budaya—tapi juga potensi ekonomi kreatif. Jika dikembangkan secara etis dan berkelanjutan, ia bisa:

  1. Menarik wisatawan budaya ke Kalimantan.

  2. Menciptakan lapangan kerja baru bagi seniman tato lokal.

  3. Menjadi produk seni global dengan nilai lokal.

  4. Mendorong kolaborasi antara komunitas adat dan pegiat seni global.

  5. Menjadi bahan ajar dan riset di bidang seni, antropologi, dan budaya visual.

Namun, perlu dicatat bahwa komodifikasi budaya harus tetap etis. Tidak semua motif boleh dipakai sembarangan. Ada motif sakral yang hanya boleh dipakai oleh orang-orang tertentu dalam komunitas. Karena itu, pendidikan dan kolaborasi lintas sektor penting untuk menjaga otentisitas.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Tantangan utama adalah mendokumentasikan dan melestarikan makna asli dari tato-tato ini. Banyak tetua adat telah meninggal tanpa sempat mentransfer pengetahuan. Di sisi lain, generasi muda kadang mengambil motif secara estetis tanpa tahu konteks dan sejarahnya.

Harapan ke depan:

  • Adanya arsip digital tato Dayak yang komprehensif.

  • Pemberdayaan seniman muda Dayak.

  • Dukungan pemerintah dan lembaga adat untuk revitalisasi budaya visual Dayak.

🧭 Kesimpulan

  1. Tato Dayak bukan sekadar simbol di kulit. Tato adalah narasi hidup, identitas, spiritualitas, dan perlawanan. 
  2. Di tengah arus globalisasi dan modernitas, tato Dayak membuktikan bahwa warisan leluhur bisa tetap hidup—bukan di museum, tapi di tubuh mereka yang bangga menyandangnya.
-- Masri Sareb Putra, M.A.

LihatTutupKomentar