Stefanus Byan Babaro Menggugat UU Transmigrasi ke Mahkamah Konstitusi karena Dinilai Sangat Merugikan Masyarakat Tujuan
Wareganegara telah melek hukum selain berani menggugat undang-undang yang sarat kepentingan dan titipan ologarki. Ist. |
Stefanus Byan Babaro, memenuhi hak sebagai warganegara menggugat Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 29 Juli 2025.
Gugatan tersebut mencerminkan kesadaran hukum warga negara yang kian matang dan keberanian dalam menuntut keadilan konstitusional.
Tindakan hukum ini diharapkan menjadi preseden sekaligus peringatan keras bagi pembentuk undang-undang agar tidak lagi memproduksi regulasi yang sarat kepentingan sempit, bias struktural, dan titipan oligarki.
Gugatan ini atas nama masyarakat Kalimantan karena UU Transmigrasi tersebut dinilai telah melanggengkan ketidakadilan struktural terhadap masyarakat lokal di daerah tujuan transmigrasi.
Langkah hukum ini dikawal langsung oleh DPW Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) Jakarta, sebagai bentuk komitmen menjaga kedaulatan adat dan menegakkan keadilan sosial.
UU Transmigrasi Dianggap Timbulkan Ketimpangan Sosial
Kebijakan transmigrasi, yang awalnya bertujuan untuk
pemerataan penduduk dan pembangunan daerah, justru dinilai telah menciptakan
kesenjangan antara pendatang dan masyarakat lokal. Dalam dokumen gugatan,
Stefanus menyoroti pasal 16 dan pasal 24 ayat (3) UU No. 15 Tahun 1997
sebagai bentuk ketidakadilan negara terhadap masyarakat adat.
Setidaknya terdapat lima poin utama ketimpangan yang
dipermasalahkan:
- Fasilitas
hanya diberikan kepada transmigran.
- Dominasi
budaya luar terhadap budaya lokal.
- Minimnya
partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
- Sentralisasi
kebijakan tanpa mempertimbangkan otonomi daerah.
- Pengabaian
hak-hak masyarakat adat.
“Negara harus berhenti mengistimewakan kelompok tertentu dan mulai memanusiakan masyarakat adat,” ujar Stefanus.
TBBR Jakarta Gelar Ritual Babamang Sebelum Masuk MK
Sebelum sidang dimulai, ritual adat Babamang digelar di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi. Upacara ini dipimpin oleh tokoh adat Jailim dan didampingi oleh anggota TBBR seperti Supriadi, Novianus, Jepri, Johan, King, dan Stefanus sendiri.
Ritual ini merupakan bentuk permohonan
kepada leluhur agar proses hukum berjalan lancar dan diberkati.
“Ini bukan sekadar gugatan hukum, ini adalah bentuk perlawanan spiritual masyarakat adat Dayak terhadap ketidakadilan yang telah berlangsung puluhan tahun,” kata Moses Thomas.
Seruan Solidaritas dan Dukungan Masyarakat Adat
Perjuangan ini menuai respons positif dari berbagai kalangan masyarakat adat. Moses Thomas, salah satu tokoh adat Dayak, menyerukan dukungan penuh.
“Saya mengajak seluruh saudara Dayak dan pecinta keadilan untuk
memberikan doa dan dukungan nyata demi menjaga tanah dan martabat leluhur,”
tegasnya.
Gugatan ini diharapkan menjadi titik balik agar kebijakan
negara berpihak pada keadilan dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal, bukan
hanya angka statistik pembangunan.
-- Paran Sakiu