Mengapa Ukuran Kemiskinan Berdasarkan Pengeluaran Tidak Relevan di Kalimantan?
Di Kalimantan, ukuran kemiskinan yang indikatornya dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk belanja pangan, tak tepat. Sebab orang mandiri pangan. Sering tidak belanja sama sekali untuk makan. Ist. |
Ukuran kemiskinan berbasis pengeluaran tidak mencerminkan realitas hidup masyarakat Kalimantan yang masih bergantung pada sumber daya alam lokal seperti ladang, hutan, dan kolam ikan. Masyarakat Kalimantan, khususnya Dayak, bisa hidup layak tanpa banyak transaksi uang tunai, sehingga indikator pengeluaran tidak relevan untuk mengukur kesejahteraan mereka.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional per
Maret 2025 adalah sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.305
per hari.
Artinya, jika seseorang membelanjakan kurang dari angka itu per hari,
maka ia dianggap miskin.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Namun di berbagai wilayah seperti pedalaman Kalimantan, ukuran ini menjadi tidak relevan, bahkan bisa dikatakan menyesatkan. Sebab, banyak masyarakat adat Dayak yang tidak mengeluarkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari, namun mereka tidak kekurangan dalam hal pangan, tempat tinggal, atau akses terhadap alam.
Kehidupan Mandiri Tanpa Uang Tunai
Di banyak kampung dan dusun Kalimantan, masyarakat hidup
dari:
- Ladang
dan sawah sendiri yang menghasilkan padi, jagung, singkong, dan
sayur-mayur.
- Kolam
ikan atau sungai tempat mereka menangkap ikan setiap hari.
- Hutan
adat sebagai sumber bahan pangan, obat-obatan, kayu, dan rotan.
- Rumah
milik sendiri, bukan kontrakan atau cicilan bank.
- Kekerabatan
dan gotong-royong, bukan hubungan transaksi pasar.
Mereka tidak membeli makanan dari pasar, tidak perlu
membayar listrik dalam banyak kasus, dan tidak memiliki pengeluaran rutin
seperti masyarakat urban.
Baca Dayak: Suku Bangsa Jujur dan Tepercaya
Jika dilihat dari data BPS yang hanya menghitung pengeluaran tunai, maka mereka akan diklasifikasikan sebagai penduduk miskin. Padahal, kenyataannya mereka hidup cukup, bahkan mandiri.
Bias Ukuran Kemiskinan Nasional
Ukuran pengeluaran yang digunakan BPS berasal dari standar
konsumsi nasional, seperti yang dijelaskan oleh Deputi Bidang Statistik
Sosial BPS, Ateng Hartono, yang mencakup makanan dan non-makanan. Tetapi
pendekatan ini cenderung:
- Berbasis
kota (urban-based thinking),
- Tidak
mempertimbangkan ekonomi subsisten,
- Mengabaikan
kemandirian komunitas adat,
- Dan
mengesampingkan nilai-nilai lokal dalam mengukur kesejahteraan.
Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo
Masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada sumber daya
alam secara langsung justru bisa menjadi contoh keberlanjutan dan ketahanan
pangan lokal, tanpa tergantung pada uang tunai.
Saatnya Ukuran Kemiskinan Diubah
Kini saatnya Indonesia mengadopsi pendekatan kemiskinan
multidimensi, bukan hanya pengeluaran:
- Masukkan
indikator hak atas tanah, ketahanan pangan lokal, kualitas lingkungan
hidup, dan partisipasi sosial.
- Akui
bahwa tidak semua kesejahteraan bisa diukur dengan uang.
- Hentikan
menganggap komunitas adat sebagai "tertinggal" hanya karena
mereka tidak hidup seperti masyarakat kota.
Ukuran kemiskinan berbasis pengeluaran telah gagal membaca
realitas masyarakat adat, khususnya di Kalimantan. Mereka bukan
"miskin". Mereka justru menjaga warisan budaya, tanah leluhur, dan
kedaulatan hidup yang lestari.