Mengapa Ukuran Kemiskinan Berdasarkan Pengeluaran Tidak Relevan di Kalimantan?

 

Mengapa Ukuran Kemiskinan Berdasarkan Pengeluaran Tidak Relevan di Kalimantan?
Di Kalimantan, ukuran kemiskinan yang indikatornya dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk belanja pangan, tak tepat. Sebab orang mandiri pangan. Sering tidak belanja sama sekali untuk makan. Ist.

Ukuran kemiskinan berbasis pengeluaran tidak mencerminkan realitas hidup masyarakat Kalimantan yang masih bergantung pada sumber daya alam lokal seperti ladang, hutan, dan kolam ikan. Masyarakat Kalimantan, khususnya Dayak, bisa hidup layak tanpa banyak transaksi uang tunai, sehingga indikator pengeluaran tidak relevan untuk mengukur kesejahteraan mereka.

Oleh: Masri Sareb Putra | 1 Agustus 2025


Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional per Maret 2025 adalah sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari. 

Artinya, jika seseorang membelanjakan kurang dari angka itu per hari, maka ia dianggap miskin.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam

Namun di berbagai wilayah seperti pedalaman Kalimantan, ukuran ini menjadi tidak relevan, bahkan bisa dikatakan menyesatkan. Sebab, banyak masyarakat adat Dayak yang tidak mengeluarkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari, namun mereka tidak kekurangan dalam hal pangan, tempat tinggal, atau akses terhadap alam. 

Kehidupan Mandiri Tanpa Uang Tunai

Di banyak kampung dan dusun Kalimantan, masyarakat hidup dari:

  1. Ladang dan sawah sendiri yang menghasilkan padi, jagung, singkong, dan sayur-mayur.
  2. Kolam ikan atau sungai tempat mereka menangkap ikan setiap hari.
  3. Hutan adat sebagai sumber bahan pangan, obat-obatan, kayu, dan rotan.
  4. Rumah milik sendiri, bukan kontrakan atau cicilan bank.
  5. Kekerabatan dan gotong-royong, bukan hubungan transaksi pasar.

Mereka tidak membeli makanan dari pasar, tidak perlu membayar listrik dalam banyak kasus, dan tidak memiliki pengeluaran rutin seperti masyarakat urban.

Baca Dayak: Suku Bangsa Jujur dan Tepercaya

Jika dilihat dari data BPS yang hanya menghitung pengeluaran tunai, maka mereka akan diklasifikasikan sebagai penduduk miskin. Padahal, kenyataannya mereka hidup cukup, bahkan mandiri. 

Bias Ukuran Kemiskinan Nasional

Ukuran pengeluaran yang digunakan BPS berasal dari standar konsumsi nasional, seperti yang dijelaskan oleh Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, yang mencakup makanan dan non-makanan. Tetapi pendekatan ini cenderung:

  1. Berbasis kota (urban-based thinking),
  2. Tidak mempertimbangkan ekonomi subsisten,
  3. Mengabaikan kemandirian komunitas adat,
  4. Dan mengesampingkan nilai-nilai lokal dalam mengukur kesejahteraan.

Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo

Masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam secara langsung justru bisa menjadi contoh keberlanjutan dan ketahanan pangan lokal, tanpa tergantung pada uang tunai.

Saatnya Ukuran Kemiskinan Diubah

Kini saatnya Indonesia mengadopsi pendekatan kemiskinan multidimensi, bukan hanya pengeluaran:

  1. Masukkan indikator hak atas tanah, ketahanan pangan lokal, kualitas lingkungan hidup, dan partisipasi sosial.
  2. Akui bahwa tidak semua kesejahteraan bisa diukur dengan uang.
  3. Hentikan menganggap komunitas adat sebagai "tertinggal" hanya karena mereka tidak hidup seperti masyarakat kota.

Ukuran kemiskinan berbasis pengeluaran telah gagal membaca realitas masyarakat adat, khususnya di Kalimantan. Mereka bukan "miskin". Mereka justru menjaga warisan budaya, tanah leluhur, dan kedaulatan hidup yang lestari.

 Jakarta, 1 Agustus 2025

LihatTutupKomentar