Gus Dur "Bapak Cina" dan Tokoh Multikulturalisme di Indonesia

Gus Dur, Cina, Tionghoa, rekonsiliasi, guanxi,Yan Bin’s Genealogy, Campa, etnic cleansing, rasial, PBNU, Gary Hamilton, Niasbitt

 

ilustrasi CMA Suara.Com


Tiap kali Imlek tiba, ingatan kita seolah terpanggil untuk mengenang sosok yang berjasa besar bagi kebebasan beragama dan keberagaman budaya di negeri ini: Gus Dur. Tanpanya, Tahun Baru Imlek mungkin masih akan tersembunyi di balik sekat-sekat diskriminasi, dan ekspresi budaya setiap etnis tak akan sejelas sekarang di bumi Pancasila.

Saya kembali membuka arsip lama. Pernah saya menulis tentang visi Gus Dur—visi yang jauh melampaui zamannya. Tak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai Bapak Pluralisme yang sejati.

Gus Dur: Pemimpin yang Melawan Arus

Abdurrahman Wahid, atau yang lebih akrab disapa Gus Dur, telah berpulang pada 30 Desember 2009. Namun, warisan pemikirannya tetap hidup. Presiden ke-4 RI ini bukan sekadar pemimpin, melainkan seorang pejuang nilai-nilai kemanusiaan. Ia mengembalikan kebebasan bagi mereka yang selama ini termarginalkan, termasuk etnis Tionghoa yang bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang keterbatasan.

Salah satu keputusan out of the box-nya yang hingga kini masih dikenang adalah lawatan pertamanya sebagai presiden ke Republik Rakyat China (RRC). Bukan Amerika Serikat, bukan Eropa—melainkan China, negara yang pada masa Orde Baru memiliki hubungan diplomatik yang renggang dengan Indonesia.

Langkahnya ini sempat dicibir. Banyak yang menganggapnya aneh, bahkan ngawur. Tapi Gus Dur punya alasan kuat. Dalam konferensi pers pertamanya, ia menegaskan, “RRC adalah negara besar dan potensial secara ekonomi. Kita justru rugi jika tidak menjalin hubungan baik dengan mereka.”

Guanxi dan Cara Pandang Gus Dur

Gus Dur memahami pentingnya guanxi—konsep dalam budaya Tionghoa yang menekankan hubungan baik dan jaringan sosial dalam dunia bisnis dan diplomasi. Maka, meski dikritik karena sering bepergian ke luar negeri, ia tetap bergeming. Dengan santai ia menanggapi, “Orang yang mengkritik saya, mereka tidak tahu apa yang saya lakukan.”

Saat ada wartawan yang mengungkit hubungan RI-RRC yang retak sejak 1965 karena dugaan keterlibatan China dalam G-30-S/PKI, Gus Dur menjawab dengan santai tapi tajam. “Kalau sekarang saya membuka kembali hubungan dengan China, mengapa tidak boleh?”

Gus Dur tetaplah Gus Dur—pemimpin yang sulit ditebak, berani melawan arus, dan teguh pada keyakinan yang ia anggap benar. Warisan pluralismenya tak akan pernah lekang oleh waktu.

Gus Dur dan China: Jejak Sejarah, Rekonsiliasi, dan Masa Depan

Secara genealogis, Gus Dur memiliki hubungan khusus dengan China. Sejarah mencatat, salah satu keturunan raja Majapahit pernah mempersunting putri Raja Campa. Dari pernikahan itu, lahirlah Tan Kim Ham—yang kemudian dikenal sebagai Abdul Kadir. Dari garis keturunan Abdul Kadir, lahirlah Sunan Ampel, yang kelak menurunkan K.H. Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur.

Kisah ini terdokumentasi dalam Yan Bin’s Genealogy 1770-2004 (2004), yang diterbitkan oleh Paguyuban Keluarga Keturunan Gan—sebuah komunitas di mana Gus Dur dan Yenny Wahid turut aktif di dalamnya.

Maka, bukan tanpa alasan jika Gus Dur membela mati-matian etnis Tionghoa yang selama rezim Orde Baru mengalami marginalisasi politik dan budaya. "Orang yang membenci etnis Tionghoa tidak memahami sejarah," katanya suatu ketika. "Sebab, kalau ditelusuri, kita semua memiliki darah China dalam diri kita."

Pernyataan itu sontak menggemparkan. Namun, Gus Dur tak hanya berbicara, ia bertindak. Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional, dan berbagai simbol serta atribut budaya Tionghoa kembali diperbolehkan menghiasi Nusantara.

Namun, rekonsiliasi yang diusung Gus Dur bukan sekadar soal darah atau warisan leluhur. Ia melihat lebih jauh—menembus batas waktu dan geopolitik. Di tengah krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia, Gus Dur memahami bahwa China bukan sekadar negara, melainkan jaringan (networking), sebuah kekuatan ekonomi yang tak bisa diabaikan.

Saat negara-negara ASEAN dan China membuka area perdagangan bebas, Gus Dur sudah lebih dulu menyiapkan jalannya. Ia tidak hanya melihat China sebagai pusat budaya yang mesti dihargai, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam membangun kembali perekonomian nasional.

Guanxi dan Kapitalisme Asia

Gus Dur juga memahami konsep guanxi—jaringan sosial dan hubungan timbal balik yang menjadi fondasi kuat dalam dunia bisnis dan diplomasi China. Studi yang dilakukan Gary Hamilton (1989) menyimpulkan bahwa guanxi berperan besar dalam perkembangan kapitalisme di negara-negara industri baru (Newly Industrialized Countries).

Futurolog John Naisbitt dalam Megatrends Asia (1996) bahkan meramalkan bahwa model guanxi akan menjadi paradigma baru, menggantikan konsep nation-state yang kaku dengan jaringan ekonomi yang lebih fleksibel dan berorientasi pada hubungan sosial.

Seperti Hamilton dan Naisbitt, Gus Dur pun meyakini kekuatan guanxi. Maka, ketika banyak pihak mengkritiknya karena terlalu sering melakukan perjalanan luar negeri, ia hanya tersenyum dan berkata, "Mereka tidak tahu apa yang sedang saya kerjakan." Gus Dur bergeming, tetap teguh pada keyakinannya: jika ingin bertahan dalam dunia yang terus berubah, guanxi harus dirangkul.

Mencairkan Hubungan, Meruntuhkan Diskriminasi

Dengan keyakinan berbasis data dan pemahaman sejarah yang mendalam, Gus Dur menjadikan China sebagai prioritas dalam diplomasi luar negerinya. Keputusannya mencairkan kembali hubungan diplomatik Indonesia-RRC, yang membeku sejak 1965, bukan sekadar langkah politis, tetapi juga upaya untuk menepis anggapan bahwa Indonesia selama ini menerapkan diskriminasi rasial secara sistematis.

Kerusuhan Mei 1998 seakan-akan memperkuat narasi bahwa telah terjadi semacam ethnic cleansing terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Namun, Gus Dur memilih jalur berbeda: bukan membiarkan luka itu membusuk, tetapi menjahitnya dengan rekonsiliasi. Ia membuka ruang bagi harmoni, di mana perbedaan bukanlah tembok pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan.

Peran Para Guanxi

Dampak aksi boikot para guanxi terasa begitu nyata pasca-kerusuhan Mei 1998. Ratusan triliun rupiah dana segar milik para taipan—yang sebagian besar adalah keturunan Tionghoa—mengalir keluar dari Indonesia. Gelombang modal yang hengkang ini semakin memperparah keterpurukan ekonomi yang sudah lebih dulu terpuruk sejak krisis 1997.

Pelarian modal (capital flight) ini membawa dana-dana besar ke Singapura, Hong Kong, Taiwan, hingga Republik Rakyat China (RRC). Keputusan itu bukan sekadar langkah proteksi diri akibat situasi yang tidak menentu di Indonesia, tetapi juga bentuk protes diam-diam terhadap dugaan praktik ethnic cleansing yang dirasakan oleh kaum minoritas saat Tragedi Mei 1998.

Akibatnya, dana segar tersebut menumpuk di Singapura, memberikan para guanxi kekuatan untuk mengguncang nilai tukar rupiah. Dengan mudah, mereka "mengaduk-aduk" pasar keuangan, menyebabkan rupiah semakin terpuruk terhadap dolar AS. Peristiwa ini menjadi pengingat betapa kuatnya jaringan guanxi di dunia bisnis dan ekonomi global. Sekaligus, ini menjadi peringatan bagi Indonesia agar tidak lagi meremehkan peran etnis Tionghoa di negeri ini.

Masih segar dalam ingatan kita, usai tragedi Mei 1998, Gus Dur—saat itu menjabat sebagai Ketua PBNU—dengan lantang menyerukan kepada para keturunan Tionghoa yang telah meninggalkan Indonesia agar kembali ke tanah air. Ia menjamin keselamatan mereka dan mengimbau masyarakat pribumi untuk menerima mereka dengan tangan terbuka.

Seruan rekonsiliasi nasional yang sejak lama didengungkan Gus Dur semakin menemukan bentuk nyata ketika ia terpilih sebagai presiden. Untuk membangkitkan kembali ekonomi nasional, langkah pertamanya adalah merangkul kembali para pemilik modal agar bersedia berinvestasi di Indonesia.

Gus Dur memahami bahwa sebuah pemerintahan yang tidak mendiskriminasi berdasarkan ras akan menciptakan rasa aman bagi para guanxi untuk kembali menanamkan modal di negeri ini. Oleh karena itu, lawatan pertamanya ke China bukan sekadar perjalanan diplomatik, melainkan langkah strategis untuk membangun kembali kepercayaan para pemodal.

Dan waktu pun membuktikan, Gus Dur yang sering dianggap nyeleneh ternyata adalah seorang visioner. Butuh satu dekade bagi banyak orang untuk benar-benar menyadari betapa tajam pandangannya. Ia bukan hanya seorang pemimpin, tetapi juga seorang perintis jalan bagi Indonesia menuju era baru dalam hubungan ekonomi global.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar