Dozer dan Debu Arwah di Mentonyek | Cerpen Felicia Tesalonika
Warga Mentonyek mempertahankan halaman dan rumah mereka dari HGU perusahaan sawit by AI.
Raungan logam dari mesin buldoser membelah subuh.
Warga Mentonyek yang baru saja menjerang kopi, menampik kantuk dari kelopak, sontak lari berhamburan. Bukan untuk menyambut tamu, tapi menahan amarah yang sudah mendidih.
Pagi itu, warga bangun lebih cepat dari ayam. Tapi bukan karena matahari. Melainkan karena suara.
RRAAAAAUUUUUUMMMM!!
Bunyi yang bukan suara burung. Bukan air sungai. Tapi seperti iblis masuk lewat punggung bumi.
Tiga traktor, satu niat: menghilangkan rumah dari peta.
Lasih melompat dari tempat tidur dan memaki dalam bahasa yang bahkan Tuhan pun mungkin malu mendengar.
Langi berlari tanpa baju.
Anak-anak menangis.
Seekor anjing melolong, lalu lari ke semak.
Di tengah keributan itu, berdirilah Apung.
Apung—dulu tukang main layang-layang. Sekarang, tukang gusur halaman orang.
Dibantu dua kawannya, Roni dan Tohir. Semua dari kampung tetangga. Dulu mereka datang untuk jualan jagung rebus. Sekarang datang bawa dokumen dan senyum palsu.
"Apaan ini!?"
Teriak Lasih. Rambutnya berkibar seperti bendera perang.
Apung mengangkat tangan, seolah bisa menghentikan gempa.
"Sabar, Bu Lasih. Ini tanah sudah HGU. Sudah resmi. Sudah milik perusahaan."
"Waktu siapa jual?! Kami bahkan tidak pernah menandatangani apa-apa!"
Roni mengangkat map plastik. "Surat lengkap. Legalitas jelas."
"Legalitas siapa?" tanya Langi pelan.
"Kalau tanah bisa diambil dengan kertas, kenapa kami lahir dengan tanah ini menempel di ari-ari kami?"
Suara warga semakin keras.
Tangan mengepal. Emosi menyala.
Dan ketika traktor mulai menyentuh tanah pekarangan tempat tulang-belulang nenek mereka dikubur—pecahlah semuanya.
Apung dipukul. Roni dikejar. Tohir nyaris dipeluk kawat berduri.
Mereka lari.
Meninggalkan traktor yang tetap meraung—seperti tak tahu diri. Seperti monster yang baru bangkit dari tidur panjang dan lapar akan rumah.
***
Malamnya, Mentonyek senyap. Tapi udara berubah. Tidak seperti biasa.
Lebih berat. Lebih dingin. Lebih... tua.
Dan jauh di kota, di gedung tinggi penuh lampu, seorang manajer bernama Pak Yuda mimpi buruk. Ia melihat perempuan tua membawa obor berdiri di ruang tamunya.
Perempuan itu tidak berkata apa-apa. Tapi matanya seperti mengandung musim kemarau selama seribu tahun.
Besoknya, Pak Yuda muntah paku.
Paku. Bukan metafora. Bukan imajinasi.
Paku. Satu per satu keluar dari mulutnya. Saksi: dua staf.
***
Hari ketiga, sekretarisnya kesurupan di lift.
"Tolong... jangan ambil rumah kami... jangan tanam sawit di atas tulang anakku..."
Katanya sambil meremas kabel telepon.
Hari kelima, engineer perusahaan mendadak bersyair di rapat:
"Tanah ini bukan milikmu, Pak. Ini tanah ibuku. Ini rahimku. Ini darahku."
Dan kamera CCTV merekam traktor yang bergerak sendiri tengah malam.
Mundur. Maju. Mundur.
Lalu mati.
***
Di Mentonyek, warga tak menangis. Mereka tahu: ini bukan perang biasa.
Ini bukan tentang dokumen. Tapi tentang arwah.
Tentang pohon yang pernah dipeluk. Tentang batu tempat mengasah parang.
Tentang darah yang ditumpahkan waktu melahirkan dan waktu dimakamkan.
Maka mereka gelar tikar.
Mereka undang roh-roh.
Mereka bakar dupa, mereka bacakan mantra.
Tidak untuk menyerang. Tapi untuk memanggil yang lama terlupa:
Ingatan.
Dan malam itu, seluruh pejabat perusahaan bermimpi hal yang sama:
Seorang anak kecil duduk di atas pohon durian sambil berkata,
"Jika kalian tidak pergi, kami akan tinggal di dalam tubuh kalian."
***
Seminggu kemudian, kantor ditutup.
Manajer pulang kampung. Traktor ditinggal.
Tapi satu orang tak pernah kembali: Apung.
Ia hilang. Entah ke mana.
Ada yang bilang, ia tinggal di hutan, tanpa baju, tanpa suara.
Ada juga yang bilang, ia jadi burung yang tiap malam terbang di atas Mentonyek—berkicau seperti manusia.
Dan di halaman rumah Lasih, tumbuh bunga merah yang tidak pernah ada sebelumnya.
Bunganya harum. Tapi tidak bisa dipetik.
Karena tiap kali kau coba, kau akan mendengar suara traktor meraung dari balik tanah.
***
Mentonyek kini sunyi. Tapi sunyi yang kuat.
Warga kembali tanam padi, pisang, cerita.
Dan jika kau ke sana, jangan tanya tentang traktor.
Tanya saja tentang tanah.
Karena di sana, tanah bukan benda.
Tanah adalah jiwa.
Dan siapa yang berani menggusur jiwa?
Pontianak, 13 April 2025