Tulah | Cerpen Mariana de Santos
Tulah mengambil paksa Tanah Dayak by AI.
“Tanah itu sudah kami beli, Pak,” kata lelaki berdasi sambil menaruh map biru di atas meja kayu yang agak goyah. “Lengkap dengan tanda tangan.”
“Saya tidak pernah tanda tangan,” sahut Tabong, kepala kampung, sambil mengunyah sirih.
“Bukan Bapak. Tapi negara.”
Tabong menghela napas panjang, lalu menatap daun sirih di tangannya. “Negara itu siapa ya, kalau boleh saya tanya? Jangan-jangan dia cuma stempel di kertas, bukan orang.”
“Negara ya negara! Jangan berfilsafat, Pak! Ini urusan hukum.”
Tabong menyeringai. “Hukum siapa dulu? Kalau hukum tanah, kalian sudah kalah sebelum mulai.”
Lelaki berdasi menahan marah. Urat di lehernya mencuat seperti akar beringin. “Bapak mau melawan hukum negara?”
“Saya tidak melawan siapa-siapa,” Tabong mengangkat bahu. “Saya cuma dengar suara tanah.”
“Tanah tidak bisa bicara!”
“Makanya, dia kirim tulah.”
Tiga hari kemudian, kepala keamanan perusahaan, Bang Ujang, muntah paku.
Tiga belas biji. Panjang-panjang. Berkarat. Ada satu yang keluar bersama suara sendawa.
Dokter di klinik perusahaan panik. “Ini aneh. Ini harus dirujuk ke kota!”
Tapi Bang Ujang sudah menggigil. “Saya... mimpi ada orang tua pakai topi burung enggang... dia bilang jangan jaga tanah yang tidak mau dijaga...”
“Siapa itu?” tanya perawat.
“Tahu-tahu dia meludah ke saya, dan paku keluar dari telinga saya. Tapi saya nggak punya telinga...”
“Ngaco!”
“Ya! Itu dia... ngaco semua!”
Besoknya, ekskavator mogok. Operatornya pingsan. Katanya, waktu dia masuk kabin, dia merasa lantai kabin jadi lumpur, lalu ada tangan meraba betisnya.
“Tangan siapa?”
“Tanah... tangan tanah!”
“Tanah tidak punya tangan!”
“Tapi dia marah!”
Di kampung, orang ramai. Anak-anak tertawa. Orang dewasa mengiris babi. Ada yang menabuh gong. Di pinggir sungai, Tabong berdiri diam, lalu menunduk dan mencium tanah.
“Maaf,” katanya pelan. “Saya tadi lewat tidak permisi.”
Seorang pemuda dari kota yang baru turun dari sepeda motor tertawa kecil.
“Wah, sakral betul ya, Pak?”
“Bukan sakral,” kata Tabong sambil meludah. “Ini cinta.”
***
Malam itu, petinggi dari kota datang. Naik mobil Fortuner. Badannya harum, bajunya licin, bibirnya sempit.
“Bapak Tabong,” katanya. “Kami ingin berdialog.”
“Silakan. Tapi jangan di atas tanah. Duduk di bangku gantung.”
“Kenapa?”
“Biar kalian tidak menekan dia lagi.”
Dialog berlangsung. Petinggi marah. Karena tiap kali ia bicara, kursinya bergerak sendiri, seperti didorong angin. Kadang ke kiri, kadang ke belakang, kadang menghadap pohon.
“Ini sabotase!”
“Bukan,” kata Tabong tenang. “Tanah tidak suka dibohongi.”
Lima hari kemudian, helikopter yang membawa tiga petinggi perusahaan jatuh pelan-pelan seperti daun pisang gugur. Tidak meledak. Tidak terbakar. Tapi begitu menyentuh tanah, semua isinya... bisu.
Totally bisu.
Tidak bisa berkata apa-apa, bahkan untuk minta minum.
***
Tabong datang ke lokasi. Ia jongkok. Mencolek tanah dengan jari manis.
“Maafkan mereka,” katanya.
Angin bertiup. Tapi cuma di sekitar dia. Pohon-pohon melambai. Seekor elang melintas, lalu buang kotoran tepat di atas helm proyek yang teronggok.
“Dia belum mau,” gumam Tabong.
Sementara itu, di basecamp perusahaan, ada yang lebih aneh.
Semua CCTV mati, tapi setiap malam muncul rekaman baru:
Seorang nenek telanjang berjalan pelan, menabur garam, sambil berteriak:
“Biar asin hidupmu, karena kau hambar pada tanah!”
Security resign satu per satu. Satu kabur ke Pontianak dan buka warung nasi. Satu jadi pendeta mendadak. Satu lagi masuk rumah sakit jiwa sambil teriak-teriak, “TANAH INI BISA KETAWA!”
Manager proyek frustasi. Ia buka Alkitab. Buka kitab Tao. Buka peta. Tapi semua jawabannya sama:
“Jangan injak tanah yang tidak sudi diinjak.”
Akhirnya, mereka angkat kaki. Pulang. Tanpa pamit. Tanpa seremoni. Mereka tinggalkan papan nama proyek, ekskavator mati, helm proyek yang kini jadi tempat ayam bertelur.
***
Di kampung, anak-anak kembali menanam padi. Ibu-ibu menenun. Para lelaki memperbaiki rumah betang. Dan Pak Tabong… tetap mengunyah sirih.
Kadang kalau malam, ia bicara sendiri. Atau mungkin tidak sendiri. Karena suara jawaban kadang terdengar dari tanah.
Pelan. Dalam. Tua.
Dan kalau kau lewat kampung itu malam hari, jangan nyanyi sembarangan. Karena kadang, dari balik pohon, ada yang ikut menyanyi...
“La la laaa... tanah kami tidak dijual... siapa maksa, bisa gila....”
Pontianak, April 2025