Mei Siang | Cerpen Masri Sareb Putra

Cerpen, Mei Siang, Girang, Tionghoa, Dayak, kafe

 

Mei Siang dan cintanya yang tulus by AI.

Mei Siang selalu tersenyum. Itu sudah menjadi bagian dari dirinya, bukan hanya kebiasaan, tetapi semacam kewajiban. 

Ia tidak pernah bertanya kenapa ia harus tersenyum, mungkin karena sudah terbiasa, mungkin juga karena senyuman itu bisa menenangkan hati yang gelisah. Tidak ada yang tahu persis apa yang ada di dalam pikirannya. Tidak ada yang tahu, karena senyum itu selalu menutupi semua.

Di Singkawang, kafe itu milik Girang. Girang tidak pernah peduli dengan bagaimana kafe itu dilihat orang. Sebuah kafe kecil, dengan meja dan kursi yang biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari tempat ini, kecuali Mei Siang. Ia bekerja di sana. Ia bukan pemilik, ia bukan manajer, ia hanya kasir. Tapi lebih dari itu, ia adalah nyawa tempat ini. Tanpa Mei Siang, kafe itu hanya sebuah ruangan tanpa makna.

"Mei Siang, kenapa kamu selalu senyum?" Girang bertanya, satu-satunya pertanyaan yang tak pernah terjawab.

Mei Siang hanya tersenyum, mengalihkan pandangannya ke luar jendela, ke arah orang-orang yang sibuk lewat. "Biar mereka tidak tahu apa yang sedang kita rasakan, Girang. Dunia tidak perlu tahu."

Girang mengangguk, entah paham atau tidak. Bagi Girang, dunia ini adalah tentang bertahan, bukan tentang menjelaskan. Dia tahu, Mei Siang memilihnya. Tetapi pilihan itu membawa mereka pada dunia yang tidak ingin diterima oleh banyak orang. Tidak oleh ayah Mei Siang, yang telah lama mengatur segala urusan keluarga, dan tidak juga oleh mereka yang selalu memperlakukan mereka seperti dua benda asing yang tidak seharusnya saling mendekat.

Ayah Mei Siang pernah datang, suatu hari, ke Singkawang. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada pertanyaan soal bagaimana mereka hidup, tidak ada sapaan. Hanya tatapan tajam yang menembus segala hal yang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. "Kamu tidak bisa hidup seperti ini, Mei Siang," kata ayahnya dengan suara berat, seperti batu yang jatuh ke tanah. "Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau ini terus berlanjut."

Mei Siang hanya menunduk, seperti biasa. Tetapi hatinya mulai bergejolak. Girang tidak bisa mengerti. Girang tidak pernah tahu, bagaimana rasanya menjadi anak perempuan yang selalu berada di bawah bayang-bayang keluarga yang besar, di bawah harapan-harapan yang membebani.

"Aku harus pergi, Girang," kata Mei Siang suatu malam, suara itu tipis, hampir hilang. "Aku tidak bisa melawan ayahku terus-menerus."

Girang menatapnya lama. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia tidak ingin mengakui. Tidak ingin berkata bahwa mereka harus berpisah. Kafe ini, semuanya, adalah dunia kecil mereka. Ini adalah tempat di mana mereka bisa merasa bebas—meski hanya untuk sejenak.

"Tapi kamu tetap di sini, kan?" Girang berkata, dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya. Bukan hanya kata-kata, tetapi sebuah harapan yang terbungkus rapat.

Mei Siang hanya tersenyum. Senyuman itu adalah jawabannya, seperti biasanya.

Hari itu, ayah Mei Siang datang lagi. Tanpa pemberitahuan. Tanpa ampun. Kali ini, dia tidak datang sendiri. Dia datang bersama seorang laki-laki, yang katanya bisa membantu Mei Siang kembali ke jalan yang benar. Laki-laki itu memakai jas, wajahnya rapi. Berbeda dengan Girang, yang selalu terlihat sederhana, bahkan ceroboh.

"Kamu kembali dengan kami," kata ayah Mei Siang dengan suara yang lebih lembut, seolah ia sudah mempersiapkan semuanya. "Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu tidak kembali ke keluarga."

Mei Siang berdiri, berjalan perlahan ke pintu kafe, lalu berhenti sejenak di ambang pintu. Ia tidak menoleh ke belakang. Tidak menatap Girang. Ia hanya merasa berat—berat sekali—untuk kembali ke rumah yang tidak pernah mengerti dirinya.

Girang berdiri di sana, menatapnya, kosong. Ia tidak bisa menangis, tidak bisa berteriak, tidak bisa apa-apa. Kafe itu tetap ada, meja dan kursi itu tetap sama, tetapi rasanya seperti dunia yang hilang. Mei Siang melangkah keluar, dan semua yang pernah mereka bangun bersama terlepas begitu saja.

“Girang, apakah kamu yakin dengan semua ini?” suara Mei Siang terdengar samar di luar.

Girang mendekat, mengambil langkah demi langkah yang tidak pasti. Ia ingin mengejarnya, tapi ia tahu, kali ini, tak ada yang bisa menghentikan langkah Mei Siang. Senyum itu yang selalu jadi pelindungnya, kini tidak ada lagi.

Kafe itu tetap ada, meski tanpanya. Tetapi tidak ada lagi senyum di belakang kasir, tidak ada lagi tawa ringan di antara pelanggan. Hanya ruang kosong yang mengisi tempat yang dulu penuh cerita.

“Mei Siang,” Girang berkata perlahan, seolah mencoba mencari jejak yang hilang, “kenapa tidak bisa kita tetap bersama?”

Tak ada jawaban. Mei Siang sudah pergi. Mungkin untuk mencari jawaban yang lebih pasti dari dunia yang tidak mengerti mereka. Mungkin untuk mencari diri yang lebih utuh, yang tidak harus tersenyum untuk menutupi rasa sakit.

Di Singkawang, ada kafe kecil yang masih berdiri. Di meja kayu yang usang, tempat duduk yang masih sama, Girang duduk sendiri. Ia memandangi secangkir kopi, senyumnya hilang, entah ke mana.

Jakarta, 14 April 2025

LihatTutupKomentar