Kabut Hitam Tebal di Atas Sungai Utik | Cerpen Masri Sareb Putra
Tanah ibu tahu niat siapa saja tamu yang datang ke dalam pelukannya by AI. |
Menteri Kehutanan tiba di Bandara Supadio, Pontianak, tanpa seremoni.
Salah satu dari mereka—berambut licin dan berlidah licin pula—tersenyum lebar. “Selamat datang, Pak Menteri. Maaf kalau sambutannya... sederhana.”
Baca Rahasia Ruang Pengakuan Dosa | Cerpen Masri Sareb Putra
Menteri mengangguk. Matanya sempat menoleh pada mobil SUV hitam yang diparkir miring di luar gedung bandara. Bagasinya terbuka. Di dalamnya: sebuah peti kayu. Ukiran motif bunga terong dan kepala burung enggang menghiasi sisinya. Indah. Tapi berat. Terlalu berat untuk hanya sekadar suvenir penyambutan.
“Apa ini?” tanya Menteri, mendekat.
“Maaf, Pak. Bukan oleh-oleh. Ini... pengantar niat baik. Dua bulan lalu kami bawa peti ini ke Sungai Utik. Isinya dolar Amerika. Tapi mereka... menolak mentah-mentah. Ketua adatnya keras kepala. Katanya, tanah itu bukan untuk dijual. Peti bahkan tak disentuh. Tak dibuka. Kami kira, mungkin Bapak yang bisa membujuknya.”
Menteri diam. Menepuk peti itu pelan. Ada sesuatu yang aneh—seolah kayu tua itu berdenyut seperti makhluk hidup.
“Sungai Utik itu... wilayah adat, ya?”
“Ya, Pak. Mereka kuasai hutan 9.999 hektar. Subur. Basah. Penuh cadangan karbon dan potensi sawit. Tapi mereka alergi pada ‘sawit’,” kata pria berkacamata itu, menekankan kata 'sawit'.
Menteri terkekeh kecil. “Anti sawit?”
“Mereka menyebutnya tanah ibu. Hutan leluhur. Tidak boleh dilukai. Tapi kami yakin, dengan pendekatan ‘spiritual’... lewat Bapak... mereka bisa luluh.”
***
Dua bulan sebelumnya, tiga orang utusan dari perusahaan datang ke rumah panjang Sungai Utik. Mereka membawa peti yang sama, hanya lebih baru mengilap. Beratnya menggoyang lantai kayu. Mereka meletakkannya dengan hati-hati di hadapan Apai Janggut, ketua adat tua yang rambut dan jenggotnya sudah seputih kabut pagi.
“Kami membawa itikad baik,” kata salah satu dari mereka.
Tapi Apai Janggut hanya menatap mereka, lalu menatap peti itu.
Ia tidak menyentuhnya. Tidak mendekat. Bahkan tidak memerintah orang membukanya.
Baca Dozer dan Debu Arwah di Mentonyek | Cerpen Felicia Tesalonika
“Kami tidak menerima uang sogokan,” katanya tenang, “terlebih yang disimpan dalam peti kematian.”
Utusan perusahaan saling pandang. Salah satunya berkata lirih, “Kami hanya ingin membangun, Bapak. Sekolah, jalan, klinik...”
“Kami sudah punya semuanya. Tanpa harus menumbalkan hutan,” jawab Apai.
Lalu ia berkata pada para pemuda, “Bakar kemenyan. Peti itu bukan untuk kita. Biarkan di situ. Nanti akan datang sendiri pemiliknya.”
Mereka meninggalkan peti itu di sudut rumah panjang selama tujuh malam. Tak tersentuh. Tapi anehnya, uang dalam peti berubah. Dari dolar Amerika menjadi dolar Singapura. Bahkan bertambah. Seolah beranak. Entah dari mana.
***
Kini peti itu dibawa lagi. Peti yang sama. Tapi lebih berat. Lebih dingin. Menteri melihatnya, tapi tidak menyentuhnya lagi. Ia hanya berkata: “Besok pagi kita ke sana.”
***
Helikopter hitam mengangkat Menteri dan rombongan ke udara. Cuaca cerah. Langit biru. Awan tipis seperti kapas. Pilot tersenyum—sudah sering ke pedalaman. Tapi baru 40 menit terbang ke arah timur laut, semuanya berubah.
Kabut naik dari hutan seperti napas raksasa. Menyelimuti heli. Panel mulai goyah. Kompas berputar. Sinyal GPS mati. Pandangan lenyap total.
“Tidak bisa lihat ke bawah, Pak!” jerit pilot. “Atas gelap! Kanan... putih semua!”
Helikopter bergetar. Angin meliuk seperti ular hutan. Hujan deras turun mendadak. Lalu badai.
Suara menteri nyaris tak terdengar: “Putar balik.”
Pilot menggertakkan gigi. Perlahan, heli berbalik. Kembali ke Pontianak. Begitu keluar dari kabut, cuaca kembali jernih. Seolah badai hanya milik tanah Sungai Utik.
***
Di ruang VIP Bandara, Menteri duduk diam. Peti diletakkan di lantai. Masih utuh. Tapi makin berat.
“Kami gagal, Pak,” gumam salah satu utusan perusahaan.
Menteri melirik. “Bukan kita yang gagal.”
“Lalu siapa?”
Menteri berdiri. “Tanah itu... mengenal niat. Dan niat kita salah.”
Utusan perusahaan saling pandang.
“Tapi peti ini... berubah sendiri, Pak. Dulu isinya dolar Amerika. Lalu jadi dolar Singapura. Sekarang ada batangan emas kecil.”
Menteri tak menjawab. Ia berjalan meninggalkan ruangan. Peti tetap di sana. Sendirian.
Malam itu....
Petugas bandara yang lembur mengaku melihat peti itu bernapas. Ada embun keluar dari sela tutupnya. Saat diperiksa pagi harinya, uang di dalam berubah lagi. Bukan dolar. Tapi lembaran tua dari zaman Kolonial. Dengan gambar burung enggang dan wajah Dayak berselendang.
***
Sungai Utik tetap sunyi.
Hutan tetap hijau. Langitnya kadang berkabut, tapi selalu mengandung makna.
Tanah ibu tidak bisa disogok. Sepeti bisa beranak. Uang bisa berubah rupa. Tapi roh tanah tidak bisa dibeli. Ia punya lidahnya sendiri. Ia mengenali kaki mana yang datang untuk mencium bumi, dan kaki mana yang datang untuk menyayatnya.
Baca Tulah | Cerpen Mariana de Santos
Dan selama itu masih hidup, helikopter sehebat apa pun, tak akan bisa menembus kabutnya.
Sekadau, Mei 2022