Helikopter di Atas Sungai Utik | Cerpen Masri Sareb Putra

Sungai Utik, Apai Janggut, tanah adat, tanah ulayat, ibu, sawit, perusaahaan, Jakarta, mencaplok,

Helikopter di Atas Sungai Utik | Cerpen Masri Sareb Putra
Helikopter itu melayang-layang seperti serangga bingung di atas Sungai Utik by AI.

Helikopter itu melayang-layang seperti serangga bingung di atas Sungai Utik.

Berputar-putar tanpa arah pasti. Bilah rotornya mengiris kabut yang menebal, tapi tak sanggup menembus keheningan yang terasa lebih pekat dari udara itu sendiri. 

Di bawahnya, hutan tropis memadat bagai lautan hijau tak bertepi: berlapis, bertingkat, tak bersuara. 

Tak ada jalan setapak. Tak ada celah. Hanya riak sungai, akar-akar yang merambat liar, dan kabut putih seperti napas leluhur yang belum selesai berbicara.

“Kenapa GPS kita muter-muter terus?” seru salah satu teknisi. “Sinyalnya kuat, tapi posisinya kayak diputar ulang!”

Pilot menggigit bibirnya. Tangannya mencoba menstabilkan tuas kemudi, tapi helikopter justru bergoyang—bukan karena angin, tapi seperti ditolak oleh udara itu sendiri. Panel elektronik berkedip tak beraturan. Kompas terus berputar. Mesin meraung lebih keras, seperti menolak untuk melangkah lebih jauh.

Baca juga Kabut Hitam Tebal di Atas Sungai Utik | Cerpen Masri Sareb Putra

Di kursi sebelah, pria berkemeja putih menyemprotkan parfum ke pergelangan tangan. Wangi tajam itu menyebar di dalam kabin, bersaing dengan aroma plastik dan logam panas. Ia adalah pengusaha properti dari ibu kota. Mukanya mengkilap oleh ambisi. Tangannya menggenggam map berisi gambar resor, dermaga, dan rencana zona ekonomi baru.

“Kita dirikan resort mewah di sini,” katanya ringan. “Danau ini, lihat dari citra satelit, bisa jadi pusat wisata. Vila-vila apung. Panggung budaya. Bandara kecil di pinggir sungai. Bayangkan, turis datang tiap bulan. Kita rekrut orang Dayak jadi penjaga. Gampang.”

Teknisi tertawa kecil, lalu kembali menekuri layar. Satu lagi menyetel ulang sensor arah, tapi hasilnya nihil. Cuaca di luar tetap cerah, tapi tekanan udara di dalam kabin mulai menyesakkan. Helikopter terus berputar. Lingkaran. Lagi dan lagi.

Pilot mengernyit. Ada sesuatu yang tidak ia pahami. Tapi tubuhnya tahu. Ia teringat cerita dari neneknya tentang hutan yang tidak hanya hidup, tapi juga memilih. Tentang sungai yang tidak bisa diarungi sembarangan. Tentang suara burung hantu yang bukan pertanda kematian, tapi peringatan. Dan tentang tulah yang tidak datang dengan bunyi petir, tapi seperti kabut yang melekat, diam-diam, pelan-pelan.

Baca juga Dozer dan Debu Arwah di Mentonyek | Cerpen Felicia Tesalonika

Tiba-tiba dari balik kabut, muncullah perahu kayu. Melaju tenang, menentang arus, seperti tidak menyentuh air. Di atasnya berdiri seorang lelaki tua—berikat kepala merah, dada telanjang, membawa tongkat kayu berukir yang tampak lebih tua dari dirinya sendiri.

Apai Janggut.

Ia hanya menunjuk. Sekali. Ke arah helikopter. Bukan ancaman. Bukan kemarahan. Tapi seperti isyarat dari sebuah hukum yang tak tertulis. Seperti suara yang tak berbunyi tapi menggetarkan hati.

“Turunkan! Kita mendarat saja sekarang,” kata pengusaha. “Orang ini bisa kita dekati. Kalau perlu, kita bayar kepala adatnya. Semua bisa diatur. Yang penting, tanahnya kita amankan dulu.”

Dengan susah payah, helikopter diturunkan ke lapangan kecil yang terbuka di pinggir desa. Rotor masih bergetar, mesin berdecit panjang. Saat mereka membuka pintu, udara lembap masuk. Tapi juga rasa—seperti seseorang sedang mengawasi mereka dari balik pohon.

Warga desa menyambut dengan tenang. Kepala adat datang membawa sirih pinang, mempersilakan duduk. Tidak ada amarah. Tidak ada teriakan. Tapi dari cara mereka menatap, dari cara mereka diam, dari cara mereka mendengarkan tanpa memotong—ada sesuatu yang lebih tegas dari penolakan.

Namun si pengusaha tak peduli. Ia bicara cepat. Tentang peluang, kerja sama, nilai tukar, peningkatan ekonomi desa. Ia keluarkan peta, dokumen, proposal. Ia beri lembaran uang sebagai tanda awal. Ia minta tanda tangan.

Tapi tanah tidak butuh tanda tangan. Tanah butuh pengakuan.

Hari-hari berganti. Alat berat mulai berdatangan. Jalan dibuka. Hutan dibelah. Bunyi mesin menggantikan suara burung. Sungai menjadi keruh. Udara menjadi berat. Anak-anak muda mulai bekerja di proyek, membawa pulang upah, membawa pulang bimbang.

Dan malam itu, semuanya berubah.

Langit menghitam tiba-tiba. Angin datang bukan dari satu arah, tapi dari segala penjuru. Petir menyambar, bukan menyala, tapi berdentum seperti tabuhan gendang perang. Alat berat rusak satu per satu. Bulldozer ambruk, ekskavator tenggelam dalam lumpur yang menggeliat seperti makhluk hidup. Suara besi retak terdengar seperti erangan makhluk yang tak tampak.

Apai Janggut berdiri lagi di tepi sungai. Kali ini, ia tidak sendiri. Di belakangnya, para tetua adat berdiri sejajar. Mereka tidak bawa senjata. Mereka tidak mengangkat suara. Tapi tanah di bawah kaki mereka bergetar. Pohon-pohon tua membungkuk seperti ikut menyimak. Kabut turun seperti tirai.

Baca juga Rahasia Ruang Pengakuan Dosa | Cerpen Masri Sareb Putra

Helikopter coba dinyalakan. Tapi mesin menolak. Bensin ada, tapi baling-baling tak mau bergerak. Kompas kembali berputar. GPS menunjuk arah yang berubah tiap menit.

Pengusaha itu bermimpi malamnya. Dalam mimpinya, tujuh sosok tua datang. Mereka berdiri mengelilingi ranjangnya. Mereka tidak bicara panjang. Mereka hanya menatap. Mata mereka dalam dan hitam. Seperti melihat ke dalam dirinya, ke dalam niatnya, ke dalam sejarahnya.

Dan mereka semua berkata hal yang sama:

“Kau telah mengambil yang bukan milikmu.”

Keesokan harinya, pria itu hilang. Tidak ada yang tahu ke mana. Tidak ada jejak. Hanya map yang terbuka di atas meja bambu, dengan peta yang sudah basah dan tak bisa dibaca lagi. Helikopter pun tetap teronggok di lapangan, sunyi, tak bisa bergerak. Seolah ditahan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Sungai Utik tetap mengalir. Hutan tetap hidup. Orang Dayak tetap menjaga. Dengan sabar. Dengan kasih. Dengan belarasa.

Tapi jika cinta mereka ditolak, jika tanah leluhur dihina—mereka tidak sendiri.

Leluhur akan turun tangan.

Dan tanah ini akan melindungi dirinya sendiri.

Tangerang, 14 April 2025

LihatTutupKomentar