Tanah Dayak Yang Diserobot Paksa Perusahaan (akan) Menuntut Balasnya | Cerpen Masri Sareb Putra
Tanah Dayak yang diserobot paksa, akan menuntut balasnya by AI. |
Tangan kirinya gemetar. Mencengkram erat sebatang pohon sawit yang sudah rapuh.
Dulu, pohon-pohon ini adalah teman hidupnya. Tanah ini adalah darah dan dagingnya.
Tapi sekarang pohon-pohon itu hanya tinggal bayang-bayang. Sama seperti dirinya: hantu yang melayang di atas tanah yang tak lagi miliknya.
“Bunan, lihatlah. Mereka tidak hanya mengambil tanah kita,” Narung berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada anaknya yang berjalan di belakang.
Suaranya penuh amarah yang terpendam, “Mereka telah mengambil kita. Mereka memakan kita.”
Baca Helikopter di Atas Sungai Utik
Bunan berhenti, menatap ayahnya dengan mata yang kosong, lelah. Sudah terlalu lama mereka hidup dalam bayang-bayang kebun sawit ini, jauh dari rumah mereka yang dulu. Tanah mereka. Ada yang hilang dalam diri mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar tanah. Sesuatu yang tak bisa digantikan oleh uang atau surat HGU.
Narung merasakan angin malam berbisik pelan, menghembuskan bau tanah yang lembab dan minyak sawit yang busuk. Ia teringat pada suara-suara yang hilang, suara-suara yang dulu meramaikan pagi dan malam di kampungnya.
Sekarang, hanya ada kesunyian. Bunyi mesin pemanen sawit yang menggiling mereka. Suara-suara yang menelan impian mereka, meremukkan segala kenangan.
“Apa yang terjadi pada mereka, Narung? Kenapa mereka begitu… begitu tega?” Bunan bertanya, suaranya penuh kebingungan. Ada sesuatu yang berubah dalam diri ayahnya, sesuatu yang lebih dari sekadar sakit hati.
Narung menatap kebun sawit yang terbentang tanpa batas. Di kejauhan, lampu-lampu perusahaan berkedip-kedip, seakan menertawakan mereka, menghina mereka. “Mereka itu bukan manusia lagi, Bunan. Mereka sudah jadi sesuatu yang lain. Seperti… seperti makhluk yang lupa akan asal-usulnya.”
Baca Kabut Hitam Tebal di Atas Sungai Utik | Cerpen Masri Sareb Putra
Dan saat itu, suara gemerisik terdengar. Sesuatu bergerak di antara batang-batang sawit. Narung menoleh, namun yang terlihat hanyalah gelap. Angin malam semakin kuat, menggerakkan daun-daun sawit seperti gerakan tangan yang tak kasat mata.
Narung merasa ada sesuatu yang mengawasi mereka. Sesuatu yang lebih tua dari kebun sawit ini, lebih tua dari tanah yang mereka injak.
“Tunggu, Bunan. Ada yang salah dengan semua ini,” Narung berkata dengan suara lebih pelan. “Mereka tidak hanya mengambil tanah kita. Mereka juga telah mengubah dunia ini, dunia kita. Dunia kita yang dulu hidup, yang dulu ada.”
Bunan merasa ketegangan itu mulai merayap ke dalam dirinya. Sesuatu yang gelap, yang tak terlihat, mulai mengisi udara. Ia mendengar langkah-langkah di belakangnya, namun ketika ia menoleh, tak ada siapa pun di sana. Hanya bayang-bayang yang bergerak aneh.
Mereka berjalan lebih dalam, menuju tempat yang dulu mereka sebut rumah. Namun kini, tempat itu hanya tinggal sebuah kenangan. Begitu banyak yang hilang—bukan hanya tanah, tetapi juga ruh mereka. Ketika mereka mendekat, Narung melihat sesuatu yang membuat hatinya berdetak cepat.
Di tengah kebun sawit itu, ada sebuah batu besar yang terbaring. Batu yang dulunya mereka sebut sebagai "batu penanda."
Batu yang selalu ada di sana, sejak nenek moyang mereka. Namun kini, batu itu tampak berbeda. Tampak seperti hidup. Narung merasa seperti mendengar bisikan dari dalam batu itu, bisikan yang merasuk ke dalam tubuhnya, menyentuh jiwanya.
Baca Dozer dan Debu Arwah di Mentonyek | Cerpen Felicia Tesalonika
“Bunan, lihat itu…” suara Narung serak. Ia terhuyung, hampir jatuh, namun ia tetap berusaha mendekat. Batu itu mulai memancarkan cahaya, cahaya yang tidak wajar, yang memancar dari celah-celahnya, seperti ada yang terperangkap di dalamnya.
Bunan menahan napas. “Apa itu, Ayah? Apa yang terjadi?”
Tiba-tiba, batu itu retak. Retakan itu terdengar seperti suara yang tak bisa dijelaskan, suara yang menggetarkan dunia mereka. Dari dalam batu, muncul bayangan—bayangan yang memancarkan cahaya merah. Bayangan itu bergerak, seperti wujud yang tak tampak dengan mata manusia.
“Dulu, kami menanam padi, menanam pohon. Dulu, kami tahu bagaimana cara hidup dengan tanah ini. Tapi mereka datang. Mereka datang dan mengusir kami, menjarah kami. Mengambil segala yang kami punya… Mengambil hidup kami!” Narung berteriak, suaranya membelah malam yang hening.
Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Gemuruh terdengar, seperti suara tanah yang meraung. Kebun sawit di sekitar mereka bergetar, batang-batang sawit bergoyang, dan lampu-lampu perusahaan yang jauh di ujung kebun tiba-tiba mati. Ada keheningan yang aneh. Narung merasakan sesuatu yang tak terjelaskan.
Di ruang makan perusahaan, para manajer duduk dengan diam. Mereka tak bergerak, hanya menatap piring-piring kosong di depan mereka. Makanan tak pernah tersentuh. Mereka mendengar suara-suara yang tidak bisa mereka jelaskan—suara batu yang berteriak, suara kebun yang menjerit. Mereka tak bisa menahan ketakutan yang tiba-tiba menyelimuti mereka.
Salah satu manajer, yang biasanya keras dan penuh percaya diri, kini tampak keringat dingin di dahinya. Matanya melotot, mulutnya bergerak-gerak, seperti berbicara pada sesuatu yang tak ada. "Sawit… sawit… lebih banyak sawit… lebih banyak duit…" ucapnya, suara yang tak wajar, tidak manusiawi.
Di sisi lain, seorang manajer lain mengunyah uang yang dia ambil dari meja, dengan wajah penuh kebingungan, seakan uang itu adalah makanan yang terakhir. Dan di sudut ruangan, seorang manajer muda dengan gigi gemeretak, mengunyah beberapa daun sawit mentah, seperti orang yang telah kehilangan nalar.
Sementara itu, di luar, Narung dan Bunan berdiri, menatap kebun sawit yang kini sepi. Semua itu berubah menjadi gelap. Mereka tahu, dunia ini tidak akan pernah sama lagi. Tanah yang mereka tinggalkan telah berubah menjadi sesuatu yang tak bisa mereka sentuh lagi. Dan batu itu, yang kini telah hancur, mengeluarkan suara yang terdengar seperti tawa—tawa yang mengerikan, tawa yang seakan menertawakan nasib mereka.
Di dalam kebun sawit itu, Narung dan Bunan tahu satu hal yang pasti: perusahaan itu sudah terjerat dalam kekuatan yang lebih besar, kekuatan yang mereka sendiri tidak bisa pahami.
***
Saat malam mulai menggulung kegelapan, di sebuah bandara kecil di Medan, seorang direktur perusahaan sawit yang baru saja tiba dengan pesawat, tampak terburu-buru berjalan menuju ruang pemeriksaan. Wajahnya tegang, matanya tampak tak bisa diam.
Sebuah tas besar tergantung di tangannya. Tas yang ia pegang dengan cemas, seakan itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar barang biasa.
Sesekali, sang direktur yang kepedean menatap ke arah pengunjung lain yang juga mengantri, seperti mereka tidak tahu rahasia kelam yang ia bawa pulang ke kampung halamannya di Marihat, Sumatera Utara.
Baca Tulah | Cerpen Mariana de Santos
Petugas bandara, seorang pria muda dengan ekspresi acuh tak acuh, mengarahkan pandangannya ke tas besar yang dipegang si direktur. Ada yang aneh dengan cara pria itu memegangi tas itu. "Apa isinya, Pak?" tanya petugas tersebut, sambil memindai tas besar itu dengan mata tajam. Suaranya terdengar biasa, namun ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan di dalamnya.
"Saya hanya membawa gaji setahun sebagai direktur perusahaan sawit di Sekadau," jawab si direktur dengan senyum kaku, mencoba terdengar santai meskipun hatinya berdegup kencang.
Petugas bandara itu mengangguk, tapi ada sesuatu yang menggelitik perasaannya.
“Boleh saya cek isi tasnya?” tanya petugas itu, suara semakin mantap meskipun ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan di dalam dada. Ia merasakan getaran, seperti ada sesuatu yang tak beres. Sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas pemeriksaan bagasi.
Si direktur, dengan raut wajah yang semakin tegang, mencoba menahan napas. Ia melihat petugas itu mulai membuka resleting tasnya, perlahan, seolah tak ingin membuka sesuatu yang terlarang.
Begitu tas itu terbuka, aroma yang aneh langsung menyergap udara, membuat beberapa orang di sekitarnya terhenti. Itu bukan aroma uang atau barang yang biasa dibawa oleh orang-orang kaya. Itu bau sesuatu yang lebih busuk, lebih mengerikan.
Petugas itu membuka tas lebih lebar, dan yang keluar dari dalamnya bukanlah tumpukan lembaran uang berwarna merah yang dibayangkan sebelumnya, tetapi lidah-lidah manusia.
Lidah-lidah yang terbungkus dalam plastik hitam, tergulung rapat-rapat, dan terikat dengan kawat.
Bau amis yang menusuk menyeruak keluar, menyesakkan dada dan membuat perut petugas itu mual. Lidah-lidah itu, dalam bentuk yang mengerikan, tergeletak begitu saja dalam tas yang besar itu, seolah-olah mereka adalah barang dagangan yang biasa, bukan bagian dari manusia.
Suasana di bandara itu seketika berubah. Semua orang terdiam. Mereka yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing kini terhenti, terpaku pada pemandangan yang tak mereka sangka akan mereka lihat. Petugas bandara itu memandang dengan mata terbelalak, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Ini… ini… apa maksudnya?" suara petugas itu tercekat, hampir tak bisa berkata-kata.
Si direktur itu, dengan wajah pucat pasi, mencoba mengatur napasnya. Ia berusaha menenangkan dirinya, namun rasanya seperti ada sesuatu yang tak bisa ia kontrol. “Itu… itu adalah… hadiah dari perusahaan,” katanya dengan suara gemetar, mencoba memberi penjelasan yang tak masuk akal. "Untuk… untuk yang membantu kami… di Sekadau."
Petugas bandara menatapnya lebih lama, mencoba mencari celah dalam penjelasan yang konyol itu. Ia mencoba mengingat peraturan yang berlaku, tetapi hatinya sudah dipenuhi dengan ketakutan. Ada sesuatu yang sangat salah di sini. Dan di saat yang sama, entah dari mana, rasa dingin mulai menyebar di udara, semakin terasa menjalar ke setiap sudut ruangan.
"Perusahaan sawit itu," si direktur melanjutkan, suara semakin terdengar parau, "mereka… mereka menginginkan lebih. Kami tidak hanya mengambil tanah. Kami mengambil… mereka." Ia berhenti sejenak, mencoba menghindari pandangan mata petugas yang semakin mencurigakan. "Kami harus… kami harus memberi mereka hadiah, hadiah dari hasil kerja keras kami."
Petugas itu, semakin bingung dan ketakutan, mengambil langkah mundur. “Hadiah… hadiah apa? Apa yang Anda bicarakan?” tanyanya, suaranya semakin bergetar.
Di balik suasana tegang itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang menggetarkan lantai. Seperti suara dari tanah yang menggeliat, atau seperti suara gempa yang perlahan menghampiri. Lidah-lidah manusia dalam tas itu mulai bergerak, menggerakkan diri mereka seakan hidup, menari-nari di dalam plastik hitam. Mata petugas yang menyaksikan itu mulai berkunang-kunang. Lidah-lidah itu bergerak seperti hidup, mengeluarkan suara aneh, suara seperti bisikan yang hanya bisa dirasakan di kedalaman jiwa.
Tiba-tiba, salah satu lidah itu terjulur keluar dari tas, seperti menarik dirinya menuju petugas yang kebingungan, dan kemudian… menghilang, secepat kilat. Semua orang yang menyaksikan ini terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dikatakan.
Si direktur itu, yang sudah kehilangan kendali atas dirinya, kini tampak seperti orang yang kerasukan. Wajahnya mengerut, matanya melotot, bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat tidak manusiawi. “Mereka… sudah mulai datang. Mereka sudah menginginkan lebih,” bisiknya, suaranya terpecah antara ketakutan dan kebingungannya sendiri.
Seakan tidak ingin ada yang menghalangi, tiba-tiba, seluruh isi tas itu terlempar ke luar, menciptakan pemandangan yang begitu suram, yang membuat semua orang di bandara itu terdiam ketakutan. Lidah-lidah itu, yang seakan berasal dari dunia lain, mulai bergerak seperti ular, merayap ke segala arah, mengendus, mencari sesuatu—mencari orang-orang yang bersalah.
Suara itu begitu dalam. Begitu penuh dengan kehancuran, dan Narung tahu —ia tidak bisa menghindar. Apa yang terjadi pada perusahaan sawit itu, pada para direktur yang berperan di baliknya, bukan hanya keserakahan semata. Mereka telah mengikat perjanjian dengan sesuatu yang lebih tua, sesuatu yang lebih gelap dari apa yang bisa dipahami manusia.
Petugas bandara itu mundur secepatnya, tanpa peduli lagi pada tugasnya. Begitu juga dengan penumpang lainnya yang lari keluar dari ruangan, tidak peduli dengan segala aturan. Semua orang tahu: malam itu, bandara itu bukan lagi tempat yang aman.
Ketika si direktur akhirnya keluar dari bandara, dia hanya tertawa terbahak-bahak, tawa yang terdengar tidak seperti manusia. Dalam gelap malam yang semakin menyelimuti, ada bisikan yang datang dari dalam dirinya: "Mereka akan datang, semua yang kami ambil, mereka akan datang. Tidak ada yang bisa melawan."
Dan di Marihat, jauh dari sana, tanah yang dulu mereka sebut milik mereka, kini hanya tinggal kenangan. Bayangan-bayangan kelam mulai terbangun, merayap perlahan ke atas tanah yang telah dijarah. Mereka yang dulu berusaha melarikan diri, kini hanya menunggu untuk kembali, menuntut harga dari para pemakan sawit dan uang.
***
Setelah peristiwa yang menegangkan di bandara, di mana tas berisi lidah manusia itu terungkap, malam di Sekadau terasa lebih kelam dari biasanya. Udara yang semula hangat kini penuh dengan hawa dingin yang aneh, merasuk ke setiap rumah, setiap sudut, setiap pohon kelapa sawit yang berdiri tegak seperti saksi bisu dari tragedi yang tak bisa terelakkan.
Bunyi ranting yang berdesir seakan berbisik kepada mereka yang tinggal di sekitar perkebunan sawit itu: "Tidak ada yang bisa lari dari kesalahan masa lalu."
Kehidupan di sekitar perkebunan sawit itu selalu diwarnai dengan rasa terjaga yang cemas, namun malam itu, kecemasan itu mencapai puncaknya. Seakan-akan, ada sesuatu yang mengintai di balik pohon-pohon kelapa sawit yang menjulang tinggi. Sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan alam, lebih dari sekadar akibat dari tindakan manusia.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Narung, yang masih teringat jelas akan peristiwa yang terjadi dua minggu lalu di rumah panjang, kini mulai merasakan kegelisahan yang semakin mendalam. Dia ingat bagaimana ibunya bercerita tentang tanah yang dulu mereka miliki, yang kini telah menjadi bagian dari HGU perusahaan sawit itu. Mereka telah dipaksa pindah, tidak diberi pilihan selain menerima kenyataan bahwa tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka telah diserobot begitu saja.
Sambil menatap ke arah ladang sawit yang tak terhitung jumlahnya, Narung merasa tanah itu bukan hanya tanah biasa. Tanah itu, entah bagaimana, seperti berdenyut, seperti ada sesuatu yang hidup, yang menunggu saatnya untuk bangkit.
Malam itu, ketika Narung duduk di beranda rumah panjang, dia mendengar suara aneh. Suara seperti bisikan yang datang dari arah ladang sawit, lembut namun penuh dengan ketegangan. Tiba-tiba, angin bertiup begitu kencang, membawa bau amis yang begitu kuat, seolah mengingatkan Narung pada apa yang telah terjadi di bandara Medan.
Suara bisikan itu semakin mendekat, mengelilingi rumah panjang, merasuki udara. Tanpa sadar, Narung terjatuh ke tanah, matanya terpejam rapat, dan dalam gelap yang semakin pekat, dia mendengar suara seperti desahan manusia, suara yang tidak bisa berasal dari makhluk hidup.
Ketika matanya terbuka, dia mendapati dirinya berada di tengah ladang sawit. Tanah di bawah kakinya terasa bergetar. Di kejauhan, dia melihat sosok-sosok yang tidak bisa ia kenali—makhluk-makhluk yang tampak seperti manusia, namun wajah mereka hancur, penuh dengan luka. Mereka berjalan perlahan menuju ladang sawit, seakan tahu apa yang akan terjadi.
Di antara mereka, ada seorang pria dengan jas hitam yang familiar—si direktur dari perusahaan sawit itu. Wajahnya terlihat bingung, matanya kosong, dan mulutnya terbuka lebar, seperti orang yang kerasukan. Lidahnya menjulur keluar, dan ia tersenyum, bukan senyum biasa, tapi senyum yang penuh dengan kegilaan. Suara bisikan itu kini menjadi lebih keras, lebih memanggil.
“Ada yang salah dengan ini semua,” pikir Narung, jantungnya berdebar kencang. "Mereka… mereka membayar harga yang terlalu tinggi."
Tiba-tiba, makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya mulai bergerak dengan cepat, seperti dikejar sesuatu yang tidak kasat mata. Mereka menuju ke arah ladang sawit dengan langkah terhuyung-huyung. Tanah di bawah mereka berguncang lebih keras, seperti ada yang menggerakkan bumi, menarik mereka ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Narung mencoba berdiri, tapi kakinya terasa kaku, tidak bisa bergerak.
Di depan matanya, tanah itu mulai terbuka, seperti sebuah mulut besar yang siap menelan. Dari dalam mulut tanah itu, keluar lidah-lidah manusia—lidah-lidah yang sebelumnya terkunci dalam tas di bandara. Mereka bergerak seperti ular, menjalar ke setiap penjuru, menuju ke arah manusia-manusia yang berjalan menuju ladang sawit.
Si direktur yang ada di antara mereka hanya berdiri, matanya kosong, lidahnya kini menggantung lebih panjang dari sebelumnya. Suara seperti dengungan datang dari dalam dirinya, seakan dia juga tidak lagi mengendalikan tubuhnya. Sebuah cahaya hitam yang kelam, lebih gelap dari malam, mulai merambat dari tubuhnya, menghisap segala kehidupan yang ada di sekitarnya.
“Tidak ada yang bisa selamat,” kata suara dalam hati Narung, seperti datang dari dalam tanah yang bergelora. "Tidak ada yang bisa lari."
Suara itu begitu dalam. Begitu penuh dengan kehancuran, dan Narung tahu —ia tidak bisa menghindar. Apa yang terjadi pada perusahaan sawit itu, pada para direktur yang berperan di baliknya, bukan hanya keserakahan semata. Mereka telah mengikat perjanjian dengan sesuatu yang lebih tua, sesuatu yang lebih gelap dari apa yang bisa dipahami manusia.
Tanah yang telah mereka serobot, tanah yang telah mereka rampas, bukan hanya milik mereka. Tanah itu adalah saksi bisu dari perjanjian yang terlupakan, perjanjian dengan kekuatan yang menginginkan lebih dari sekadar darah atau uang.
Perusahaan itu —manajemennya— telah terlena dalam permainan mereka. Mereka memakan sawit, mereka memakan uang, dan kini mereka juga mulai memakan jiwa.
Ketika waktu makan siang datang, di meja mereka bukan nasi dan ikan asin seperti yang biasa dimakan oleh orang-orang biasa. Mereka hanya makan kegilaan, makan bayangan dari apa yang telah mereka lakukan pada tanah, pada manusia, pada dunia ini.
Dan di bawah bayang-bayang HGU yang tak terhindarkan itu, para direktur yang telah makan jiwa mereka sendiri akhirnya terjatuh.
Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Tidak ada lagi yang bisa mereka makan, kecuali penderitaan yang telah mereka tanamkan pada setiap tanah yang mereka robek.
Jangkang, November 2024