Dayak dalam Bayang-Bayang Clash of Civilizations
Dayak dalam bayang-bayang Clash of Civilizations by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Dalam karyanya yang monumental The Clash of Civilizations, Samuel P. Huntington mengajukan satu tesis provokatif: konflik global di abad ke-21 tidak lagi didominasi oleh ideologi atau ekonomi, melainkan oleh benturan identitas budaya dan agama.
Dunia, menurut Huntington, telah terbelah ke dalam beberapa peradaban besar—Barat, Konfusian, Islam, Hindu, Ortodoks, Jepang, Amerika Latin, Afrika—masing-masing memiliki sistem nilai, sejarah, dan tafsir terhadap dunia yang berbeda.
Baca Samuel P. Huntington dan Nujum tentang Benturan Peradaban Dunia yang Menjadi Fakta
Dalam kerangka pemikiran ini, masyarakat Dayak tidak termasuk dalam peradaban besar mana pun yang disebutkan Huntington. Namun justru di titik inilah muncul pertanyaan penting: apakah orang Dayak tidak memiliki peradaban sendiri?
Identitas Dayak: Dari Suku ke Peradaban
Selama ini, "Dayak" lebih sering dipahami sebagai kategori etnis atau suku yang tersebar di pedalaman Borneo. Namun dalam dekade terakhir, terutama dengan munculnya istilah “Dayak as a standardized term: a unifying identity”, kita menyaksikan transformasi penting: dari identitas etnis yang terfragmentasi menjadi identitas peradaban yang menyatu.
Peradaban Dayak tidak dibangun di atas dogma agama universal ataupun sistem kekaisaran seperti peradaban besar lainnya, melainkan di atas keseimbangan dengan alam, sistem sosial komunal, dan nilai-nilai luhur yang tertanam dalam adat istiadat, hukum adat (customary law), dan narasi turun-temurun.
Baca A Review of Ngayau: A Tapestry of Dayak Culture, Myth, and History
Jika Huntington menyebut bahwa identitas peradaban lebih kuat daripada identitas nasional atau ideologi, maka dalam konteks Dayak, hal itu terbukti dalam ketahanan budaya mereka.
Selama ratusan tahun kolonialisme, eksploitasi sumber daya, dan tekanan modernisasi, orang Dayak tetap mempertahankan akar kultural mereka—bahkan kini tengah mengartikulasikan ulang identitas itu dalam bahasa global.
Modernisasi Tanpa Westernisasi
Huntington membedakan antara modernisasi dan westernisasi. Ia mengingatkan bahwa bangsa-bangsa non-Barat dapat maju secara teknologi tanpa harus kehilangan nilai-nilai peradabannya. Hal ini sangat relevan dengan kebangkitan komunitas Dayak kontemporer, yang mulai memanfaatkan teknologi digital, sistem pendidikan modern, bahkan kecerdasan buatan (AI), tanpa melepaskan diri dari belarasa, adat, dan relasi ekologis yang menjadi inti budaya mereka.
Contoh nyata dari ini adalah munculnya institusi seperti Institut Teknologi Keling Kumang, koperasi berbasis masyarakat adat, dan gerakan literasi Dayak yang menggunakan media digital untuk menyuarakan kearifan lokal. Di sinilah peradaban Dayak membuktikan bahwa ia bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga daya hidup masa depan.
Di Tengah Fault Lines Peradaban Dunia
Dalam peta geopolitik Huntington, Indonesia sendiri adalah salah satu “torn countries”—negara yang terbelah antara peradaban Islam, Barat, dan Asia Timur. Namun masyarakat Dayak, dengan akar spiritual animistik dan sistem sosial berbasis komunitas, menawarkan satu perspektif peradaban yang berbeda.
Dayak dan Konstelasi Peradaban Global
Di tengah tarik-menarik kekuatan global yang semakin nyata, sebagaimana dipetakan oleh Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilizations, dunia tampak digerakkan oleh benturan identitas budaya besar: antara Barat dan Islam, antara Konfusianisme dan demokrasi liberal, antara Ortodoksi dan modernitas.
Namun, ada satu kekuatan kebudayaan yang tak tercatat dalam narasi peradaban besar itu—yakni Dayak. Sebuah entitas yang bukan sekadar etnis lokal atau masyarakat adat pinggiran, melainkan satu peradaban otonom dengan logika nilai, sistem pengetahuan, dan visi hidup yang berdiri sendiri.
Baca Cornelis Highlights Disparity: Borneo Gives Billions, Gets Pennies
Masyarakat Dayak tidak serta-merta bisa dipetakan dalam blok Timur atau Barat. Mereka juga bukan perpanjangan dari peradaban Konfusian, Hindu, maupun Islam. Justru di sinilah letak keistimewaan mereka.
Dalam dunia yang terfragmentasi menurut garis patahan kebudayaan, Dayak menunjukkan bahwa ada bentuk kehidupan yang tidak tunduk pada dikotomi tersebut.
Tradisi Dayak menyimpan narasi ekologis yang kuat, pengetahuan pertanian yang berbasis belarasa terhadap alam, serta struktur sosial yang berakar pada musyawarah dan keseimbangan. Semua ini adalah ciri khas dari peradaban yang mandiri.
Selama ini, narasi global cenderung memposisikan masyarakat Dayak hanya sebagai penghuni daerah kaya sumber daya alam, hutan, tambang, dan sungai yang terbuka untuk eksploitasi. Namun, perspektif ini gagal menangkap bahwa yang sedang dihadapi dunia bukan sekadar krisis lingkungan, tetapi krisis peradaban.
Dalam konteks itu, pengetahuan lokal Dayak tentang harmoni ekologis dan tata kelola komunitas bisa menjadi tawaran alternatif yang sangat berharga.
Dunia modern, dalam mencari arah baru, justru bisa belajar dari cara hidup yang telah berabad-abad dirawat oleh masyarakat Borneo ini.
Baca Bagaimana Dayak Mengubah dan Melawan Dominasi Oligarki
Huntington dengan tegas membedakan antara modernisasi dan westernisasi. Ia membuka ruang bagi peradaban non-Barat untuk maju tanpa harus menyerah pada nilai-nilai Barat. Di sinilah masyarakat Dayak menjadi contoh konkret.
Tanpa kehilangan jati diri, banyak komunitas Dayak mulai mengadopsi teknologi, merintis koperasi modern, membangun sekolah adat, hingga memproduksi pengetahuan mereka sendiri. Ini adalah bentuk modernisasi dari dalam, bukan tiruan dari luar.
Bukan tidak mungkin bahwa ke depan, dunia harus mulai melihat Borneo, khususnya masyarakat Dayak, bukan hanya sebagai wilayah yang kaya secara ekologis, tetapi juga sebagai rumah bagi satu peradaban yang belum dinamai dalam kerangka Huntington.
Inilah saatnya dunia mengakui bahwa di antara benturan peradaban besar itu, ada satu yang selama ini diam dan tersembunyi: peradaban Dayak, yang kini mulai berbicara dalam bahasanya sendiri.
-- Masri Sareb Putra