Samuel P. Huntington dan Nujum tentang Benturan Peradaban Dunia yang Menjadi Fakta

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Simon & Schuster, barat, Islam, Tiongkok, polarisasi, Amerika, Cina,


🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:  Buku berkelas, sarat kandungan gizi pemikiran brilian, dan baru; selalu baru. Dalam arti, dibaca puluhan tahun lalu dan hari ini, senantiasa ada: novelty, kebaruan.

Itu antara lain keunggulan buku: mengemas dan menyimpan ilmu lebih dibanding media lainnya. Seperti The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, meski terbit tahun 1996, tetap aktual. Bahkan nujum Huntington mengenai tata dunia, terjadi hari ini. 

Pemimpin, intelektual, peneliti, dunia akademia, serta cerdik-cendikia wajib membaca, dan mengemulasi, pustaka penting ini.

Dari Ide ke Buku Kontroversial

Ketika Tembok Berlin rubuh-runtuh dan Perang Dingin usai, dunia sempat mengira bahwa babak baru hubungan internasional akan dipenuhi harmoni global. Namun Samuel P. Huntington, profesor dari Harvard University, membalik asumsi tersebut dalam karyanya yang monumental, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996). 

Huntington menegaskan bahwa sumber utama konflik dunia di masa mendatang bukan lagi ideologi atau ekonomi, melainkan peradaban.

Gagasan awal Huntington muncul dalam bentuk artikel berjudul sama di Foreign Affairs pada 1993. Artikel itu langsung memantik perdebatan tajam dan meluas di kalangan ilmuwan, diplomat, dan politisi. Tiga tahun kemudian, ide tersebut berkembang menjadi buku penuh yang kini dianggap klasik dalam studi geopolitik global.

Baca A Review of Ngayau: A Tapestry of Dayak Culture, Myth, and History

Dalam The Clash of Civilizations, Huntington mengajukan tesis yang menggugah: identitas budaya dan agama akan menjadi garis demarkasi utama dalam konflik abad ke-21. Dunia, menurutnya, telah terfragmentasi ke dalam delapan atau sembilan peradaban besar, antara lain: Barat, Konfusian (Tiongkok), Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika (yang statusnya sebagai peradaban mandiri masih diperdebatkan).

Titik Benturan

Di mata Huntington, masa depan dunia ditentukan oleh interaksi dan benturan antarperadaban ini. “Garis patahan” (fault lines) antara peradaban akan menjadi sumber utama konflik bersenjata, ketegangan politik, dan instabilitas global.

Baca "Dayak" as a Standardized Term: A Unifying Identity

Dua konflik besar yang diprediksi Huntington adalah antara Barat dan dunia Islam, serta antara Barat dan Tiongkok. Selain itu, ia memperkenalkan istilah “torn countries”, yakni negara-negara yang terbelah identitasnya antara dua peradaban. Turki, misalnya, mengalami tarik-menarik antara akar Islam dan aspirasi menjadi bagian dari Barat. Rusia terombang-ambing antara warisan Ortodoks dan modernitas Barat, sementara Meksiko berdiri di persimpangan antara peradaban Latin dan Barat.

Modernisasi Bukan Westernisasi

Salah satu kontribusi penting buku ini adalah pemisahan tegas antara modernisasi dan westernisasi. Huntington menolak asumsi bahwa modernisasi negara-negara non-Barat akan membuat mereka otomatis menyerap nilai-nilai liberal Barat. Sebaliknya, mereka bisa menjadi maju secara teknologi dan ekonomi sembari tetap mempertahankan nilai-nilai peradabannya sendiri.

Ia juga menegaskan bahwa identitas peradaban lebih kuat dan lebih tahan lama daripada identitas nasional atau ideologi. Oleh karena itu, strategi geopolitik dunia harus mempertimbangkan dinamika lintas peradaban ini secara serius.

Tak diragukan, buku ini memberi pengaruh besar terhadap cara pandang dunia pasca-Perang Dingin, terutama di kalangan pembuat kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Namun kritik pun datang dari berbagai arah. Banyak ilmuwan menilai analisis Huntington terlalu menyederhanakan realitas global, mengabaikan kompleksitas identitas dalam negara-negara multikultural, bahkan cenderung memperkuat stereotip dan justifikasi atas politik eksklusif dan kebijakan luar negeri agresif.

Edward Said misalnya, menyebutnya sebagai “geografi politik yang memecah-belah dunia berdasarkan prasangka kultural.” Sementara sejarawan John Voll menilai bahwa Huntington gagal melihat dinamika internal dalam peradaban, terutama Islam, yang sangat beragam.

Relevansi Kini

Meski penuh kontroversi, tesis Huntington tetap relevan dalam membaca ketegangan global dewasa ini yaknidari konflik Timur Tengah, lonjakan nasionalisme religius, hingga persaingan strategis antara Cina dan Amerika Serikat. 

Ketika globalisasi mempercepat pertukaran teknologi dan informasi, justru identitas budaya makin mengental, dan garis batas peradaban semakin menonjol.

Baca Agama Asli Suku Dayak dari Sisi Akademik

Huntington boleh jadi bukan nabi, namun ia berhasil menangkap pola besar yang terus bergema hingga hari ini: bahwa di balik global village yang kita huni, perbedaan peradaban tetap menjadi sumber tarik-ulur utama relasi antarbangsa.

Data Buku

  • Judul: The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order

  • Penulis: Samuel P. Huntington

  • Penerbit: Simon & Schuster

  • Tahun Terbit: 1996

  • Jumlah Halaman: 368

Kutipan Kunci

Beberapa kutipan dari Huntington yang menjadi rujukan penting dalam diskursus global:

“The great divisions among humankind and the dominating source of conflict will be cultural.”
(Perpecahan besar dalam umat manusia dan sumber utama konflik akan bersifat kultural.)

“People are not becoming more like ‘us’. On the contrary, they are defining themselves in terms that are increasingly excluding ‘us’.”
(Orang-orang tidak menjadi lebih seperti ‘kita’. Justru sebaliknya, mereka mendefinisikan diri dengan cara yang semakin mengecualikan ‘kita’.)

“In the emerging world of ethnic conflict and civilizational clash, Western belief in the universality of Western culture suffers three problems: it is false; it is immoral; and it is dangerous.”
(Dalam dunia baru yang penuh konflik etnik dan benturan peradaban, keyakinan Barat akan universalisme budaya mereka menghadapi tiga masalah: keliru, tidak bermoral, dan berbahaya.)

🧩 Ringkasan Buku

Buku ini terdiri dari lima bagian besar yang secara bertahap mengembangkan argumen utama Huntington:

Bagian I: A World of Civilizations

Huntington menguraikan kerangka baru hubungan internasional setelah Perang Dingin, menekankan bahwa peradaban adalah unit analisis utama, bukan lagi negara-bangsa atau blok ideologis.

Bagian II: The Shifting Balance of Civilizations

Ia memaparkan kebangkitan Asia, khususnya Tiongkok dan dunia Islam, yang menjadi tantangan strategis bagi dominasi peradaban Barat. Kekuasaan ekonomi dan militer Barat mulai menurun, digantikan oleh peradaban lain yang kian percaya diri.

Bagian III: The Emerging Order of Civilizations

Di bagian ini, Huntington menjelaskan potensi aliansi dan konflik lintas peradaban. Diperkenalkan konsep negara inti (core states) dalam tiap peradaban, seperti AS untuk Barat, Tiongkok untuk Konfusian, dan Arab Saudi atau Iran untuk Islam.

Bagian IV: Fault Lines Between Civilizations

Bagian paling eksplisit tentang konflik, terutama di wilayah-wilayah ‘garis patahan’ seperti Balkan, Kaukasus, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Ia juga membahas negara-negara “terpecah” yang identitasnya tidak stabil.

Bagian V: The West and the Rest

Huntington menutup dengan nasihat strategis bagi Barat: mempertahankan identitas dan kekuatan diri, bukan memaksakan universalitasnya. Dunia yang plural harus didekati dengan strategi realistis, bukan dengan hegemoni kultural.

🔍 Analisis Kritis dan Bandingan

  1. Reduksi Kompleksitas
    Huntington banyak dikritik karena memadatkan kompleksitas budaya dan politik dunia ke dalam kategori besar bernama “peradaban”. Hal ini bisa menutupi dinamika internal yang penting, misalnya dalam dunia Islam yang penuh keragaman—antara Sunni dan Syiah, Arab dan non-Arab, moderat dan ekstrem.
  2. Pola Pikir Eksklusif
    Gagasannya dianggap memperkuat narasi "kami vs mereka", terutama antara Barat dan Islam. Kritik ini semakin menguat pasca-9/11, ketika tesis Huntington dianggap memberi justifikasi intelektual terhadap kebijakan intervensionis Amerika Serikat di Timur Tengah.
  3. Bandingkan: Teori Globalisasi
    Sebaliknya, tokoh seperti Amartya Sen dan Benjamin Barber lebih menekankan “interkoneksi budaya” daripada benturan. Mereka melihat globalisasi menciptakan identitas hybrid, alih-alih mempertegas batas peradaban. Dalam perspektif ini, konflik terjadi lebih karena ketimpangan dan ketidakadilan, bukan benturan peradaban semata.
  4. Tesis yang Terbuka untuk Uji Waktu
    Meski penuh kontroversi, Huntington menawarkan kerangka berpikir jangka panjang. Ketika ketegangan AS–Cina memuncak, perang identitas di Eropa Timur menguat, atau nasionalisme keagamaan muncul di banyak negara, gagasan tentang "peradaban" tetap terasa hidup. Namun, perlu pendekatan yang lebih lentur untuk menjembatani ketegangan, bukan membekukannya.

📌 Relevansi di Tengah Dunia yang Terpolarisasi

The Clash of Civilizations bukan buku yang nyaman dibaca dalam dunia yang mengidamkan pluralisme. Namun, justru karena itulah buku ini penting. Ia memaksa pembaca berpikir ulang: apakah kita benar-benar hidup dalam dunia yang saling memahami, atau justru makin curiga satu sama lain?

Dunia kini tengah ditarik antara dua kutub: keterhubungan global dan identitas lokal. 

Dalam tarik-ulur itu, warisan pemikiran Huntington tetap menjadi bahan diskusi yang tidak bisa diabaikan—baik untuk dipertahankan, dikritik, atau didekonstruksi.

-- Masri Sareb Putra, M.A.

LihatTutupKomentar