Stabilitas Populi: Ketahanan Populasi Dayak di Borneo Sangat Tinggi

Dayak, Borneo, First Nation, Bellwood, Stabilitas Populi, ekologis, Niah, Matsumura, ketahanan biologi, ketahanan budaya, Migliano

Stabilitas Populi: Ketahanan Populasi Dayak di Borneo
Stabilitas Populi, Ketahanan populasi Dayak baik biologi maupun budaya terbukti tinggi sejak 40.000 tahun di Borneo. Ilustrasi by AI berdasarkan narasi kami.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Stabilitas Populi adalah jargon etnologi yang merujuk pada kemampuan suatu kelompok masyarakat untuk mempertahankan keberadaan genetik, budaya, dan sosial mereka dalam jangka waktu panjang. 

Ketahanan biologi dan budaya Dayak ini tetap terjaga meskipun menghadapi perubahan lingkungan dan tekanan eksternal selama sirka waktu 40.000 lalu.

Stabilitas Populi Dayak terbukti tinggi sejak era Pleistosen Gua Niah

Tengkorak manusia modern (Homo sapiens) yang ditemukan di Gua Niah pada 1958 oleh arkeolog Tom Harrisson dikenal sebagai "Deep Skull". Analisis radiokarbon pada lapisan tempat tengkorak itu ditemukan menunjukkan usia sekitar 37.000–40.000 tahun lalu. Ini menjadikan Gua Niah sebagai salah satu bukti keberadaan manusia tertua di Asia Tenggara tropis.

Era Pleistosen sendiri berlangsung dari sekitar 2,6 juta hingga 11.700 tahun yang lalu. Jadi, keberadaan manusia di Gua Niah memang berada pada akhir Pleistosen.

Dalam konteks ini, masyarakat Dayak di Borneo memperlihatkan karakteristik khas dari suatu populasi yang memiliki stabilitas tinggi dan berakar dalam sebagai penduduk asli kawasan tersebut.

Hasil penelitian genetik

Hasil penelitian genetik menunjukkan bahwa masyarakat Dayak memiliki keragaman genetik yang tinggi, sebagaimana tercermin dalam temuan Matsumura et al. (2018). 

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam

Keragaman ini mengindikasikan adanya sejarah panjang adaptasi terhadap berbagai kondisi ekologis di Borneo, dari hutan hujan tropis yang lebat hingga sistem sungai yang kompleks. Tingkat keragaman genetik yang tinggi umumnya diasosiasikan dengan populasi yang telah lama menetap dan mengalami evolusi bersama lingkungan tempat tinggalnya.

Lebih lanjut, Lipson et al. (2014) menegaskan bahwa keragaman genetik tersebut bukan semata-mata refleksi dari interaksi luar, melainkan hasil dari proses adaptasi internal yang terus berlangsung dalam jangka waktu ribuan tahun. Hal ini mengisyaratkan bahwa populasi Dayak telah menunjukkan kontinuitas genetik dan kultural yang luar biasa stabil, sekaligus memperkuat klaim bahwa mereka adalah penduduk asli (indigenous) Borneo.

Penelitian oleh Migliano et al. (2020) bahkan memperlihatkan bahwa tingkat percampuran genetik eksternal dalam populasi Dayak relatif rendah, menandakan minimnya tekanan migrasi besar-besaran dari luar yang dapat mengubah struktur genetik mereka secara signifikan. 

Ketahanan biologis dan kekuatan struktur sosial dan budaya Dayak

Stabilitas ini tidak hanya mencerminkan ketahanan biologis, tetapi juga memperlihatkan kekuatan struktur sosial dan budaya Dayak yang mampu mempertahankan integritas komunitasnya dari generasi ke generasi.

Baca Longhouses of the Dayak People: An Intriguing and Meaningful Tourist Attraction

Salah satu fondasi dari ketahanan ini adalah keberhasilan adaptasi biologis dan kultural masyarakat Dayak sejak zaman prasejarah. Curnoe et al. (2016) mencatat bahwa orang Dayak telah mengembangkan sistem pertanian berpindah (shifting cultivation) yang berkelanjutan, teknik berburu dan meramu yang efisien, serta pemanfaatan tanaman obat secara luas berdasarkan pengetahuan turun-temurun. 

Seluruh praktik ini memperlihatkan tingkat kognitif dan ekologis yang tinggi dalam memahami serta memanfaatkan alam secara harmonis.

King (1993) dan Blust (1984) menyoroti pentingnya struktur sosial adat dan nilai komunal dalam mempertahankan kelangsungan budaya Dayak. 

Keterikatan pada adat, sistem hukum lokal, serta relasi sosial berbasis belarasa memperkuat transmisi pengetahuan antargenerasi. Hal ini berkontribusi besar pada pembentukan identitas kolektif yang resilien terhadap arus perubahan zaman, termasuk terhadap modernisasi dan tekanan eksternal dari ekspansi ekonomi ekstraktif.

Baca Identitas Dayak Hari Ini "Smart People" Mengubah Narasi Serba-minor Tempo Doeloe

Sebagai akibatnya, teori migrasi Dayak dari dataran Yunnan, yang populer dalam beberapa dekade terakhir, perlu dikaji ulang secara kritis. Seandainya teori tersebut benar, maka seharusnya terdapat bukti arkeologis dan genetik yang menunjukkan adanya disrupsi besar dalam pola hidup dan struktur sosial masyarakat Dayak. 

Kini teori migrasi Dayak dari Yunan mulai luntur dari sisi akademik, sebab sangat lebah.

Justru sebaliknya, Bellwood (2007) menunjukkan bahwa terdapat kesinambungan arkeologis dan biologis yang kuat, menandakan bahwa masyarakat Dayak telah menghuni wilayah Borneo dalam rentang waktu puluhan ribu tahun.

Adaptasi terhadap penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah merupakan bukti tambahan dari lamanya proses evolusi lokal tersebut. 

Sementara para pendatang baru kerap menghadapi kesulitan dalam menghadapi penyakit dan kondisi alam yang ekstrem, masyarakat Dayak telah mengembangkan daya tahan alami dan sistem pengobatan berbasis tanaman obat untuk mengatasi berbagai gangguan kesehatan. Hal ini kembali memperkuat posisi mereka sebagai kelompok yang telah berakar dalam lanskap ekologis Borneo.

Hasil studi genetik terbaru

Hasil studi genetik terbaru mengungkapkan adanya pola kekebalan tubuh khas pada orang Dayak, yang mencerminkan sejarah panjang interaksi dengan lingkungan tropis Borneo. 

Penelitian ini bukan hanya berkontribusi pada pemahaman sejarah genetik mereka, tetapi juga menjadi argumen penting dalam pelestarian identitas Dayak sebagai First Nation atau penduduk pertama di Borneo.

Baca Baca Jessica Manser: Temuannya tentang Manusia Gua Niah Mementahkan Teori migrasi Austronesia

Oleh karena itu, narasi tentang asal-usul masyarakat Dayak tidak dapat lagi didasarkan pada spekulasi historis yang tidak didukung oleh bukti ilmiah. Sebaliknya, pendekatan interdisipliner yang memadukan genetika, arkeologi, antropologi, dan ekologi harus menjadi dasar baru dalam merumuskan pemahaman yang utuh dan valid mengenai eksistensi masyarakat Dayak di Borneo.

-- Masri Sareb Putra, M.A.


PUSTAKA ACUAN untuk NARASI INI

  1. Andas Putra, N. (2016) Dayak Kanayatn. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.
  2. Arifin, K. (2004) Archaeological Research in the Upper Birang River, East Kalimantan.
  3. Arifin, K. (2017) Recent Archaeological Findings in the Lesan River Area, East Borneo.
  4. Barker, G. (2013) Rainforest Foraging and Farming in Island Southeast Asia: The Archaeology of the Niah Caves, Sarawak. Cambridge: McDonald Institute for Archaeological Research.
  5. Barker, G. and Farr, L. (2016) The Archaeology of the Niah Caves, Sarawak: Excavations and Interpretations.
  6. Bellwood, P. (1992) ‘Southeast Asia Before History’, in Tarling, N. (ed.) The Cambridge History of Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 55-136.
  7. Bellwood, P. (2007). Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. ANU E Press.
  8. Blair, C. & Helmi, A. (1991). Traditions and Transformation in Borneo. Oxford University Press
  9. Blust, R. (1984). The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective. Asian Perspectives, 26(1), 45-67.
  10. Blust, R. (2008) ‘Is There a Bornean Subgroup of Austronesian Languages?’, Oceanic Linguistics, 47(1), pp. 45-113.
  11. Bulbeck, D. (2008) ‘An Integrated Perspective on the Austronesian Diaspora: The Switch from Cereal Agriculture to Maritime Foraging in the Colonisation of Island Southeast Asia’, Australian Archaeology, 67(1), pp. 31-51.
  12. Curnoe, D., Datan, I. and Tacon, P. S. C. (2016) ‘Deep Skull from Niah Cave and the Pleistocene Peopling of Southeast Asia’, Frontiers in Ecology and Evolution, 4, pp. 1-6.
  13. Curnoe, D., Datan, I., Taçon, P. S. C., Leh Moi Ung, C., & Sauffi, M. S. (2016). Deep Skull from Niah Cave and the Pleistocene Peopling of Southeast Asia. Frontiers in Ecology and Evolution, 4, 75. https://doi.org/10.3389/fevo.2016.00075
  14. Harrisson, T. (1958) ‘The Great Cave of Niah: A Preliminary Report on Bornean Prehistory’, Man, 58, pp. 161-166.
  15. Kusmartono, I., Simanjuntak, T. and Suroto, A. (2017) Recent Archaeological Research in Central Borneo.
  16. King, V. T. (1993). The Peoples of Borneo. Blackwell.
  17. Lipson, M., Loh, P. R., Patterson, N., Moorjani, P., Ko, Y. C., Stoneking, M., ... & Reich, D. (2014). Reconstructing Austronesian population history in Island Southeast Asia. Nature Communications, 5(1), 4689.
  18. Lloyd-Smith, L. et al. (2013) ‘"Neolithic" Societies c. 4000–2000 Years Ago: Austronesian Farmers?’, in Barker, G. (ed.) Rainforest Foraging and Farming in Island Southeast Asia: The Archaeology of the Niah Caves, Sarawak. Cambridge: McDonald Institute for Archaeological Research, pp. 255-298.
  19. Lontaan, J.U. (1975). Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Depdikbud.
  20. Manser, J. (2005) Mortuary Practices and Social Complexity in the Niah Caves, Sarawak.
  21. Manser, J. (2016) Revisiting the Deep Skull of Niah: Implications for Understanding the Early Modern Human Occupation of Southeast Asia.
  22. Masri, Sareb Putra. (2022) ‘Muzium Sarawak dan Jasanya Meneliti Uji Karbon Manusia Asli Borneo di Gua Niah, Miri’. Available at: https://bibliopedia.id/muzium-sarawak-dan-jasanya-meneliti-uji-karbon-manusia-asli-borneo-di-gua-niah-miri/?utm_source=chatgpt.com (Accessed: [tanggal akses]).
  23. Matsumura, H., Shinoda, K., Adachi, N., & Dodo, Y. (2018). Genetic continuity and affinities of Indigenous populations from Borneo and surrounding regions: The evidence from dental traits and DNA polymorphisms. Anthropological Science, 126(2), 97-108.
  24. Migliano, A. B., Page, A. E., Gómez-Gardeñes, J., & Salali, G. D. (2020). Disease resistance and adaptation in Indigenous populations of Southeast Asia. Proceedings of the Royal Society B, 287(1934), 20201221.
  25. Sugiyanto, B. (2019) Kubur dan Manusia Prasejarah di Pegunungan Meratus, Provinsi Kalimantan Selatan.
  26. Ukur, F. (1971). Ngayau: Perang dalam Tradisi Dayak. Jakarta: Balai Pustaka.
  27. Wallace, A. R. (1864) Bone-Caves in Borneo.
  28. Yansen and Masri (2023) Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.
LihatTutupKomentar