Negara yang Dipimpin Filsuf
![]() |
Plato: Negara yang Dipimpin Filsuf by Grok-AI. |
Plato pernah memperingatkan, bahwa negara yang dipimpin oleh kepentingan golongan tanpa kebijaksanaan akan hancur dari dalam. Kini, saat konflik antarpartai makin menjauhkan kita dari keadilan sosial, mungkin sudah saatnya kita mendengar ulang suara filsuf.
Sejarah, seperti laut, tak pernah diam.
Gelombangnya datang dan pergi, tetapi selalu membawa sisa-sisa masa lalu ke pantai masa kini.
Kita, bangsa yang terengah di tepian zaman, agaknya lupa bahwa sejarah bukan sekadar narasi yang ditulis di atas batu. Ia adalah peringatan, sekaligus kutukan.
Saya teringat Plato, filsuf yang, dalam keteduhan naskah kunonya Politeía, menulis tentang negara ideal. Tentang sebuah republik yang bukan semata dijaga oleh konstitusi, melainkan digerakkan oleh jiwa, oleh pemimpin yang adalah filsuf.
Mengapa filsuf? Karena hanya ia yang, dalam kata Plato, mampu "melihat kebaikan sebagai kebaikan". Karena kekuasaan yang tanpa kebajikan, hanyalah kehancuran yang ditunda.
Hari ini kita melihatnya. Negeri ini, dengan segala pilar demokrasi dan baleho-baleho janji, dipimpin bukan oleh mereka yang mencari kebaikan bersama, tetapi oleh mereka yang gemar membelah. Partai melawan partai, kubu melawan kubu. Di Senayan, debat-debat kosong dikemas dalam jargon, tapi jauh dari kebijakan. Sementara itu, rakyat dibiarkan menghitung sisa hari di tengah harga yang naik, dan harapan yang kian retak.
Dalam Politeía, Plato tak menolak demokrasi. Ia hanya mengingatkan bahayanya, bahwa ketika setiap orang merasa berhak memimpin tanpa punya pengetahuan tentang kebaikan, maka tirani akan mengintai di balik kebebasan yang semu. Demokrasi tanpa kesadaran akan keutamaan hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang meracuni kota dengan kepentingan pribadi.
Athena sudah membuktikannya. Bahkan ketika Solon membuat konstitusi yang adil pada 593 SM, yang disebut eunomia, itu tak cukup menghentikan pertikaian antara kaum kaya dan golongan marjinal. Perang saudara pecah. Kota yang selama ini menjadi cahaya dunia, musnah dalam kerlap detik. Plato, yang menatap reruntuhan kota leluhurnya, menulis dengan getir, keadilan tak bisa bertahan bila ia hanya tertulis di lembar hukum, tapi tak hidup dalam laku penguasa.
Maka Plato menulis, pemerintahan harus dipimpin oleh filsuf. Ia bukan utopia, melainkan kebutuhan. Karena hanya pemimpin yang berpikir panjang, dan mencintai keadilan lebih dari pujian, yang bisa menjaga negeri dari kehancuran diam-diam. Pemerintahan, baginya, adalah harmoni, bukan kemenangan satu golongan atas yang lain, tapi titik temu dari kelas-kelas sosial yang berbeda, dalam kerja sama dan persaudaraan sejati.
Kita, hari ini, begitu jauh dari cita-cita itu. Pemimpin kita lebih mirip tokoh dalam drama satire Aristofanes, berisik, tanpa substansi. Mereka bicara tentang rakyat, tapi tak hidup di antara rakyat. Mereka serukan “persatuan”, tapi hanya untuk memaksa keseragaman yang menguntungkan koalisinya.
Pertanyaannya bukan lagi, sudahkah para pemimpin kita seperti filsuf? Tapi lebih getir, masih adakah keinginan untuk menjadi bijak?
Tahun 561 SM, Pisistratus muncul sebagai pemimpin kuat. Tapi Athena tak jatuh dalam otoritarianisme karena pada 461 SM, Ephialtes hadir sebagai penyeimbang. Ada dialektika. Ada saling mengoreksi. Ada keseimbangan. Ada harapan. Itulah politik, ruang di mana yang berbeda bisa berdialog tanpa membinasakan. Dan hanya filsuflah yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah untuk menjamin keadilan sosial.
Hari ini, kita butuh lebih dari sekadar undang-undang. Kita butuh keberanian untuk membaca sejarah, dan mendengar ulang Plato, bukan dengan romantisme klasik, tapi dengan kesadaran politik modern, bahwa filsafat dan kekuasaan tak boleh terus berjauhan.
Negeri ini tak harus sempurna, tapi ia layak dituntun oleh mereka yang tak hanya ingin berkuasa, melainkan ingin mengerti, dan menyelamatkan.***