Anak Dayak yang Menulis Buku Non-Teks Pelajaran Indonesia

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Perbukuan, Puskurbuk, Pusat Kurikulum, Buku Panduan Panduan Non-Teks Pelajaran, krinein

Anak Dayak yang menulis Panduan Non-Teks Pelajaran bagi skop nasional Indonesia. Ist.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Menjadi satu di antara jutaan manusia Indonesia, dan ribuan penulis nasional, menulis Buku Non-Teks Pelajaran Nasional, "sesuatu banget". Namun, itu tak jatuh dari langit. Ada prosesnya.


Saya bukan siapa-siapa. Hanya satu dari sekian ribu warga negara yang secara tak sengaja dipercaya untuk menulis sebuah buku Panduan Non-Teks Pelajaran, yang diinisiasi oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tugas ini tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Namun saya menerimanya dengan rasa hormat dan tanggung jawab. Saya datang ke kantor Puskurbuk di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Lingkungan itu bukan asing bagi saya. 

Saya telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan dan penerbitan. Sejak 1992, saya turut melatih guru-guru menulis, menjadi mentor bersama sejumlah tokoh besar seperti almarhum Korrie Layun Rampan—yang dijuluki “kardinal sastra Indonesia”—Ismail Marahimin, dan Prof. Fauzia Aswin Hadis, pakar psikologi perkembangan anak.

Mengapa saya? Barangkali karena saya dianggap memahami konten buku pendidikan. Sebagai editor yang berkanjang di dunia perbukuan, saya terbiasa bergelut dengan naskah-naskah yang menuntut akurasi, keterbacaan, dan tanggung jawab sosial.

Saya pun mengerahkan seluruh pengetahuan saya di bidang penulisan kreatif. Dalam buku tersebut, saya mencoba menjelaskan pentingnya readability atau keterbacaan. Saya memperkenalkan rumus Fog Index yang dikembangkan Gunning, untuk memastikan teks dapat dipahami oleh siswa dengan segmen usia tertentu.

Saya belajar menerima kritik, bukan sebagai serangan, tetapi sebagai penghargaan. Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani, krinein, yang berarti menilai. Bukan mencela.

Namun pengalaman paling berkesan bukan pada proses menulis, melainkan saat buku ini dipresentasikan. Saya harus memaparkan naskah di hadapan tujuh pihak lintas sektor, mulai dari pakar pendidikan, psikolog perkembangan anak, hingga perwakilan Kejaksaan dan Kementerian Agama. 

Buku ini bukan hanya harus mendidik, tetapi juga harus “aman”, dalam arti selaras dengan nilai kebangsaan, hukum, dan ideologi negara.

Saya (kiri pembaca, ujung) di antara Kepala Pusat Perbukuan, para profesor, dan praktisi yang menguji. Ist.

Saya juga diuji oleh tiga profesor ahli: seorang pakar bahasa, seorang profesor dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang mendalami proses kreatif menulis, serta seorang guru besar pendidikan anak usia dini. Presentasi berjalan cukup dinamis. Bahkan sempat terjadi ketegangan karena saya tidak sependapat dengan beberapa masukan yang diberikan. 

Saya memilih berhenti sejenak. Namun dalam pertemuan berikutnya, saat saya menyampaikan kembali gagasan yang sebelumnya saya pertahankan, tanggapan mereka berubah: “Bagus itu,” kata mereka.

Dari situ saya belajar, bahwa dalam sebuah tim, keterbukaan adalah kunci. Ketika saya menganggap ide itu milik mereka, mereka berkata, “Bukan. Itu tanggung jawab Anda.”

Saya belajar menerima kritik, bukan sebagai serangan, tetapi sebagai penghargaan. Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani, krinein, yang berarti menilai. Bukan mencela.

Menulis memang soal teknik. Tetapi juga soal mental menerima. Dan pada akhirnya, saya hanyalah debu kecil yang sempat ikut ambil bagian dalam membangun dunia pendidikan lewat sebuah buku. 

Hanya debulah aku. Tapi lewat proses dan kerja sama, menjadikan debu itu berguna untuk sesama. *)

LihatTutupKomentar