Simpul Tali Tepus yang Tak Putus | Cerpen Masri Sareb Putra

Dayak, Iban, gawai, lemang, tuak, salai, Sekadau, Miri, tabas, ikan asap,


Domia dan Nanggang dalam sebuah pesta Gawai
Domia dan Nanggang dalam sebuah pesta Gawai. Visual by AI.

Hari Gawai, 31 Mei 2025. 

Bunyi gong bertalu-talu. Tempayan berisi tuak berdesak seperti bayi lapar. Lidah-lidah menari bersama kaki, dan waktu terperosok dalam lantai papan. 

Di tengah gegap-gempita itu, Nanggang justru berdiri membatu. Matanya tidak menari. Hatinya tidak mabuk. Namun, ia terseret arus yang tidak kelihatan. Bukan oleh tuak. Bukan oleh gendang. Tapi oleh sepasang mata: Domia Jamu.

Langit Kalimantan Barat membara, jingga berdarah seperti lukisan dewa yang murka. Udara seret, padat, seperti bisa dipotong dengan parang tebas. 

Di bawah langit itu, rumah panjang di tepi Kapuas mendidih oleh manusia: dari Sanggau, Sintang, hingga Miri, Sarawak. 

Orang-orang Dayak itu datang berjejal seperti semut mabuk manis, memanggul ingatan, menimba tawa, berebut peluk, sapa, dan sedikit kisah yang bisa dijadikan alasan untuk terus hidup.

Wajah-wajah penuh tawa, seperti daun kering tertiup angin, tak tahu arah. Tapi Nanggang tahu: arah hatinya sudah dicuri. 

Domia berdiri di ujung ruai, seperti lukisan yang enggan diam, tapi juga tak bergerak. 

Di balik selendang tenun itu, ada teka-teki yang menari-nari seperti burung enggang yang tak jadi hinggap. Dan di benak Nanggang, nama-nama tua berbisik: Keling. Kumang. Dewa-dewa cinta dan perang yang sedang bermain dadu dengan nasibnya.

Domia menari di lapangan, di bawah kelapa yang meliuk, seolah roh hutan ikut bernapas. Gerakannya liar bagai Kapuas yang mengamuk, namun lembut seperti kabut yang merangkul subuh. 

Manik-manik di baju adatnya bernyanyi, cling-cling, puisi yang hidup, tajam, memotong angin. Domia bukan sembarang gadis, juara tari adat Sekadau, mahasiswi semester tiga di Institut Teknologi Keling Kumang. Dia adalah nyala yang tak bisa disentuh, hanya dirasa. 

Nanggang, anak pengusaha sawit yang kaya raya, mobil mewahnya mengilap di Miri. Kapal pesiarnya menari di teluk, tapi di depan Domia, dia hanyalah debu yang terbakar. Hatinya tak bisa ditata, gila, terjerat tali tepus Keling, tapi juga Kumang yang menuntut pengorbanan.

Meja-meja panjang di rumah panjang mengerang di bawah lemang, ketan panggang dalam bambu yang harumnya menusuk jiwa. Tabas, salai (ikan asap), menggoda, dan tuak mengalir bagai sungai, dari kendi ke gelas, dari gelas ke tawa yang liar. Tink-tink, gelas-gelas bertemu, seperti lonceng memanggil leluhur. Tapi Nanggang tak sudi melirik tuak. 

Mata Nanggang terpaku pada Domia, yang duduk di sudut, tertawa, wajahnya seperti bulan purnama yang menolak awan. Dia mendekat, tangan gemetar memegang gelas tuak, seolah memegang jantungnya sendiri. 

“Domia Jamu, tari kau tadi seperti puisi yang bernyanyi,” katanya, suaranya serak, bukan suara anak pengusaha yang biasa memerintah.

 Domia menoleh. Matanya pisau, tapi bibirnya melengkung. Busur yang siap menembak. 

“Puisi itu bisa membunuh, Nanggang, kalau kau tak tahu cara merangkainya,” jawabnya, meneguk tuak, gerakannya seperti tarian itu sendiri. Tali tepus Keling mengikat hati Nanggang, tapi Kumang berbisik: ini tak akan mudah.

Di dalam dirinya, Nanggang berperang. Dia anak kota, anak sawit, anak emas. Domia adalah anak hutan, anak adat, anak puisi. Dia ingin Domia, tapi hatinya terbelah: antara keinginan memiliki dan ketakutan kehilangan dirinya sendiri. Dia tahu, mencintai Domia berarti melepas Miri, melepas mobil mewah, melepas dunia yang dia kenal. Tapi tali tepus Keling tak memberi pilihan. Cinta ini seperti jerat yang makin erat saat dia melawan.

Hari kedua Gawai, 1 Juni.

Pesta menggila. Sape menangis, seperti hutan yang merindu leluhur. 

Orang-orang menari ngajat, kaki menghentak tanah, membangunkan roh-roh dari tidur abadi. Nanggang dan Domia menyelinap ke tepi sungai, berjalan di bawah bulan yang retak. Domia berbicara, suaranya mendayu seperti puisi: tentang desa Sekadau, ibunya yang menari di ladang, mimpinya membangun jembatan yang menyatukan hutan dan kota. Tapi di dalam dirinya, Domia juga bertarung. Dia menyukai Nanggang, tapi tali tepus Kumang mengikatnya pada tanah leluhur, pada adat, pada mimpi yang tak bisa dibeli emas. Dia tahu, Nanggang adalah angin kota yang bisa membawanya jauh, tapi juga bisa mencabut akarnya.

Badai pecah di tengah terik mentari. Ujai, sepupu Domia, muncul seperti harimau kelaparan yang melangkah keluar dari bayang hutan. Pemuda Iban dari Sekadau, tak punya harta, tapi matanya penuh cerita leluhur, penuh tanah yang tak boleh dijual. “Domia milik hutan, bukan anak kota yang cuma tahu emas dan mesin!” bentaknya, suaranya seperti gong yang mengguncang malam.

Nanggang mengepal tangan. Isi hati dalam dadanya mengamuk. Dia anak pengusaha, tapi di sini, uangnya tak berarti. Dia mencoba lagi, membawa kalung emas dari Miri, berkilau seperti matahari yang angkuh. Domia menatapnya, lalu tertawa, suaranya seperti lonceng di angin. 

“Emas itu mati, Nanggang. Aku perlu hutan, aku butuh cerita, aku butuh puisi yang bernapas.” Ujai menatap Nanggang dengan mata membara, seperti Kumang yang menuntut darah. “Kau tak akan pernah paham adat kami, anak sawit!” katanya, dan Domia diam. Matanya mencari puisi di air sungai, hatinya terbelah antara Nanggang dan tanah leluhur.

Malam terakhir Gawai.

Pesta mencapai puncak kegilaan. Domia menari lagi, gerakannya seperti badai yang mendayu, puisi yang tak bisa ditulis. Nanggang tak tahan. Dia melompat ke tengah, menari ngajat, kaku, canggung, seperti anak kota yang tersesat di hutan. Orang-orang tertawa, tapi Domia menarik tangannya, mengajarinya gerak, seperti mengajari angin cara bernyanyi. 

“Cinta itu tarian, Nanggang. Kau harus belajar langkahnya, bukan cuma memandang,” katanya, suaranya mendayu, seperti sape yang merindu. 

Tapi di dalam hati Domia, Kumang berbisik: “Kau anak hutan, jangan terbuai angin kota.” Nanggang menari, dadanya bergemuruh, menatora dalam dirinya seperti api yang memakan dirinya sendiri. Dia tahu, untuk Domia, dia harus jadi lebih dari anak pengusaha. Dia harus jadi hutan, adat, puisi. Tapi bisakah dia melepas Miri, melepas emas, melepas dirinya?

Tak ada pesta yang tak usai. Gawai pun menutup harinya. 

Rumah panjang sepi, seperti puisi yang kehabisan kata. Nanggang kembali ke Miri, tapi hatinya retak, tali tepus Keling masih mengikat, menariknya kembali ke Domia. 

Domia kembali ke Sekadau, ke mimpinya. Ke jembatan-jembatan yang akan dia bangun. Tapi tali tepus Kumang mengikatnya pada tanah. Pada Ujai, pada leluhur. 

Mereka berjanji bertemu lagi, tapi janji itu seperti asap lemang. Naik ke langit, mendayu, lalu lenyap. 

Di tepi sungai, bambu-bambu bekas lemang terbakar. Asapnya meliuk, seperti puisi yang tak selesai:

Oh, Keling, kau jeratku dengan cinta,
Kumang, kau panggilku dengan darah.
Domia, kau puisi yang tak dapat kubaca,
Nanggang, kau menatora yang tersesat di hutan.

Cinta batang tepus itulah yang mengikat Nanggang dan Domia: dua jiwa muda yang tumbuh di tepian hutan, saling menaut seperti simpul akar Tarusalis di tanah basah. 

Mereka tak bersumpah dengan kata-kata, tapi membiarkan harum bunga tepus menjadi saksi bisu dalam tiap cucian rambut dan ikatan anyaman.

Saat Domia harus menegakkan tiang rumah baru mereka, tali nilon putus berkali-kali. 

Nanggang pun memetik tarusalis, mengikat tiang demi tiang. Dan rumah pun berdiri, seperti cinta mereka. Lembut. Namun tak pernah goyah. Tarusalis bukan hanya tanaman, tapi janji. Bahwa yang halus bisa menjadi kekuatan paling setia.

Jakarta, 1 Juni 2025
Selamat Ngintu Ari Gawai!


LihatTutupKomentar