Misteri Gua Niah dan Asal Usul Dayak di Dunia (1)

Niah, Miri, Sarawak, British, Dayak, Iban, Niah, cave, gua, C-5, karbon, Indonesia, Malaysia, Borneo, Varuna-dvipa, Kuching

 Penulis bersama Clemence Joy, Patricia Ganing, Louis Ringah Kanyan, Amee Joan, dan Arbain Rambey di PLBN Entekong - Tebedu hendak berangkat ke Kuching dengan tujuan eksplorasi Gua Niah. Dok. penulis.

Note:
Eksplorasi yang dilakukan Masri Sareb Putra, yang berusaha mengungkap "asal usul manusia Dayak" di dunia berhasil ditemukan jejaknya di Gua Niah, Miri, Sarawak. Di mana penyelidikan ilmiah, hasil uji karbon, menemukan telah ada manusia di gua ini sejak 40.000 tahun silam. Kabut Misteri Gua Niah danAsal Usul Dayak coba dituangkan dalam narasi berbentuk fiksi yang dimuat secara bersambung mulai hari ini.

Selamat mengikuti!

Di balik kabut senja yang perlahan menurunkan tirainya. Sebuah perjalanan epik melintasi bumi Borneo dimulai. 

Seperti seorang pendekar yang mengayunkan pedang ke dalam kegelapan, aku melangkah bersama Clemence Joy, Patricia Ganing, Louis Ringah Kanyan, Amee Joan, dan Arbain Rambey menuju daerah yang jauh di ujung dunia, tempat batas-batas negara hanya dipisahkan oleh aliran sungai dan semak belukar. 

Baca Unpacking the Labeling of the Dayak in the Past

Kami bergerak dengan langkah hati-hati, seakan setiap langkah adalah doa, setiap nafas adalah nyanyian yang melukis sejarah.

Tanah Borneo—seperti sebuah kitab tua yang terbalut debu sejarah—menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang pernah bisa ditulis manusia. 

Di dalam hutan ini, kami bukan hanya mencari jejak, tetapi kami juga mengejar suara hening yang datang dari tanah itu sendiri, suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang berani menantang waktu. 

Hutan ini, seperti tubuh yang masih muda namun penuh luka lama, memberi pelajaran yang tak terucapkan, mengajarkan kami bahwa hidup bukanlah tentang bertahan hidup saja, melainkan tentang bagaimana kita menghormati mereka yang telah lebih dulu ada.

Kami berjalan dengan rasa takut yang terpendam, namun tak ada ketakutan yang lebih besar dari ketakutan untuk kehilangan akar kita. Seperti pohon yang akar-akarnya menancap dalam-dalam ke tanah, kehidupan kami, darah kami, terhubung dengan bumi ini, dengan hutan yang tumbuh dengan sendirinya, dengan gunung yang mengamati dunia dari ketinggian. 

Baca Longhouses of the Dayak People: An Intriguing and Meaningful Tourist Attraction

Di dalam kabut yang menggelayuti setiap lembah, suara Arbain terdengar lagi, berat dan penuh makna. "Ingatlah, tanah ini bukan hanya milik kita," katanya dengan suara serak, "ia milik mereka yang datang sebelum kita, dan mereka yang akan datang setelah kita." 

Kata-kata itu bergema dalam dada kami, mengingatkan kami akan beban yang lebih besar daripada sekedar perjalanan ini—beberapa langkah ini bukan hanya tentang kami, tetapi tentang masa depan yang sedang dibentuk di setiap denyut bumi.

Kami memasuki kawasan yang belum banyak tersentuh oleh zaman—Borneo, pulau ketiga terbesar di dunia, tanah yang lebih dari dua kali lipat luas Jerman. Namun, di dalamnya, kehidupan tak pernah berhenti bergerak, dan meskipun kami melintasi hutan yang seolah tak terjamah oleh zaman, kami tahu bahwa tanah ini tak pernah bisa dibekukan dalam ruang atau waktu. Seperti sebuah lukisan hidup yang terus berubah dengan sapuan kuas kehidupan, Borneo adalah tempat yang begitu kaya akan cerita yang terpendam dalam tanah, di bawah akar pohon, dan di dalam darah kami sendiri. 

Dalam perjalanan kami, aku merasa seolah-olah kami adalah roh-roh yang menjelajahi dunia, mencari hakikat hidup dan kematian, mencari pengertian di setiap jejak yang kami tinggalkan.

Di sepanjang perjalanan, kami menyusuri jejak-jejak yang tak tertulis, mencatat jejak sejarah yang terpendam di bawah akar pohon, dan dalam kepakan burung yang terbang bebas di atas awan. 

Aku melihat diri kami sebagai pelukis yang mencoba menggambar dunia dengan tinta yang belum pernah ada sebelumnya, mengubah kabut menjadi cerita, dan hutan menjadi sajak yang tak terucapkan. Setiap langkah kami adalah cerita yang terucap dalam bahasa alam, setiap suara yang kami dengar adalah nyanyian dari dunia yang lebih luas, lebih dalam dari apa yang bisa dicapai oleh manusia.

 Borneo ini, seperti matahari yang meredup saat senja, menawarkan pelajaran yang besar—bahwa tak ada yang abadi, tetapi semuanya tetap terhubung.

Perjalanan ini bukan hanya sekadar mengarungi sungai-sungai besar yang mengalir seperti darah dalam pembuluh tubuh Borneo, namun juga tentang menghadapi kenyataan bahwa tanah ini sedang terancam. Seperti pohon-pohon tua yang tumbang satu demi satu, atau sungai-sungai yang tergerus oleh waktu, alam ini terancam oleh mereka yang datang untuk merusaknya. Meskipun kami melangkah dengan hati yang berat, kami tahu bahwa kami tidak bisa berdiam diri. Setiap langkah kami adalah sebuah pertarungan—pertarungan untuk hidup, untuk tanah, untuk masa depan yang lebih baik.

Baca The Dayak Today: The First Nation of Borneo in All Its Glory!

Di jalan yang membawa kami dari Entikong menuju Sarawak, perbedaan antara kedua dunia itu bagaikan dua mata pedang yang saling bertemu dalam pertempuran yang tak pernah usai. Di Indonesia, jalanan penuh deru dan hiruk-pikuk kendaraan, seolah kehidupan ini tak pernah cukup. Setiap sudutnya menggema dengan keramaian, bagaikan riuhnya sungai yang penuh arus deras. 

Sementara Sarawak, dengan pengaruh kolonial Inggris yang mencetak tatanan baru, menawarkan pemandangan yang berbeda—tertata rapi, tenang, seolah alam dan manusia bersekutu dengan baik. Namun ketenangan ini bukanlah tanpa harga. Di baliknya, ada ketegangan yang tersembunyi, seperti sebuah gunung berapi yang tenang namun menyimpan magma di dalamnya, siap meletus kapan saja.

Kami melewati lembah-lembah yang dalam, melalui bukit-bukit yang menjulang tinggi, di mana alam Borneo seolah berbicara dengan bahasa yang lebih tua dari manusia. Setiap bukit yang hijau, setiap desa kecil yang muncul di antara hutan, mengingatkan kami akan sebuah pelajaran penting—bahwa alam ini, dengan segala keindahannya, tidak dapat dipisahkan dari kami. 

Kami adalah satu dengan tanah ini, seperti akar yang tak bisa terlepas dari pohon yang tumbuh di atasnya. Aku merasa bahwa kami adalah penunggu waktu, penjaga yang diam-diam melindungi rahasia bumi yang kami pijak. Borneo adalah ibu yang menuntun kami ke dalam rahasianya, menawarkan cinta yang tulus, namun juga memperingatkan kami bahwa setiap tindakan ada akibatnya.

Saat kami tiba di Kuching, kota yang terhubung dengan sejarah panjang, kami disambut dengan ketenangannya. Namun, ketenangan itu bagaikan air yang tenang di atas permukaan dan penuh arus yang kuat di bawahnya. Seperti samudra yang menyembunyikan kekuatannya di bawah riak ombak, Kuching menawarkan tantangan yang lebih dalam: bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, antara ambisi dan keharmonisan? Apakah kita akan menjadi seperti mereka yang terhanyut oleh arus zaman, ataukah kita akan memilih untuk tetap teguh, menghormati dan menjaga hubungan dengan tanah ini?

Cerita ini bukan hanya perjalanan tubuh, namun juga perjalanan jiwa. Setiap langkah kami adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hidup ini. Seperti pendekar yang mengayunkan pedangnya, kita harus tahu kapan harus bertarung dan kapan harus mengalah. Hanya dengan memilih untuk mengikuti irama alam, kita akan menemukan kedamaian sejati. Tanpa melawan angin, kita akan dapat menghadapinya dengan tenang, belajar untuk menjadi satu dengan bumi yang menopang kita.

Perjalanan ini adalah cermin kehidupan itu sendiri—kita tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi, namun kita dapat memutuskan bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan ini. Seperti tanah yang tak pernah berhenti menerima, kita harus belajar untuk memberi tanpa mengharap balasan. Hanya dengan begitu kita akan menemukan kebebasan yang sejati, kebebasan yang datang dari pengertian dan penghormatan terhadap alam dan kehidupan. 

Dan di ujung perjalanan ini, saat kabut mulai menghilang dan matahari terbit dari balik awan, kita akan menemukan kedamaian yang sejati, seperti bunga yang mekar di tengah hutan yang sunyi.

(bersambung)

LihatTutupKomentar