Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (14)
![]() |
ilustrasi by AI. |
Malam itu di bawah langit Borneo yang dipenuhi bintang, ketiganya tidak hanya menyadari satu hal, tetapi juga memahaminya dalam-dalam: rahasia alam ini bukan untuk dijawab, melainkan untuk dihidupi. Sebab, kebenaran sejati adalah perjalanan tanpa akhir, yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang berani menghadapi gelap, dengan keyakinan bahwa cahaya akan selalu ada di ujung setiap langkah.
Langkah mereka adalah cerminan dari hati yang terus mencari, seperti aliran sungai yang tak henti-hentinya merambah hingga ke muara.
Tak ada jawaban instan atas misteri alam dan rahasia pohon sangao yang mereka alami. Kwee Seng Ong, Lim Khok Seng, dan Macan Gaikng membawa semua itu dalam benak, seperti beban ringan yang paradoksalnya semakin berat ketika direnungkan.
Pohon sangao itu berdiri seperti saksi bisu, menyimpan cerita yang lebih tua dari para dewa sekalipun.
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (13)
Para pendekar memahami bahwa tidak semua jawaban diberikan secara langsung. Tugas mereka bukanlah mengungkap segalanya, melainkan menemukan kunci pada waktunya. Alam, dengan segala keagungannya, menyembunyikan jawaban dalam jejak-jejak samar yang hanya bisa ditangkap oleh mata hati. Semua peristiwa, mereka sadari, adalah bagian dari alur takdir yang saling terhubung, seperti benang merah yang tak terlihat namun ada. Post factum, semuanya biasanya menjadi jelas—saat kita bisa menoleh ke belakang dan menemukan makna dari kepingan-kepingan pengalaman.
Di tengah lebatnya hutan belantara Borneo, malam menyelimuti dunia dengan misteri. Pohon-pohon raksasa berdiri seperti penjaga purba, dahan-dahannya melengkung seolah mencoba merengkuh langit. Kabut tebal menggantung rendah, meresap ke dalam setiap celah di antara dedaunan. Akar-akar besar mencuat dari tanah seperti ular yang melata, menciptakan labirin alami. Cahaya bulan merambat masuk melalui celah-celah kanopi hutan, memahat bayangan-bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Suara hewan malam membentuk simfoni misterius, berpadu dengan desau angin yang seakan membawa bisikan kuno dari zaman yang telah berlalu.
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)
Angin mendadak berhembus lebih kencang, membawa aroma asing—sebuah campuran antara bunga busuk dan tanah basah yang menyengat indera. Pepohonan bergoyang, bayangannya meliuk seperti tarian roh hutan. Lim Khok Seng mengangkat pandangannya, memecah keheningan dengan suaranya yang penuh kecemasan, “Mengapa di tanah baru ini, aku merasa diawasi setiap saat?”
Suara itu seperti bisikan yang terbang di antara dedaunan. Matanya yang tajam menyapu sekeliling, mencari sumber perasaan ganjil itu. Namun, bukan hanya kegelapan yang menyelubunginya. Ada sesuatu yang lebih tua dan lebih dalam, seolah hutan itu memiliki mata tak terlihat yang terus mengawasi setiap langkah mereka.
Di sisinya, Kwee Seng Ong berdiri diam, tubuhnya kokoh seperti karang yang menantang gelombang. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan ketakutan, hanya ketenangan yang mendalam. Ia memandang hutan seolah berbicara dengan pohon-pohon di sekitarnya, merasakan getaran hidup yang mengalir melalui akar-akar tua itu. “Ini bukan Negeri Tirai Bambu, Lim,” ujarnya perlahan. “Di sini, tanah berbicara, pohon-pohon menyimpan cerita, dan angin membawa pesan dari leluhur yang telah lama diam. Kita harus membuktikan diri layak melangkah di tanah ini.”
Lim Khok Seng mengerutkan dahi, mencoba memahami makna di balik kata-kata sahabatnya. Ia tahu, tanah ini berbeda dari kampung halamannya. Hutan Borneo adalah dunia yang penuh teka-teki, di mana logika manusia sering kali tidak berlaku.
“Kwee Seng,” ia bertanya ragu, “apakah kau percaya hutan ini memiliki nyawa?”
“Bukan hanya memiliki nyawa,” jawab Kwee Seng, suaranya penuh keyakinan, “tetapi juga ingatan. Ingatan tentang tamu yang datang dengan niat baik, dan tamu yang membawa kehancuran. Hutan ini tidak akan tinggal diam jika merasa terancam.”
Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak. Lim Khok Seng segera mencabut pedangnya, matanya menyipit memandang sumber suara itu. Namun, Kwee Seng hanya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk tetap tenang. Dari balik semak, muncullah seekor burung besar dengan bulu-bulu berwarna-warni yang berpendar lembut di bawah sinar rembulan. Burung itu menatap mereka dengan mata yang seolah menyimpan kebijaksanaan dunia lain.
“Itu penjaga,” bisik Kwee Seng. “Ia ada di sini untuk menguji keberanian kita. Jangan biarkan ketakutan menguasai hatimu.”
Lim Khok Seng menghela napas panjang, berusaha meredakan detak jantungnya yang berpacu. Ia menurunkan pedangnya perlahan, menyadari bahwa perjuangan ini bukan hanya melawan musuh yang kasat mata, tetapi juga melawan ketakutan dalam dirinya sendiri.
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)
Macan Gaikng, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya yang penuh goresan pengalaman memancarkan ketenangan. Ia menatap burung itu dengan senyum tipis, lalu berkata kepada kedua kawannya, “Dengarkan hati kalian. Di sini, semuanya berbicara—tanpa suara, namun jelas bagi mereka yang mau mendengar.”
Ketiganya bertukar pandang, lalu melangkah bersama lebih dalam ke hutan, menuju rahasia yang masih tersembunyi. Di bawah bayangan pohon-pohon sangao yang kokoh, mereka menyadari bahwa perjalanan ini bukan tentang menemukan jawaban, tetapi tentang mendengar bisikan-bisikan yang membimbing mereka ke kebenaran sejati. Kebenaran yang tidak ditemukan, tetapi dirasakan.