Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (13)

Sanggau, Hakka, Dayak, Fujian, novel, sejarah, Kwee Seng Ong, Tiongkok, Xiamen, Fuzhou, Marco Polo, Sanggau, Kalimantan Barat, Pontianak, Columbus

 

ilustrasi by AI.

Lim Khok Seng menggenggam pedangnya lebih erat, sementara Kwee Seng menatap tajam makhluk itu. Inilah saatnya untuk bertindak. Mereka hanya memiliki satu kesempatan untuk bertahan. Jika kekuatan mereka tidak bersatu, mereka tidak akan pernah keluar dari hutan ini hidup-hidup. 

Angin semakin kencang, dan udara semakin berat. Dari balik pepohonan, sebuah bayangan mulai terlihat. 

Bayangan itu bergerak seperti hantu yang meluncur di antara batang pohon yang besar. Suara peluit melengking tiba-tiba mengisi keheningan. Peluit itu seperti seruling iblis yang sedang merayakan kemenangan atas ketakutan. 

Baca narasi sebelumnya Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (12)

“Siapkan dirimu,” kata Kwee Seng Ong dengan tegas, matanya tak pernah lepas dari bayangan itu. “Kita tidak tahu apa yang akan datang, tapi kita harus siap.” 

Bayangan itu semakin mendekat. Menampilkan sosok tinggi dan ramping, matanya bersinar merah seperti bara yang tak pernah padam. Setiap langkahnya menggetarkan tanah, sementara angin yang berputar di sekitar mereka terasa semakin mencekam. 

"Apa ini?" tanya Lim Khok Seng, suara terkejut terdengar jelas di tengah malam yang mencekam. 

Bayangan itu berhenti beberapa langkah di depan mereka, wajahnya yang buram tampak tidak manusiawi. Wajah itu penuh dengan kekuatan yang membuat ketiganya merinding. 

“Kalian datang untuk takhta yang hilang,” suara itu terdengar serak, namun penuh kekuatan. “Takhta ini bukan milik kalian.” 

Macan Gaikng menghunus mandaunya lebih tinggi. “Kami tidak akan mundur! Kami akan merebut takhta ini, apa pun yang terjadi!” 

Sosok itu tertawa dingin. “Ha…. hwa… aaaaa!”

Suaranya seperti gema yang memantul dari setiap sudut hutan. “Kalian tidak mengerti apa yang kalian hadapi. Ini bukan sekadar takhta, ini adalah kutukan.” 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)

Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka bergetar hebat, dan pohon-pohon "sangao" di sekitar mereka tampak bergetar, seolah hidup. Macan Gaikng menahan langkahnya, merasakan ada sesuatu yang lebih besar yang mengintai mereka. 

"Berhenti!" teriak Kwee Seng Ong, mencoba menjaga jarak. "Jika kau memang ingin kami pergi, biarkan kami pergi dengan hidup!" 

Namun, sosok itu tetap diam, menatap mereka dengan mata yang menyala seperti bola api. Angin semakin kencang bertiup, membawa bau amis yang semakin kuat. Seolah mengisyaratkan kedatangan sesuatu yang lebih menakutkan. 

Lima detik berlalu, terasa seperti lima jam. Akhirnya, sosok itu bergerak mundur, menghilang ke dalam kegelapan hutan yang lebih dalam. Namun, suara peluit kembali terdengar, semakin dekat. 

“Apa itu?” tanya Kwee Seng Ong dengan waspada. 

Macan Gaikng menarik napas dalam-dalam. “Kita belum keluar dari bahaya.” 

Macan Gaikng menatap dengan hati-hati, lalu berkata, “Mari kita lanjutkan. Takhta itu menunggu, dan kita akan menemukannya.” 

Tanpa berkata dan berbantah-bantah lagi, ketiganya melangkah masuk lebih dalam ke dalam hutan. Mereka semakin jauh masuk hingga dekat dengan muara sungai Mengkiang, anak sungai Sekayam, menuju tempat yang mereka sendiri tidak tahu apa yang akan mereka temui. Tetapi satu hal yang pasti, perjalanan mereka akan mengubah segalanya. 

Di balik hutan yang semakin lebat, mereka merasakan kehadiran sesuatu yang lebih tua dari dunia ini. 

Suara-suara aneh semakin santer terdengar, dan langkah kaki mereka semakin berat. Tak ada satu pun dari mereka yang merasa aman. Dunia ini dipenuhi dengan rahasia yang belum seluruhnya terungkap. Mereka hanya mengikuti jalan yang membentang, tanpa tahu apa yang menunggu di ujungnya. 

Tiba-tiba, berkas cahaya muncul di kejauhan. Cahaya itu berkedip-kedip seperti nyala api. Ketiganya mempercepat langkah, berharap menemukan petunjuk tentang takhta yang mereka cari. Tetapi semakin dekat mereka, semakin jelas bahwa cahaya itu bukanlah petunjuk. Itu adalah jebakan. 

Cahaya itu datang dari sebuah gua yang tersembunyi di bawah bebatuan besar. Di pintu gua, ada simbol-simbol yang tidak mereka kenal. Semua simbol itu tampak seperti peringatan, namun mereka tidak punya pilihan selain masuk. Takhta yang hilang itu menunggu. Dan hanya satu jalan yang bisa mereka ambil. 

Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Mereka melangkah, masuk ke dalam gua. Mata mereka semakin terbiasa dengan gelap. Suara-suara aneh semakin keras, seperti ribuan bisikan yang datang dari kedalaman bumi. Tiba-tiba, tanah di bawah mereka mulai bergetar lagi. Gua itu seperti hidup, menyambut kedatangan mereka dengan cara yang membuat merinding semua bulu-roma. 

Seperti kidung para dewa yang melayang-layang di hampa udara, di antara bintang dan kabut, misteri alam tak pernah memberikan jawaban utuh. 

Pohon Sangao yang berdiri di tepi aliran sungai purba itu menyimpan cerita yang tak pernah selesai, seperti lembar-lembar daun yang gugur sebelum tinta takdir mencatat semuanya. 

Tiga pendekar itu —Kwee Seng Ong, Lim Khok Seng, dan Macan Gaikng— menatap keheningan malam setelah badai kekuatan alam berlalu, tetapi rahasia yang baru saja mereka hadapi tetap tertutup rapat. Tidak ada celah untuk merangkai makna dari apa yang baru saja mereka lalui. 

“Para dewa, mereka hanya mengungkapkan setetes rahasia dari lautan yang luas,” bisik Kwee Seng Ong dengan suara serak, tatapan matanya menembus kegelapan. Ia sadar, kebenaran seringkali adalah serpihan kecil yang hanya bisa ditemukan setelah perjalanan panjang, setelah debu-debu hidup telah mengendap dan jiwa telah menemukan ketenangannya. 

“Tugas kita bukan meminta jawaban, tapi menjadi penjaga pertanyaan itu,” lanjutnya, dengan kebijaksanaan yang tak diragukan lagi telah menempa hatinya di bawah palu nasib. 

Lim Khok Seng memandang ke muka, ke arah gelap gulita belantara hutan yang menyembunyikan lebih banyak rahasia daripada yang bisa diungkapkan lidah manusia. Ia menghela napas dalam, mengingat kata-kata gurunya yang dulu mengajarkan bahwa semua yang terlihat hanyalah bayangan dari kebenaran yang sejati. "Post factum, kebenaran akan terungkap," gumamnya pada dirinya sendiri, “tapi hanya bagi mereka yang berani menoleh ke belakang tanpa takut pada bayang-bayang masa lalu.” 

Macan Gaikng, yang darah nenek moyangnya mengalir seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti, tetap diam. Ia memahami bahwa peristiwa yang terjadi malam ini bukan hanya sebuah akhir, tetapi awal dari sesuatu yang lebih besar. “Lanjaran,” katanya pelan, menyebut istilah yang hanya dikenal oleh mereka yang hidup menyatu dengan bumi dan langit. “Segala sesuatu yang terjadi adalah jejak bagi masa depan. Bahkan daun yang jatuh hari ini akan menjadi pupuk bagi pohon yang tumbuh esok hari.” Kata-katanya bergema dengan kedalaman jiwa yang telah hidup lebih lama dari usia tubuhnya. 

Ketiganya berdiri dalam keheningan, seperti patung yang menjaga rahasia zaman. Di dalam hati mereka, rahasia-rahasia itu berputar, menjadi benih-benih pemahaman yang akan tumbuh seiring waktu. Hanya manusia yang telah merendahkan dirinya di hadapan alam semesta, yang telah belajar mencintai tanpa pamrih seperti para biksu di biara-biara kuno, yang dapat menatap dunia ini dengan mata batin yang terang. 

Para pendekar tahu bahwa tugas mereka adalah membawa misteri ini sebagai beban dan berkah, hingga suatu hari semua benang takdir terjalin menjadi kain kehidupan yang sempurna.

(bersambung)

LihatTutupKomentar