Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (9)

Hakka, Sanggau, Khek, Tionghoa, Macan Gaikng, Kalimantan Barat, Vihara, toapekong, migrasi, Fujian, Cina, Tiongkok, Borneo, Varuna-dvipa, Kalimantan

Ilustrasi by AI.

Langit menggantung kelam, berat oleh kabut yang menyesap dari lembah-lembah gelap Borneo. Angin yang membawa aroma tanah basah merayap pelan, seperti pembawa pesan bagi hutan purba yang menyimpan rahasia. Batu Balah, sebuah perkampungan kecil yang damai di kaki bukit, berubah menjadi panggung bagi pertarungan hidup dan mati. 

Suara genderang jauh terdengar seperti detak jantung raksasa yang bangkit dari perut bumi, diselingi gemuruh langkah pasukan yang kian mendekat.

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Di tengah gulita itu, Macan Gaikng berdiri di tepi perkampungan. Sosoknya tampak seperti bayangan yang dilukis cahaya rembulan yang enggan menampakkan wajahnya malam itu. Matanya menyipit, memandang ke arah gemuruh yang mendekat. Ia tahu betul, malam ini bukan sekadar pertempuran biasa. Ini adalah ujian bagi manusia: apakah mereka akan terus tunduk pada kebencian yang buta, atau memilih keberanian untuk melawan kegelapan dalam diri mereka sendiri.

Saat fajar mulai mengintip malu-malu dari balik bukit, pasukan musuh telah tiba. Mereka bergerak seperti gelombang hitam yang hendak menelan Batu Balah. Pemimpin mereka, seorang pria kekar dengan mata seperti bara api, maju paling depan, membawa pedang besar yang memantulkan sinar keemasan matahari pagi.

"Penduduk Batu Balah!" teriaknya, suaranya mengguncang lembah. "Serahkan pemimpin kalian, Macan Gaikng, atau kami akan membakar tempat ini hingga jadi abu!"

Namun dari balik barisan penduduk yang ketakutan, Macan Gaikng melangkah maju. Tubuhnya tegap, langkahnya seperti gemuruh petir yang mendahului badai. "Aku di sini," katanya pelan, namun suaranya menembus jantung setiap orang yang mendengarnya.

Pemimpin pasukan itu tertawa, tawa yang kosong dan tanpa jiwa. "Kau datang untuk menyerahkan diri? Baiklah, pendekar besar! Mari kita lihat, apakah kisah tentang 'Macan Gaikng' itu hanya mitos untuk menakut-nakuti anak kecil!"

Pertarungan dimulai seperti gemuruh badai yang menghantam samudra. Pemimpin musuh menyerang dengan gerakan yang ganas, setiap ayunan pedangnya seakan hendak membelah udara itu sendiri. Namun, Macan Gaikng tetap tenang. Ia bergerak seperti bayangan, lincah dan sulit disentuh.

"Mengapa kau bertarung, wahai manusia?" ujar Macan Gaikng di sela serangan yang ia hindari. "Apakah kau percaya bahwa kekuatan fisik adalah segalanya? Pedangmu hanya simbol dari kehampaan yang kau pelihara."

Pemimpin musuh terdiam sejenak, tapi hanya untuk menyerang lebih keras lagi. "Diamlah, filsuf pengecut!" teriaknya, namun kemarahannya tak mampu menyentuh inti jiwa Macan Gaikng.

Serangan demi serangan, pukulan demi pukulan, semuanya dihadapi Macan Gaikng dengan ketenangan yang menyerupai samudra luas. Sementara itu, para prajurit yang menyaksikan mulai ragu. Mereka melihat sesuatu yang berbeda dalam sosok Macan Gaikng. Ia tidak hanya bertarung dengan tubuh, tetapi dengan jiwa yang penuh keteguhan.

Saat pertempuran semakin memanas, Macan Gaikng tiba-tiba berhenti. Ia berdiri diam, memandang musuhnya dengan tatapan tajam yang penuh belas kasih. "Kebencianmu adalah rantai yang mengikat jiwamu," katanya perlahan. "Jika kau terus memeliharanya, maka rantai itu akan menjadi belenggu yang membinasakanmu."

Pemimpin musuh terdiam. Dalam keheningan itu, suara hati kecil yang telah lama ia abaikan mulai berbicara. Pedang di tangannya terasa berat, bukan karena logamnya, tetapi karena dosa-dosa yang menyertainya. Perlahan, pedang itu terjatuh, menancap di tanah, menggetarkan bumi seperti lonceng kematian bagi egonya.

Para prajurit yang melihat itu ikut meletakkan senjata mereka. Sebuah keheningan yang menggetarkan jiwa menyelimuti medan pertempuran.

Macan Gaikng tidak merayakan kemenangan itu. Ia tahu bahwa perang terbesar bukanlah antara pedang dan perisai, tetapi antara hati manusia dan kegelapan dalam dirinya sendiri. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju sebuah batu besar di tepi perkampungan. Ia duduk di sana, memandang cakrawala yang perlahan mulai berwarna keemasan.

Seorang anak kecil mendekatinya, membawa sebuah kendi air. "Tuan, apakah kau akan tinggal bersama kami?" tanya anak itu dengan polos.

Macan Gaikng tersenyum, senyuman yang memancarkan kedamaian yang dalam. "Aku hanyalah seorang musafir, nak. Tugasku adalah melangkah, mencari kebenaran, dan meninggalkan jejak di hati manusia."

Malam itu, saat bintang-bintang mulai muncul di langit yang bersih, Macan Gaikng berdiri di tepi hutan. Penduduk Batu Balah berkumpul, memandangnya dengan rasa hormat yang mendalam.

"Terima kasih, Macan," kata seorang lelaki tua dengan suara bergetar. "Kau telah menunjukkan kepada kami bahwa kekuatan sejati tidak berasal dari pedang, tetapi dari hati yang bersih."

Macan Gaikng tidak menjawab. Ia melangkah masuk ke dalam hutan, kabut menyelimuti tubuhnya seperti tirai yang memisahkan dunia nyata dari dunia para dewa.

Di dalam hutan itu, langkahnya tetap mantap. Ia tahu, panggilan keadilan akan selalu membimbingnya, ke tempat-tempat di mana hati manusia masih terbelenggu oleh kebencian. Sebab, seperti yang ia percaya, "Kebesaran sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri."

Langit yang malam itu tampak kelam mendadak terasa terang, seolah alam pun memberi hormat kepada seorang pendekar tanpa pedang yang telah memilih jalan kebenaran.

(Bersambung)

LihatTutupKomentar