Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (8)
ilustrasi by AI. |
Hujan rintik masih turun, membasahi tanah yang becek, sementara Macan Gaikng berdiri tegak seperti patung batu di tengah kabut pagi. Wajahnya dingin, pandangan matanya tajam menembus cakrawala, namun hatinya penuh gejolak. Ia menggenggam mandaunya erat, senjata itu berkilauan samar dalam remang subuh.
“Domia Jamu,” suara Macan Gaikng dalam namun penuh getar, seperti gemuruh ombak yang menghantam karang. “Dosa-dosamu tak bisa kau tebus hanya dengan air mata. Tapi aku bukan hakim, dan bukan pula algojo. Hanya Tuhan yang bisa menentukan jalanmu. Namun, bila kau ingin membalas dendam, jangan gunakan nyawa orang-orang tak berdosa sebagai tameng. Datanglah kepadaku, aku akan menerima.”
Wanita itu, dengan rambut basah menempel di wajahnya, tertawa kecil namun getir. “Macan Gaikng, kau pikir aku masih menyimpan dendam padamu? Tidak... dendamku telah lama membara, membakar diriku sendiri. Aku tak butuh belas kasihanmu!”
“Belas kasihan?” Macan Gaikng tersenyum tipis, namun senyumnya itu lebih tajam dari mata mandau di tangannya. “Tidak ada belas kasihan dalam perjalanan ini. Aku hanya membawa keadilan. Dan keadilan tak pernah memilih sisi—ia hanya meluruskan yang bengkok, meski itu berarti menghancurkan yang salah.”
Domia Jamu terdiam, matanya menatap Macan Gaikng dengan campuran benci dan kekaguman. Lelaki itu memang bukan manusia biasa. Langkahnya penuh kepastian, seperti takdir yang tak bisa ditawar. Ia adalah pedang yang melawan gelap, namun pedang itu juga mengiris dirinya sendiri.
“Kalau begitu, Macan Gaikng,” kata Domia Jamu pelan namun tajam, “bawa keadilanmu itu ke Batu Balah. Kampung itu akan jadi kuburanmu.”
Macan Gaikng hanya mengangguk ringan, tak ada rasa gentar dalam wajahnya. “Jika itu jalanku, biarlah begitu. Tapi ketahuilah, Domia Jamu, tidak ada kuburan yang mampu membelenggu kebenaran.”
Ia berbalik perlahan, melangkah meninggalkan wanita itu yang kini terduduk di tanah, tubuhnya gemetar antara dendam dan keputusasaan.
Langkah Macan Gaikng terasa berat, namun mantap. Di sepanjang perjalanan menuju Batu Balah, bayang-bayang masa lalu melintas seperti sembilu yang menyayat hati. Darah yang tertumpah, tangisan orang-orang yang ia gagal lindungi, dan dosa yang tak pernah bisa ia hapus. Namun, ia tahu, setiap langkahnya adalah penebusan, setiap ayunan mandaunya adalah doa yang ia panjatkan untuk tanah yang ia cintai.
Setiba di Batu Balah, ia melihat kampung itu telah terkepung oleh puluhan lelaki bersenjata. Di depan mereka, berdiri seorang lelaki bertubuh kekar dengan senyum licik di wajahnya.
“Kau akhirnya datang, Macan Gaikng!” serunya lantang. “Aku sudah menunggu lama untuk menghadapimu!”
Macan Gaikng tak menjawab. Ia hanya menatap lelaki itu dengan dingin, lalu menghunus mandaunya perlahan. “Kalau kau mencari kematian, aku tak akan menghalangimu.”
Pertempuran pun tak terhindarkan. Macan Gaikng bergerak seperti kilat, tubuhnya berkelebat di antara para penyerang. Mandau di tangannya menari, melibas senjata musuh seolah mereka hanyalah bayangan kosong.
“Ini untuk tanahku!” serunya, suaranya bergema di tengah hujan deras.
Dan di antara kilatan mandau dan teriakan musuh yang berjatuhan, Macan Gaikng terus maju, membawa beban tanah leluhur di pundaknya, dan nyala api keadilan di hatinya.gian ini dengan fokus pada pertempuran, atau memperluas cerita dengan plot tambahan?
Macan Gaikng berdiri di tengah-tengah lingkaran musuh, mandaunya berkilau merah oleh sinar mentari yang memantul dari darah musuh. Hujan deras terus mengguyur, tapi tubuhnya tetap kokoh bagai batu karang yang dihantam gelombang. Di hadapannya, seorang lelaki bertubuh kekar dengan dada telanjang yang penuh tato, menghunus tombak panjang.
“Kau memang tangguh, Macan Gaikng,” suara lelaki itu terdengar seperti geraman harimau lapar. “Tapi ketangguhanmu tak akan cukup untuk menyelamatkan kampung ini. Batu Balah akan menjadi milikku!”
Macan Gaikng mengamati lelaki itu sejenak, menilai setiap gerak tubuh dan kelemahan yang tersembunyi. “Batu Balah adalah tanah leluhur. Tidak ada tempat bagi orang sepertimu yang hanya tahu menjarah dan menghancurkan. Jika kau mau merebutnya, kau harus melewati aku dulu.”
Lelaki bertombak itu tertawa keras. “Bagus! Aku sudah menunggu lama untuk ini. Bersiaplah, Macan Gaikng, aku akan mengakhiri hidupmu di sini!”
Pertempuran dimulai. Lelaki bertombak itu melancarkan serangan kilat, tombaknya menyambar seperti ular berbisa. Namun, Macan Gaikng bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, menghindar dengan lincah sambil memutar mandaunya untuk menangkis setiap serangan. Bunyi logam beradu terdengar nyaring, memekikkan telinga para prajurit yang mengelilingi mereka.
“Cepat juga kau, harimau tua!” ejek lelaki itu sambil menyerang dengan serangkaian tusukan maut.
Macan Gaikng tak menjawab. Ia hanya mengandalkan nalurinya, menggeser tubuhnya dengan akurasi sempurna, membuat setiap serangan lawan hanya mengenai udara kosong. Sesekali, ia membalas dengan ayunan mandau yang memaksa lelaki itu mundur selangkah.
Di luar lingkaran pertempuran, para prajurit lawan mulai gusar. Mereka melihat pemimpin mereka mulai tertekan, sementara Macan Gaikng tetap tenang seperti air sungai yang mengalir.
“Selesaikan dia, Kepala Tombak!” salah satu prajurit berteriak, suaranya menggema di tengah hujan.
Mendengar itu, lelaki bertombak menggeram keras. Ia melompat mundur, lalu mengayunkan tombaknya dengan kekuatan penuh, menciptakan angin kencang yang memaksa Macan Gaikng melompat ke belakang.
Namun, itu adalah kesalahan fatal. Dalam satu gerakan cepat, Macan Gaikng melemparkan pisau kecil yang ia sembunyikan di sabuknya. Pisau itu melesat cepat, menembus bahu lawannya dan membuat tombaknya terjatuh ke tanah.
“Aaaargh!” lelaki itu berteriak kesakitan, darah mengucur deras dari lukanya.
Macan Gaikng tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia melangkah maju dengan langkah yang mantap, mengarahkan mandau ke leher lawannya.
“Ini adalah akhir perjalananmu,” kata Macan Gaikng dengan suara rendah namun tegas.
Namun, sebelum mandau itu mengakhiri segalanya, lelaki itu tersungkur ke tanah, gemetar. “Ampuni aku! Jangan bunuh aku!” katanya sambil menatap Macan Gaikng dengan mata penuh ketakutan.
Macan Gaikng terdiam sejenak. “Keadilan tidak selalu berarti kematian,” katanya, lalu menurunkan mandaunya. “Pergilah dari sini. Jangan pernah kembali, atau aku tidak akan memberikan ampunan kedua.”
Lelaki itu terseret oleh para prajuritnya yang ketakutan, meninggalkan Batu Balah. Di belakang mereka, kampung itu bersorak sorai, merayakan kemenangan yang penuh haru.
Namun, Macan Gaikng tidak ikut bersukacita. Ia hanya berdiri diam, memandang jauh ke horizon yang masih kelam. Ia tahu, pertempuran ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya.
(bersambung)