Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (7)
Ilustrasi by: AI. |
Di bawah langit kelam yang membalut malam itu, hujan semakin deras, menenggelamkan segala suara selain gemuruh air yang jatuh ke bumi.
Namun, di antara mereka berdua—Macan Gaikng dan wanita itu—keheningan menjadi palu yang menghantam hati mereka, lebih keras dari badai mana pun.
Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)
Macan Gaikng berdiri tegap, tubuhnya dibasahi oleh hujan yang mencuci luka-luka lamanya. Wajahnya yang keras kini menampakkan kelembutan yang asing, sebuah tanda bahwa dia telah kalah—bukan oleh wanita di hadapannya, melainkan oleh dirinya sendiri. Kilatan di matanya telah berubah, bukan lagi mata seekor macan yang haus darah, melainkan mata seorang pria yang mulai memahami arti dari kehancuran yang ia ciptakan.
“Dosa itu tak dapat kuhapus dengan ucapan maaf, tak pula dengan pengorbanan nyawa sekalipun,” ucap Macan Gaikng, suaranya serak oleh penyesalan. “Namun, biarkan aku mencoba. Jika harus menapaki jalan berduri hingga akhir hayat, aku akan melakukannya, meski aku tahu itu takkan cukup bagimu.”
Wanita itu, yang wajahnya dihiasi oleh air mata bercampur hujan, menatapnya dengan tajam. Ada kemarahan yang membara di dalam matanya, seperti api yang menolak padam meski diguyur hujan. Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang tak mampu ia sembunyikan: sebuah cinta yang pernah begitu dalam, namun kini menjadi luka yang terus menganga.
“Cinta?” desisnya, nyaris seperti bisikan hantu. “Apa yang kau tahu tentang cinta, Gaikng? Cinta bukan hanya tentang memberi, tapi juga menjaga. Kau... kau menghancurkan segalanya. Kau menghancurkan keluargaku, mimpiku, masa depanku. Dan sekarang, kau berdiri di sini, berbicara tentang penyesalan?” Suaranya meninggi, menembus deru hujan, membuat Macan Gaikng tersentak.
Namun, ia tidak melawan. Tidak seperti dulu, ketika harga dirinya lebih tinggi dari gunung mana pun. Kali ini, ia hanya menunduk, membiarkan amarah wanita itu menghujamnya seperti ribuan belati.
“Kau benar,” jawab Macan Gaikng akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh hujan. “Aku tak tahu apa itu cinta. Aku hanya tahu bagaimana mengambil, bagaimana merusak, bagaimana membunuh. Aku adalah macan yang tak pernah tahu bagaimana caranya berhenti. Tapi malam ini... aku ingin belajar.”
Wanita itu terdiam. Kata-kata Gaikng terdengar asing di telinganya. Gaikng yang ia kenal bukanlah pria yang berbicara dengan kelembutan. Pria yang berdiri di hadapannya malam ini bukanlah sosok yang menghancurkan keluarganya dengan tawa kemenangan. Tapi, apakah itu cukup? Apakah ia bisa mempercayainya lagi?
“Hujan ini,” gumam wanita itu, setengah berbicara kepada dirinya sendiri. “Hujan ini mengingatkan aku pada malam itu, malam ketika keluargaku terhapus dari dunia. Kau membawa badai, Gaikng. Badai yang merenggut segalanya dariku. Dan kini kau berharap aku bisa percaya bahwa badai itu telah reda?”
Gaikng menatapnya, tatapannya penuh luka yang tak terkatakan. Ia ingin menjawab, ingin berjanji, namun lidahnya terasa kelu. Apa arti kata-kata di hadapan luka yang begitu dalam? Apa arti janji di tengah hujan darah yang telah ia tumpahkan?
“Aku tak meminta maafmu,” kata Gaikng akhirnya. “Aku tahu aku tak pantas mendapatkannya. Tapi aku ingin kau tahu, aku akan mengubah badai ini. Aku akan mengembara, mencari penebusan, bahkan jika itu berarti aku harus menyerahkan nyawaku.”
Wanita itu tertawa kecil, suara tawanya penuh kepedihan. “Penebusan? Kau pikir itu akan menghapus rasa sakitku? Kau pikir itu akan membawa keluargaku kembali?”
“Tidak,” jawab Gaikng, suaranya mantap. “Tapi itu akan menjadi langkah pertama. Langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Aku ingin mencoba, meski aku tahu itu tidak akan pernah cukup.”
Hujan semakin deras, seakan langit pun menangisi pertemuan mereka. Wanita itu menatap Gaikng untuk terakhir kalinya sebelum berbalik, meninggalkan pria yang pernah menghancurkan dunianya. Namun, sebelum langkahnya menjauh, ia berhenti, tanpa menoleh, berkata dengan suara yang nyaris tenggelam oleh hujan:
“Jika kau benar-benar ingin menebus dosa-dosamu, maka buktikan. Jangan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Hanya waktu yang akan menunjukkan apakah badai itu benar-benar telah reda.”
Macan Gaikng mengangguk pelan, meski wanita itu tak melihatnya. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Dan di tengah hujan yang mengguyur, ia berdiri sendirian, bertekad untuk melawan badai dalam dirinya sendiri. Sebab, di balik hujan, ada harapan akan tanah yang hijau kembali, meski itu berarti ia harus mengorbankan segalanya.
Tanyaannya menggantung di udara, tetapi Macan
Gaikng tahu satu hal: hujan itu memang tak akan pernah berhenti, namun ada
kemungkinan bahwa, meskipun hujan turun dengan deras, suatu hari ia akan
berhenti, dan tanah yang basah itu bisa mulai ditumbuhi sesuatu tanaman, entah
apa, yang baru. Sesuatu yang lebih kuat, lebih tahan lama, dan lebih berharga.
"Jika ada kesempatan, aku akan berusaha untuk memperbaikinya. Aku akan mengembara untuk menemukan kedamaian. Tidak hanya untuk diriku, tetapi juga untukmu, untuk kita," jawab Macan Gaikng, penuh tekad.
Wanita itu hanya mengangguk pelan, dan mereka
berdua berdiri di tengah hujan yang turun semakin deras; saling diam,
masing-masing dengan beban yang berbeda, tetapi satu hal yang pasti bahwa perjalanan
ini, meskipun penuh dengan rasa sakit, mungkin akan membawa mereka menuju suatu
titik yang lebih baik, suatu titik di mana air mata mereka bisa menjadi hujan
yang menyuburkan tanah yang telah lama gersang.
(bersambung)