Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (6)

Kwee, Macan Gaikng, Dayak, Hakka, Khek, Sanggau, Kalimantan Barat, Kalbar, Pontianak, Singkawang, Pemangkat

 

Ilustrasi by AI.

"Kalian adalah pengkhianat!" suaranya menggema seperti guntur, membuat semua orang terperanjat. Kepala pedukuhan, yang sebelumnya tampak tenang, mendadak pucat pasi. 

"Macan, kau tidak mengerti situasi kami!" Kepala pedukuhan berusaha membela diri. "Jika kami tidak menyerahkan mereka, seluruh desa akan hancur!" 

Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (5)

"Tidak ada kehormatan dalam penyerahan seperti itu," balas Macan Gaikng dingin. "Aku akan melindungi pedukuhan ini. Tapi aku tidak akan melindungi pengkhianat." 

Dalam satu gerakan cepat, ia menebaskan pedangnya, menjatuhkan kepala pedukuhan di depan semua orang, sebuah peringatan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. 

Namun kejutan sebenarnya datang keesokan paginya.

Saat desa bersiap untuk bertahan dari serangan Gerombolan Bulan Kelabu, seorang pengintai datang dengan wajah panik. "Mereka sudah di sini!" teriaknya. "Tapi mereka tidak menyerang… mereka hanya berdiri di sana, seperti menunggu sesuatu." 

Ketika Macan Gaikng keluar untuk menghadapi mereka, ia menemukan bahwa pemimpin Gerombolan Bulan Kelabu, seorang wanita muda dengan tatapan tajam dan bekas luka di wajahnya, mengenalinya. "Macan Gaikng," katanya dengan suara dingin, "Apakah kau masih ingat aku?" 

Dan seketika itu, Macan Gaikng membeku. Wanita itu adalah adik perempuan dari orang yang pernah ia bunuh bertahun-tahun lalu, dalam sebuah pertarungan yang ia pikir sudah lama terkubur dalam sejarah. Kini, ia berdiri di hadapannya, membawa dendam dan gerombolan yang haus darah. Tetapi dalam tatapannya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebencian: ada rasa sakit dan luka yang belum terobati. 

Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Di hening malam yang pekat, angin berdesir membawa bisikan masa lalu yang terlupakan. Di atas padang ilalang yang diterangi sinar rembulan, Macan Gaikng berdiri tegak, tubuhnya kaku, seakan waktu tiba-tiba berhenti berputar. Matanya terfokus pada seorang wanita yang berdiri di hadapannya, wajahnya samar-samar terlindung bayang-bayang gelap. Namun, Macan Gaikng tahu, di balik wajah itu, ada cerita yang sangat akrab—sebuah cerita yang berakar dalam ingatannya, lebih dalam dari rasa sakit yang pernah ia alami. 

Wanita itu, ya benar sekali, tak salah lagi, adalah adik perempuan dari orang yang pernah ia bunuh bertahun-tahun lalu, dalam pertarungan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Ketika itu, Macan Gaikng masih muda, penuh gairah dan semangat untuk membuktikan dirinya sebagai pendekar yang tak terkalahkan. Tetapi kemenangan itu datang dengan harga yang sangat mahal, karena darah yang tertumpah bukan hanya darah musuhnya, tetapi juga darah seorang sahabat. Sebuah kesalahan yang sangat dalam lagi fatal, yang hingga kini masih membayangi langkahnya, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa waktu telah lama menyembuhkan luka itu. Namun, kini, wanita itu muncul kembali, membawa amarah yang telah dipendam bertahun-tahun, membawa gerombolan yang haus darah, siap membalaskan dendam yang belum terbayar. 

Tatapan mata wanita itu bukan hanya mengandung kebencian, tetapi juga suatu kepedihan yang mendalam, seperti sebuah luka yang tak kunjung sembuh. 

Dalam tatapan itu, Macan Gaikng bisa merasakan setiap tetes air mata yang telah jatuh di malam yang sepi, setiap malam yang dihabiskan dengan memendam kebencian, dan setiap detik yang dipenuhi dengan penantian akan hari ini —hari ketika ia akan bertemu dengan orang yang telah merenggut nyawa orang yang paling ia cintai. 

Tapi ada yang lebih. Sesuatu yang melampaui dari sekadar kebencian. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Ada rasa sakit yang sangat dalam, yang menembus jiwa, dan ada luka yang telah lama terpendam, yang seolah ingin keluar dan mengakhiri semuanya. Dalam hati Macan Gaikng, pertempuran itu bukan sekadar soal hidup dan mati, tetapi juga tentang kesalahan yang harus ditebus, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. 

Saat itu, dunia di sekelilingnya seolah lenyap. Alam semesta terasa tak lebih dari sebuah bayangan yang mengambang di udara. Tanah yang keras di bawah kakinya mulai berguncang, seolah menandakan bahwa waktu telah mencapai titik nadirnya kembali. Waktu yang tak pernah berhenti, waktu yang berputar mundur dan maju tanpa ampun. Apa yang terjadi di masa lalu, kini terulang kembali, namun dengan satu perbedaan yang sangat mencolok: kali ini, bukan hanya darah yang akan mengalir, tetapi juga hati yang akan hancur berkeping-keping. 

Perempuan itu, dengan segenap kebenciannya, melangkah maju. Namun di balik langkahnya yang penuh ancaman, Macan Gaikng melihat sesuatu yang lain. Seperti bayangan yang muncul dari masa depan, sebuah pertarungan tak hanya antara tubuh mereka, tetapi antara jiwa yang saling terhubung. Wanita itu bukan hanya datang untuk membalas dendam, tetapi untuk menyelesaikan sesuatu yang lebih besar dari yang mereka pahami. 

"Apakah kau siap untuk menghadapinya?" suara Macan Gaikng bergema di antara keheningan malam, meskipun dalam hatinya, ia tahu, bahwa jawaban atas pertanyaan itu bukan lagi hanya tentang keberanian atau kebijaksanaan. Tetapi tentang apakah mereka siap menghadapinya, dan apakah mereka siap untuk menerima akibat dari tindakan yang sudah lama terlupakan. 

Dalam kilatan mandau yang melesat di udara, tubuh mereka bergumul dalam pertempuran yang bukan hanya menguji ketahanan fisik, tetapi juga kekuatan hati. Setiap sabetan mandau, setiap langkah dalam pertempuran ini bukan hanya soal menang atau kalah, tetapi soal mengubah takdir yang telah mereka ciptakan sendiri. Apa yang mereka lakukan sekarang akan menentukan apakah mereka akan tetap terjebak dalam lingkaran masa lalu, atau apakah mereka akan mampu mengubah masa depan yang lebih baik. 

Namun, di balik pertarungan itu, Macan Gaikng menyadari sesuatu yang lebih penting: kadang-kadang, pertempuran terbesar yang harus kita hadapi bukanlah melawan musuh di depan kita, tetapi melawan diri kita sendiri: kesalahan, penyesalan, dan beban yang telah kita bawa sepanjang hidup. Ketika pertempuran ini berakhir, mungkin tidak akan ada pemenang. Yang ada hanya dua jiwa yang telah diperbarui oleh pelajaran yang sangat pahit, dan dua orang yang akhirnya memahami bahwa pengampunan dan penyembuhan adalah jalan menuju kedamaian. 

Namun, hingga detik terakhir, Macan Gaikng hanya bisa berdiri diam, memandang wanita itu yang kini berdiri di hadapannya, siap untuk mengakhiri semuanya; atau mungkin, baru saja memulai perjalanan baru yang jauh lebih berat dan penuh pengorbanan. 

Kwee, pada waktu yang bersamaan, tanpa sengaja melintasi desa itu dalam perjalanannya, tiba tepat pada saat ketegangan mencapai puncaknya.

Kedua pendekar ini, yaitu dirinya dan Macan Gaikng, masing-masing membawa dan terbebani oleh beratnya dosa masa lalu yang terus menghantui mereka, kini harus bekerja sama menghadapi ancaman yang jauh lebih besar. Tapi bisakah mereka benar-benar mempercayai satu sama lain, ketika rahasia yang mereka simpan bisa menjadi kehancuran mereka? 

Kedua perjalanan ini, baik Kwee maupun Macan Gaikng, meskipun terpisah oleh waktu dan tempat, memiliki tujuan yang sama: untuk membawa kedamaian dan harapan kepada orang-orang yang terlupakan. Mereka berdua, dari etnis yang berbeda, dalam cara mereka masing-masing, mewakili pencarian yang tak pernah padam, pencarian untuk menghadirkan perubahan yang lebih baik di dunia yang penuh ketidakpastian ini. 

Akan tetapi, darah pada malam itu tidak pernah mengering dalam ingatan Macan Gaikng. Setiap tetes merah tanda kehidupan yang jatuh ke tanah, seakan membekas dalam jiwa, mengguratkan luka yang semakin dalam. Suara mandau yang saling bersentuhan, teriakan kematian yang memenuhi udara, adalah hal-hal yang terus menghantui langkahnya. Di hadapannya, wanita itu berdiri dengan tatapan bukan saja amarah tetapi juga penuh dendam, selain penuh luka. Gaikng tahu apa yang ada di balik tatapan itu. Perempuan yang pernah diam-diam mencintainya, yang sebenarnya pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini menjadi bayangan dari dosa yang tak pernah bisa ia lupakan. 

Macan Gaikng memandangnya, tubuhnya tegak, namun hatinya terguncang. Ada kebencian di dalam dirinya, tetapi ada sesuatu yang lebih besar yakni sesuatu yang lebih menuntut. Di balik penyesalan yang menyesakkan, ada satu hal yang semakin jelas dalam pikirannya: kesalahan masa lalu tak akan bisa diubah, namun masa depan masih bisa untuk diperjuangkan. 

Wanita itu tersenyum, namun senyuman itu penuh kepahitan. “Kau pikir kau bisa melupakan semuanya begitu saja, Gaikng? Semua yang telah kau lakukan? Semua yang telah kau hancurkan?” suaranya keras, penuh amarah. “Apa yang telah terjadi antara kita, tidak akan pernah hilang, bahkan jika kau melarikan diri sejauh mungkin!” 

Macan Gaikng terdiam. Suara wanita itu menghujamnya seperti petir yang membelah langit. Setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah pengingat akan kesalahan yang ia lakukan bertahun-tahun lalu. Ia berpaling, mencoba menenangkan dirinya, tetapi bayangan masa lalu terus datang, membayangi langkahnya. Cinta yang telah ia abaikan, hidup yang ia hancurkan, dan semua yang telah ia lakukan dengan tangannya sendiri. Betapa jauhnya dia telah pergi, betapa besar dosa yang telah dia pikul. 

“Tapi aku tidak bisa lari lagi,” kata Macan Gaikng dengan suara serak. “Aku tidak bisa menghindar dari kenyataan ini.”

(bersambung)

LihatTutupKomentar