Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (12)

Hakka, Fujian, Singkawang, Gaikng, Pontianak, Khek, Kalimantan Barat, Sanggau, Kwe Seng Ong, Lim Khok seng, Cina, Tiongkok

 

ilustrasi by AI.

Di antara pepohonan yang rimbun, tiba-tiba bayangan hitam melintas begitu cepat, seakan melayang di udara. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (11)

Kwee Seng menarik pedangnya, sedangkan Lim Khok Seng mempersiapkan diri. Namun, yang mereka hadapi bukanlah musuh biasa. Itu adalah wujud dari ilmu langit yang mengerikan, ilmu yang bahkan langit pun takut untuk menyaksikan. Setiap gerakan Macan Gaikng adalah bagaikan cakar yang menyambar dengan kekuatan tujuh bintang, menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. 

Tanpa ampun, Macan Gaikng muncul dari bayangan, tubuhnya besar dan kuat, dengan mata yang berkilat tajam, penuh dengan kebencian dan amarah. Ilmu alam yang dipimpinnya begitu kuat, seakan-akan dunia ini bukan milik manusia lagi. 

"Kalian bukan siapa-siapa di tanah ini," katanya dengan suara yang seperti guntur, menggetarkan bumi. "Hutan ini adalah milikku, milik kami. Ilmu alam ini adalah hukum yang tak bisa dilanggar." 

Kwee Seng dan Lim Khok Seng tahu bahwa ini adalah pertempuran terakhir mereka. Tidak ada ruang untuk mundur. Dengan ilmu langit yang diturunkan oleh para dewa, mereka bersatu dalam kekuatan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah melewati batas-batas kemanusiaan. Jika mereka gagal, tak hanya mereka yang akan hancur, tetapi seluruh dunia akan terjebak dalam kegelapan yang abadi. 

Dengan pedang terhunus, kedua pendekar dari Cina siap menghadapi Macan Gaikng, siap bertarung melawan kekuatan alam yang tak terlihat, dalam pertarungan yang akan menentukan nasib mereka, nasib hutan ini, dan nasib seluruh Borneo. 

Bulu kuduk mereka berdiri, jantung mereka berdegup keras, dan dunia terasa seperti berhenti sejenak—menanti, menegangkan, menantikan sebuah keputusan yang bisa mengubah segalanya. 

Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Lim Khok Seng seraya menyaksikan pemandangan di hadapannya, hanya tersenyum tipis. “Takhta di sini, bukan sekadar kekayaan.” 

Kwee Seng Ong mengangguk pelan. Tatapannya terpanah pada sesuatu yang jauh di depan mereka. "Kita berada di tempat yang tak biasa," gumamnya. “Ini bukan hutan sembarangan.” 

Sungai Sekayam yang deras mengalir di bawah mereka memberikan aura yang menakutkan. Sesekali, mereka mendengar suara gemerisik dari dalam hutan, seperti langkah kaki yang mengendap-endap mendekat. Angin malam bertiup kencang, membawa bau tanah dan darah segar. Seakan ada sesuatu yang menunggu di balik kelamnya malam. 

Tiba-tiba, suara jeritan tajam menggema dari jauh, datang dari arah sungai. Jeritan itu mengiris udara, menggetarkan hati ketiga pria itu. Mereka saling bertukar pandang, ketegangan memenuhi ruang di antara mereka. 

"Ada sesuatu yang tidak beres," ujar Kwee Seng Ong, suaranya penuh kewaspadaan. 

“Jangan hanya berdiri, bertindak!” Macan Gaikng menyarankan, pedangnya yang panjang kini terhunus. Pedangnya siap digunakan, siap mengatasi ancaman. 

Lim Khok Seng menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap suara apa yang mungkin mengikutinya. 

"Suara itu bukan manusia biasa," katanya pelan, mengamati hutan yang gelap. "Kita mungkin akan bertemu sesuatu yang lebih dari yang kita bayangkan." 

“Kita bertiga hanya bisa lolos dari sini jika semua kekuatan bersatu,” kata Macan Gaikng, yang sangat paham bahasa alam. 

Lim Khok Seng menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap suara yang samar-samar terdengar di tengah hutan. Desir angin menderu yang membawa aroma tanah basah berbaur dengan suara-suara aneh yang semakin dekat. Ranting-ranting berderak seolah ada sesuatu yang bergerak cepat, namun tidak terlihat. 

“Suara itu bukan manusia biasa,” katanya pelan, matanya terus memindai kegelapan yang semakin menebal di hadapan mereka. 

Hati Lim Khok Seng berdegup kencang, ada perasaan yang menyesakkan dada, seolah-olah alam itu sendiri sedang menyaksikan mereka. “Kita mungkin akan bertemu sesuatu yang lebih dari yang kita bayangkan.”

 Di sampingnya, Kwee Seng juga merasakan ketegangan yang sama. Tangan pendekar itu menggenggam erat pedang Mongol yang sudah usang, namun tetap tajam seperti hari pertama dibuat. Sebuah aura gelap meliputi hutan, seakan-akan semuanya sedang menunggu momen yang penuh darah dan kematian. Namun, bukan hanya Kwee Seng yang merasa takut. 

Lim Khok Seng, yang sebelumnya dikenal sebagai pendekar muda yang berani, kini bisa merasakan ketakutan yang sama merasuk ke dalam dirinya. Mereka berdua tahu bahwa apa yang akan datang kali ini jauh lebih mengerikan dari sekadar pertempuran fisik. 

Tak lama kemudian, suara itu semakin jelas terdengar. Langkah-langkah berat yang memecah kesunyian malam, kaki-kaki raksasa yang menghantam tanah dengan keras, menggetarkan setiap inci bumi yang mereka pijak. Suara itu seperti berasal dari makhluk besar yang bisa menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. 

Lim Khok Seng menoleh ke Macan Gaing yang berdiri di depan mereka dengan wajah tenang, seolah-olah sudah terbiasa dengan kehadiran ancaman yang datang dari dalam hutan ini. 

Macan Gaing membuka matanya perlahan, sinar yang tajam keluar dari sorot matanya, seperti memancarkan kebijaksanaan yang telah terbentuk selama berabad-abad. 

"Kita bertiga hanya bisa lolos dari perangkap maut di sini jika semua kekuatan bersatu," kata Macan Gaikng, suaranya rendah namun penuh makna. “Hutan ini tidak akan memberikan ampun jika kita terpecah. 

Alam ini bukan milik kita, tapi kita dapat memanfaatkan kekuatan langit dan bumi, jika kita bersatu dan mengikuti alurnya.” Wajahnya seakan mengingatkan mereka bahwa waktu mereka untuk memilih semakin singkat. Mereka harus bersatu atau semuanya akan berakhir dalam kehancuran. 

Lim Khok Seng merasakan sesuatu yang aneh dalam kata-kata Macan Gaing. Di balik kata-katanya yang keras, terdapat kebijaksanaan yang mendalam, seolah-olah dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Hutan ini, dengan segala keangkerannya, menyimpan kekuatan yang tidak bisa mereka hadapi sendirian. Mereka harus mempercayai satu sama lain, bergabung dalam satu ikatan kekuatan yang lebih besar dari sekadar fisik atau ilmu. Dalam kebisuan yang mencekam, ketiganya berdiri tegak, siap untuk menghadapi apa pun yang datang dari kegelapan hutan ini. 

Tiba-tiba, angin berputar lebih kencang, dan di depan mereka muncul bayangan besar yang menyembul dari kegelapan hutan. Sebuah, atau tepatnya sesuatu makhluk aneh dengan mata merah menyala, tubuhnya seakan terbuat dari cabang pohon yang terjalin rapat. Kekuatan alam yang selama ini mereka hadapi kini terwujud dalam sosok yang menakutkan.

(bersambung)

LihatTutupKomentar