Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (11)

Hakka, Sanggau, Kalimantan Barat, Khek, Fujian, Kwee Seng, Lim Khok Seng, Borneo, Kalimantan Barat, Macan Gaing

 

ilustrasi by AI.

Semua yang ada pada malam itu adalah kisah yang terpendam dalam diam, kisah yang terlupakan tetapi tetap ada, seperti jejak-jejak yang meninggalkan bekas di tanah yang sudah lama tak tersentuh. 

Sebuah kisah yang hilang dalam keheningan malam, namun tetap hidup dalam setiap desiran angin, dalam setiap gerak daun yang berguguran, dalam setiap bayangan yang terpanah di bawah sinar bulan yang redup. 

Di antara pepohonan itu, muncul tiga sosok berdiri saling mengawasi. Kwee Seng Ong, seorang pengembara jauh dari Fujian, berdiri tegak dengan sorot mata penuh ambisi. 

Baca rang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (2)

Di sisi lain, Macan Gaikng, seorang ahli taktik dan pejuang dari tanah Jangkang, persisnya suatu tempat di kaki Gunung Bengkawan, memandang dengan mata tajam. Dia siap menghadapi ancaman apa pun yang datang meskipun sekonyong-konyong tanpa aba-aba terlebih dahulu. 

Prekognisi[1]-nya begitu tajam, sebab diasah setiap hari dengan batu pengansah alami yang berasal dari ketajaman alam. Kemudian hari ada ahli psikologi bernama Howard Gardner yang secara ilmiah menerangkan bahwa keterampilan, skill semacam yang dimiliki Macan Gaikng ini adalah naturalistic intelligence[2]. 

Sementara di antara mereka beredua adalah Lim Khok Seng, seorang Hakka, pendekar muda dengan senyum penuh perhitungan, memegang erat pedangnya yang berkilau-kilauan. Pedangnya itu bukan pedang sembarangan sebab sanggup memantulkan kilau di bawah cahaya bulan yang redup. 

“Apa yang kau incar di sini, sang kelana?” tanya Macan Gaikng, suara beratnya menggema di udara malam. “Mengapa kau tiba di tempat ini, sementara kita telah bertolak-jalan pada malam dingin di sebuah hutan yang celaka itu?” 

Kwee Seng Ong tertegun. Ia kaget bukan alang kepalang. Mengapa pendekar yang dilihatnya lemah di hadapan seorang wanita pada malam yang disebut “dingin dan celaka” itu?” kini tiba-tiba garang bagai seskor singa lapar di hadapannya? 

Mendengar itu, Kwee Seng Ong mengulas senyuman. 

“Kurang ajar!” batin Macatn Gaikng. Lelaki asing dari Fujian telah mengetahui seluruh rahasia, yang menjadi titik kelemahanku.

 Di bawah cahaya rembulan yang redup, di tengah belantara hutan Borneo yang lebat, dua pendekar yang memiliki ilmu kanurangan yang langka itu bersiap menghadapi tantangan yang lebih besar dari apa pun yang pernah mereka hadapi sebelumnya. 

Kwee Seng, pendekar tua yang tajam dan berpengalaman, serta Lim Khok Seng, pendekar muda yang cerdas dan penuh semangat, telah mengetahui bahwa perjalanan mereka kali ini bukan sekadar sebuah pertempuran biasa. Ini adalah perjalanan yang akan menguji bukan hanya kekuatan tubuh mereka, tetapi juga ketahanan jiwa mereka. 

Malam itu, angin berhembus kencang, membawa bau tanah basah yang menguar dari hutan. Suara daun-daun yang bergesekan terdengar seperti bisikan-bisikan tak kasat-mata yang mengingatkan mereka akan bahaya yang mengintai. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak, langkah mereka hati-hati, waspada terhadap setiap gerakan di sekitar mereka. Di atas mereka, langit yang gelap menyelimuti, seolah-olah tak ada jalan keluar dari kabut hitam yang menyelimuti dunia. 

Dengan hanya dipandu oleh cahaya dari Naga-emas Cina, makhluk misterius yang lebih banyak diketahui oleh para pendekar Tiongkok daripada oleh manusia biasa, mereka maju ke dalam kegelapan yang penuh rahasia dan ancaman. Dalam hati mereka, terpatri sebuah kata sepakat yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mampu menembus lapisan-lapisan dunia yang tersembunyi. Kekuatan dari langit yang diturunkan para dewa itu akan menjadi satu-satunya pelindung mereka dalam perjalanan berbahaya ini. 

Macan Gaikng sendiri menjadi heran. Dalam hati ia bertanya-tanya: mengapa pada “malam dingin dan celaka” waktu itu matanya hanya melihat sosok Kwee Seng saja? Di mana satu lagi pria serupa orang Dayak di sini, namun matanya lebih sipit lagi, yang memperkenalkan diri sebagai Lim Khok Seng? 

Sementara itu, keragu-raguan dan pertanyaannya, Macan Gaikng terus waspada. Ilmu kecerdasan alam dipasangnya 7 kali. Di dalam kedalaman hutan yang sepi, sebuah kekuatan jahat mulai terbangun. Macan Gaing, sang penjaga hutan yang dikenal karena ilmunya yang mampu menguasai tujuh bintang, tengah mengawasi setiap langkah mereka dengan mata tajam yang tidak tampak. Ilmu alam yang dimiliki oleh Macan Gaing bukanlah ilmu biasa; itu adalah ilmu yang dibangun dengan darah dan air mata, ilmu yang mampu mengendalikan kekuatan alam semesta, menghancurkan apa pun yang berani mengusik kedamaian hutan. 

Tiba-tiba, suara angin berubah, menjadi seperti jeritan hantu yang datang dari dalam bumi. 

Kwee Seng dan Lim Khok Seng berhenti sejenak, merasakan sesuatu yang tidak biasa. Jantung mereka berdetak lebih cepat, napas mereka terasa sesak. Di sekitar mereka, hutan seakan hidup. Pohon-pohon bergoyang, meskipun tidak ada angin yang meniupnya. Daun-daun yang jatuh berserakan seperti potongan-potongan jiwa yang terpisah, seolah membawa pesan dari dunia lain. 

Mereka tahu, hutan ini bukanlah sekadar hutan. Ini adalah tempat yang telah dikuasai oleh ilmu yang lebih kuat dari segalanya. Mereka harus berjuang untuk hidup, untuk melawan kekuatan yang bahkan langit pun tak bisa menghentikannya. Setiap langkah yang mereka ambil adalah taruhan, setiap napas yang mereka hembuskan adalah harapan terakhir.


[1] Prekognisi adalah suatu konsep yang merujuk pada kemampuan untuk mengetahui atau merasakan kejadian yang akan terjadi sebelum kejadian tersebut terjadi, seringkali dianggap sebagai bentuk pengetahuan atau persepsi yang melampaui waktu yang biasa kita alami. Istilah ini sering dikaitkan dengan fenomena paranormal atau psikis, seperti firasat atau intuisi yang sangat kuat. 

Prekognisi bukanlah sebuah teori yang diungkapkan oleh satu individu tertentu, melainkan lebih merupakan konsep yang banyak dibahas dalam konteks psikoanalisis, filosofi, serta dalam berbagai teori metafisika dan parapsikologi. Konsep ini sering kali berhubungan dengan topik terkait fenomena luar biasa yang tidak dapat dijelaskan dengan pengetahuan ilmiah konvensional, namun ada beberapa pendekatan yang membahasnya. 

Salah satu tokoh yang membahas fenomena semacam prekognisi dalam konteks psikologi adalah Carl Jung, seorang psikoanalis Swiss, yang mengembangkan teori mengenai sinkronisitas. Dalam bukunya Synchronicity: An Acausal Connecting Principle (1952), Jung mengajukan konsep sinkronisitas, yaitu kejadian yang tampaknya memiliki makna atau hubungan yang mendalam meskipun tidak ada hubungan sebab-akibat yang jelas. Konsep ini bisa dianggap terkait dengan prekognisi, di mana kejadian-kejadian yang terjadi pada seseorang atau dalam kehidupan seseorang dapat memiliki makna lebih dari sekadar kebetulan atau kronologi waktu yang biasa. 

Namun, perlu dicamkan pula bahwa prekognisi lebih banyak dibahas dalam konteks parapsikologi, di mana ia dianggap sebagai kemampuan untuk mengetahui masa depan. Di luar kajian psikologi ilmiah, fenomena prekognisi telah menjadi subjek dalam banyak buku dan teori terkait dengan kepercayaan tentang kemampuan manusia melampaui batasan ruang dan waktu. 

Dalam parapsikologi, J.B. Rhine dan rekan-rekannya, yang bekerja di Duke University pada pertengahan abad ke-20, melakukan banyak penelitian tentang fenomena psikis, termasuk telepati dan prekognisi, meskipun penemuan mereka lebih banyak terkait dengan istilah seperti Extra-Sensory Perception (ESP) dan "PSI" daripada prekognisi itu sendiri.

 

[2] Howard Gardner, seorang psikolog dan profesor dari Harvard University, mengemukakan teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) yang menggambarkan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya terpusat pada kemampuan intelektual atau logika matematika saja. Gardner menyarankan bahwa manusia memiliki berbagai jenis kecerdasan, dan setiap orang memiliki profil kecerdasan yang unik. Dalam teori ini, ada delapan tipe kecerdasan yang disebutkan, termasuk kecerdasan natural. 

Kecerdasan natural (naturalistic intelligence) adalah kemampuan untuk memahami, mengenali, dan berinteraksi dengan dunia alam sekitar. Ini termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan spesies flora dan fauna, memahami pola-pola alami, serta merespons dengan tepat terhadap elemen-elemen alam, seperti cuaca, tumbuhan, atau hewan. 

Kecerdasan natural sering kali bekerja bersamaan dengan tipe kecerdasan lainnya (ada 7 lagi). Misalnya, seseorang dengan kecerdasan linguistik mungkin dapat menulis tentang fenomena alam dengan cara yang sangat mendalam, sementara seseorang dengan kecerdasan visual-spasial mungkin mampu membuat representasi visual dari ekosistem. Kecerdasan natural dalam konteks ini memberikan dasar bagi banyak kegiatan yang melibatkan pemahaman dunia alam, seperti pekerjaan di bidang biologi, ekologi, atau konservasi alam.

 

LihatTutupKomentar